Soeharto, SBY, dan Jokowi

Author : Administrator | Wednesday, March 02, 2016 09:35 WIB
Ilustrasi

 

Dalam pidato kenegaraan hari pertama sebagai presiden ke-6 RI di Istana Merdeka (menghadap ke Monas), Jakarta, Rabu 20 Oktober 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyerukan kepada rakyat Indonesia untuk "bekerja keras" menghadapi segala tantangan berat yang dihadapi bangsa dan negara ini.

"Mari, kita bekerja keras untuk menghadapi segala tantangan ini. Besok pagi, 21 Oktober, insya Allah saya akan melantik anggota kabinet masa bakti 2004-2009.

Setelah itu, kami akan langsung menyingsingkan lengan baju untuk merumuskan dan menjalankan langkah-langkah awal kebijakan dan rencana aksi pemerintah," kata SBY didampingi Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla.

Dari berita ini, pada keesokan harinya, Kamis 21 Oktober 2004, muncullah di surat kabar ini tajuk rencana dengan judul "Masa Berucap Sudah Berlalu, Kini Saatnya Bekerja".

Pidato pertama SBY sebagai presiden bukan diadakan di gedung parlemen di Senayan, melainkan di Istana Merdeka. Soal ini ada keluhan khusus dari SBY. Di waktu lain kita bahas soal ini.

Bekerja, bekerja, bekerja

Dalam pidato pertamanya setelah dilantik sebagai presiden ke-7 RI dalam Sidang Paripurna MPR, Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla juga menyampaikan 17 kali kosakata, "bekerja, bekerja, dan bekerja".

Keesokan paginya muncullah judul berita, "Bekerja, Bekerja, Bekerja".

Tajuk rencana surat kabar ini memilih judul, "Saatnya Langsung Bekerja".

Dalam pidatonya, Jokowi juga mengumandangkan soal laut atau maritim. "Kita harus bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim.

Samudra, laut, selat, dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, selat, dan teluk," demikian kata Presiden Jokowi.

Seruan agar bangsa Indonesia kembali ke laut juga pernah diserukan presiden ke-2 RI Soeharto di Ujung Pandang (Makassar), dalam Konvensi Nasional Pembangunan Benua Maritim Indonesia, Rabu 18 Oktober 1996.

Saat itu, teks pidato Presiden Soeharto dibacakan Menteri Negara Riset dan Teknologi BJ Habibie.

Soeharto waktu itu menegaskan, pada masa lalu Indonesia mencatat sejarah sebagai bangsa bahari. Namun, dalam perjalanannya telah kehilangan keterampilan bahari sehingga luntur pula jiwa maritimnya.

Ketika itu, Soeharto mengakui, pembangunan kelautan bukan hal mudah dan sederhana karena harus dilakukan lintas sektoral, mencakup banyak bidang serta membutuhkan sumber daya manusia terampil, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dana sangat besar.

Soeharto mengatakan hal itu di masanya, di zamannya.

Sekarang bagaimana? "Kalau masih sulit, ya, mulai membangun dan menata kembali sungai supaya tidak banjir, memelihara mata air, membuat dan memelihara embung atau situ atau rawa. Sebentar lagi musim kemarau, air sulit," kata seorang relawan Jokowi-Kalla (di masa Pemilihan Presiden 2014) di Istana Negara, Jakarta, Selasa (9/2).

Tol laut

Sedikit catatan atau komentar jenaka berkaitan dengan seruan Presiden Jokowi dalam pidato pelantikannya sebagai presiden di Gedung Parlemen Senayan, Senin, 20 Oktober 2014, tentang janji akan mengembalikan kejayaan Indonesia di laut.

Mengomentari pidato itu, Direktur PT Pelindo II (saat itu) Richard Joost Lino antara lain mengetengahkan, kejayaan di laut Indonesia bisa dimulai dengan program tol laut.

Ketika ditanya tentang tol laut ini, pekan lalu seorang wartawati dari media berjaringan internasional yang sehari-hari bertugas di istana kepresidenan punya komentar singkat bernada genit seperti ini, "Tol laut? Maksudnya, banjir di tol

من المقطوع: http://nasional.kompas.com/
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: