Menkominfo Rudiantara (rou/detikINET) |
Jakarta - Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) diharapkan menjadi salah satu prioritas bagi Menkominfo Rudiantara untuk ditinjau ulang. Desakan ini muncul dari sejumlahnetizen, LSM dan penggiat internet lainnya.
Rudiantara yang diundang oleh Forum Digital Demokrasi untuk menyampaikan aspirasinya diminta agar pasal 27 di UU ITE tentang pencemaran nama baik bisa direvisi atau bahkan dihapus.
"Karena menurut Freedom House, tahun 2013 Indonesia tercatat sebagai 'negara setengah merdeka' dalam berinternet. Di tahun 2014, malah lebih parah lagi kondisinya," kata Damar Juniarto, dari Safenet, di Hotel 4Season, Jakarta, Rabu malam.
Salah satu alasan mengapa pasal 27 di UU ITE perlu mendapatkan perhatian khusus dari Menkominfo, karena makin banyak saja korban yang dijerat melalui UU ini. Selain memang, menekan kebebasan berekspresi.
Dikatakan oleh Damar, sejak tahun 2008 hingga 2014 setidaknya sudah ada 69 kasus menggunakan UU ITE yang terdeteksi. Jumlahnya malahan terus naik tiap tahunnya.
"Tahun 2008 ada 2 kasus, sempat turun 1 kasus di 2010. Namun sejak tahun 2011 naik dari 3 kasus, menjadi 8 kasus, 2013 ada 14 kasus dan 2014 menjadi 39 kasus," katanya.
Ditambahkan oleh Damar, sebaran kasus UU ITE sudah terjadi dari Aceh hingga Makasar. Namun yang mengejutkan, kebanyakan justru lebih banyak terjadi di luar kota-kota besar.
Dia juga menambahkan, pasal 27 di UU ITE menjadi multitafsir antara yang privat dan yang publik. Sehingga rentan untuk dikriminalisasikan.
"Kasus yang terjadi di media jejaring sosial yang menggunakan UU ITE ini sebagian besar berasal dari Facebook dimana jumlah 24 kasus, kemudian Twitter 16 kasus, Path 1 kasus, email 3 kasus dan blog 4 kasus," urai Damar.
Menkominfo Tampung Aspirasi
Masukan dari para aktivis ini tentu saja ditampung oleh Rudiantara. Menurutnya, saat ini dirinya masih terus melakukan 'shopping' untuk mendapatkan sejumlah masukan untuk menyusun daftar program kerja yang prioritas.
"Kita harus lihat dahulu, apa isu krusialnya bagaimana magnitude-nya. Biar tahu ada tingkat urgensinya, sehingga bisa dikejar secara bersama-sama," kata Rudiantara.
Dia mengatakan setuju bila internet bisa dijadikan wadah untuk meluapkan kebebasan dalam berekspresi, namun dengan catatan harus bertanggung jawab.
Selain itu, dia juga mendapat masukan mengenai aturan ketat mengenai pemblokiran situs namun tak jarang sering salah sasaran. Salah satunya adalah masih bebasnya situs penyebar kebencian dan pemecah kesatuan NKRI.
Soal ini, Rudiantara tak mau kompromi, baginya bila memang terbukti ada situs seperti penyebar kebencian maka akan langsung ditutup.
"Saya akan langsung tutup. Saya yang suruh langsung, bila nanti saya Di-PTUN-kan saya terima, saya siap," tandasnya.