Prinsip Ekonomi Islam
Oleh: Aries Musnandar*
Kita menyaksikan di luar negeri termasuk di Indonesia bahwa dunia ekonomi konvensional kini telah memberikan tempat bagi berkembangnya ekonomi yang berdasarkan syariah atau dikenal dengan ekonomi Islam. Secara spesifik ekonomi Islam tidak memiliki teori khusus sebagaimana ekonomi konvensional pada umumnya yang dibangun dan ditumbuh-suburkan dengan berbagai teori ekonomi klasik (Adam Smith, Karl Marx dll). Tetapi ekonomi Islam dikembangkan berdasarkan nilai-nilai normatif ajaran Islam meliputi keseluruhan dari ekonomi Islam tidak hanya menyangkut persoalan perbankan, pembiayaan dan asuransi syariah yang selama ini lebih dikenal dan marak muncul di Indonesia. Ekonomi Islam berbicara amat jelas tentang larangan riba, hak kepemilikan harta dan kepemilikan barang-barang publik, persoalan pekerjaan, hak dan kewajiban majikan dan pekerja hingga pembahasan mengenai social security atau jaminan/solidaritas sosial dalam upaya mengatasi kemiskinan melalui konsep zakat infak dan sedekah (ZIS). Ekonomi Islam menganut azas-azas keadilan dan kebersamaan, sehingga ekonomi Islam itu merupakan sistem ekonomi syariah berlandaskan pada azas kebersamaan dan keadilan sosial yang sebenarnya juga dambaan para founding fathers kita dalam azas berbangsa dan bernegara sebagaimana tercantum dalam sila-sila yang terdapat pada dasar Negara, Pancasila.
Praktek ekonomi Islam dengan demikian dapat dikategorikan dalam 5 prinsip yang menjadi fondasi pada tataran praksis implementatif, yaitu:
Prinsip 1: Pendayagunaan atau pengejawantahan konsep ZIS dalam mengentaskan kemiskinan
Pada prinsip ini umat Islam dianjurkan dengan sangat bahkan pada kondisi tertentu diwajibkan untuk membelanjakan harta-hartanya di jalan Allah secara optimal. Membelanjakan dalam arti membantu para kaum duha'afa, yatim piatau, fakir miskin dan lain-lain yang termasuk dalam 8 asnaf mustahik Zakat. Hal ini dilakukan agar dapat terwujud kesejahteraan dan keadilan sosial di masyarakat Islam karena Islam sama sekali tidak mentolerir berlangsunganya atau situasi kesenjangan mencolok antara kaum berpunya dan tidak berpunya (the have’s and the have nots). Sebagai contoh, berdasarkan hasil penelitian apabila umat benar-benar menunaikan zakat lalu dikelola oleh amilin (pengurus badan amil zakat) secara benar maka tidak akan ada orang miskin (Kholilah, 2011). Pengelolaan ZIS perlu profesional agar muzaki yang menunaikan zakat dan membelanjakan hartanya atas dasar ajaran agama merasa percaya bahwa ZIS mereka sampai kepada mustahik yang benar-benar membutuhkan
Prinsip 2: Larangan Riba
Amat jelas surat-surat dalam al Quran terutama surat al Baqarah tentang laranga melakukan riba bagi umat Islam. Dalam dunia usaha dan perbankan riba sering dikaitkan dengan bunga bank namun sebenarnya tidak hanay tentang bunga bak tetapi menggandakan uang atau berharap mendapat keuntungan berlipat-lipat sebagaimana koperasi berkedok syariah tetapi melakukan manipulasi dengan mengiming-imingi nasabahnya dengan keuntungan banyak bahkan berkali-kali lipat dari kewajaran suatu bisnis itu bisa juga dikatakan riba. Tentang bunga bank memsang ada sedikit perbedaan pendapat dari ulama yang mengatakan bahwa bunga bank itu tidak riba namun sebagian besar ulama mengkategorikan bunga bank riba karena sistem yang ada (ekenomi kapitalis) itu sudah bukan berlandaskan nilai-nilai Islami sehingga turunan dari sistem itu yang berbentuk bunga juga bisa dikatakan riba. Hal ini mengingat juga bahwa bunga bank itu ditetapkan bahkan bisa berlipat-lipat bila misalnya nasabah gagal bayar sehingga akan terdapat siatuasi win-lose (memang kalah) antara nasabah dan pihak bank dan sebaliknya yang ini tidak dibenarkan dalam prinsip ke dua ini. Dalam konteks ini jelas Allah akan memerangi orang-orang yang menjalankan usahanya dengan sistem riba (QS al Baqarah 2: 278-279) dan Allah melarang riba tetapi menghalalkan jual beli. Riba ini dalam sejarahnya amat disenangi oleh kaum Yahudi oleh karena itu hingga kini pun kaum pebisnis Yahudi internasional masih menjalankan usahanya dengan sistem model ini. Kita jangan sampai terjebak untuk mengikuti cara-cara mereka (Yahudi dan Nasrani) karena mereka memang ingin “gaya hidup” mereka ditiru dan mengglobal, apalagi mereka tidak rela Islam berkembang sehingga ingin memisahkan agama (Islam) dari kehidupannya sehari-hari bahkan lebih jauh lagi mereka berharap orang-orang Islam ikut dengan cara-cara dan gaya hidup mereka sebagaimana Allah menggambarkan hal itu dalam QS al Baqarah ayat 120 yang artinya “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang (yang sebenarnya). Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah”.
Prinsp 3 Membagi Resiko (Risk Sharing)
Ekonomi Islam yang berjalan dalam azas kebersamaan dan keadilan itu tidak membolehkan salah satu pihak yang berkongsi menderita kerugian atau rugi sendirian, oleh karena itu menanggung resiko kerugian pada usaha bersama secara adil dan bijak mesti dilakukan agar tidak ada salah satu pihak yang merasa terdzholimi dan tidak puas. Prinsip ini mengajak umat Islam yang berbisnis selalu senasib dan sependeritaan, jika untung mesti sama-sama untung dan jika rugi mesti sama-sama menanggungnya. Inilah suatu ajaran bisnis yang mengajarkan kita dalam kebersamaan, adil, fair, transparan.Hal-hal seperti itulah yang seharusnya ditumbuh-kembangkan dalam ekonomi Islam.
Prinsip 4. Dilarang terjadinya eksploitasi
Kegiatan ekonomi dilarang menyebabkan terjadinya fenomena eksploitasi. Suatu kegiatan industri dan bisnis yang hanya mengeksploitasi kekayaan alam dan sumber daya manusia tetapi tidak mampu menjaga keseimbangan ekonomi dan memerhatikan hak-hak pekerja amat sangat dibenci bahkan dilarang dalam prinsip ekonomi Islam ini. Eksploitasi dimaksud jika dijabarkan lebih lanjut bisa berupa pembagian keuntungan yang berat sebelah misalnya kontrak karya yang tidak adil dan ternyata lebih besar mudharat dari pada manfaatnya. Jika hal ini terjadi maka sesuai ajaran Islam dalam prinsip keempat ini kita semestinya menggugat kontrak karya tersebut. Apakah misalnya kontrak karya penambangan di Indonesia oleh perusahaan asing banyak yang melanggar prinsip keempat ini? Anda tentu tahu dan bisa menjawabnya dengan mudah.
Prinsip 5: Menjauhi usaha yang bersifat spekulatif
Judi sudah tentu dilarang dan masuk dalam kategori usaha yang tinggi sifat spekulasinya. Sistem ekonomi kapitalis berbagai bisnisnya banyak ditopang dan didukung dengan usaha model spekulatif ini. Umat Islam jangan meniru model bisnis macam ini, mesti dijauhi sejauh-jauhnya karena konsep ekonomi mereka tidak dituntun oleh nilai-nilai agama (Islam) dan bisa menyesatkan bagi masyarakat Islam. Meski kita ketahui bahwa dewasa ini umat islam tidak bisa terhindarkan dari sistem ekonomi Islam, namun yang penting sekarang ini umat Islam mesti sadar terlebih dulu bahwa umat Islam sebenarnya punya konsep ekonomi yang lebih baik. Apabila suatu saat nanti umat Islam sudah tersadarkan dan memiliki pemimpin yang kuat, amanah dan benar serta berkomitmen tinggi dalam menegakkan ajaran Islam, maka saatnya ekonomi Islam dapat diimplementasikan oleh kita dengan meninggalkan cara dan sistem ekonomi yang tidak Islami. Diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi dari unsure-unsur yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam (al Quran dan Hadist).
*) Dosen Luar Biasa FEB Universitas Brawijaya Malang, penulis buku Spektrum Ekonomi Indonesia.