Bertani Lumut, Sehari Raup Ratusan Ribu Rupiah

Author : Syukri Muhammad Syukri | Friday, October 30, 2015 09:59 WIB

 

 

Aceh Tengah memang unik, disana ada petani kopi, petani kentang, petani tebu, sekarang ada petani lumut. Mungkinkah lumut memiliki harga, lalu apa gunanya? Siapa pembelinya? Berapa harganya? Ini hoax atau fakta? Itulah sejumlah pertanyaan yang memenuhi benak saya. Setahu saya, lumut adalah tanaman air yang belum termanfaatkan. Sebagian nelayan dan petani ikan menganggap lumut sebagai penyebab pendangkalan.

Penasaran, kata itu memaksa saya dan pimred sebuah media online lokal untuk menemukan jawaban atas informasi itu. Kamis sore, 29 Oktober 2015, dimulailah ekspedisi untuk membuktikan adanya petani lumut.  Saya menelusuri jalan nasional Takengon-Kutacane, sekitar 3 kilometer, sampai ke Desa Pendere. Kenderaan berbelok ke kanan, menyeberangi Sungai Pesangan melalui sebuah jembatan beton.

Mobil memasuki kawasan permukiman, dikenal sebagai Desa Paya Nahu Kecamatan Bebesen Aceh Tengah. Mobil berwarna hitam itu, berbelok kekiri melintasi jalanan tanah berlumpur. Sekitar 300 meter dari persimpangan itu, terlihat sebuah gubuk beratap seng berdinding papan, berada di tengah-tengah sepetak kolam ikan. Dibelakang gubuk itu, terlihat air Sungai Pesangan mengalir sangat deras, bergelombang, cocok sebagai lokasi arung jeram.

Didalam gubuk itu ada seorang lelaki berkaos merah, dari keterangan teman seperjalanan tadi, lelaki itu bernama M. Din [26]. Dia menyambut kedatangan kami, sambil mempersilahkan masuk kedalam gubuknya. Saya memilih duduk membelakangi tingkap kayu yang sudah terbuka. Dari sana, saya bebas mengamati kolam ikan berisi lumut,   ganggang air, dan sejumlah anak ikan yang sedang berenang.

“Benarkah disini ada dijual lumut?” tanya saya.

“Benar,” jawab M. Din.

Informasi yang saya dengar bukan hoax, tetapi fakta, 100 persen benar. Dia mengatakan, lumut yang dibudidayakan itu dibeli oleh para pemancing. Mereka menggunakan sebagai umpan pancing, baik untuk memancing di Danau Laut Tawar maupun disepanjang aliran Sungai Pesangan.

“Ikan yang menyukai lumut seperti mujahir, nila, bahkan ikan peres pun sering terkail dengan umpan lumut,” kata M. Din, tetapi dia mengaku belum terampil menggulung lumut pada mata pancing.

Harga lumut itu murah, setiap 1 kilogram dijualnya seharga Rp 10 ribu. Peminatnya banyak, lebih-lebih ketika musim ikan lagi “doyan” memakan umpan. Setiap hari, sekitar 10 sampai 20 orang datang ke gubuknya untuk membeli lumut. Mereka berasal dari berbagai tempat, termasuk dari luar kota Takengon.

“Rata-rata setiap orang membeli berapa kilogram,” tanya saya.

“Nggak tentu, ada yang setengah kilogram, ada juga yang satu kilogram. Tergantung musim ikan mau makan umpan lumut,” jelas M. Din.

Apa latar belakang M. Din memilih profesi sebagai petani lumut? Awalnya, sekitar tahun 2005, dia membuka usaha kolam ikan disana. Dalam kolam itu banyak lumut, sehingga para pemancing datang mengambil lumut kesana. Akibatnya, pematang dan isi kolamnya sering rusak, dipijak para pengambil lumut secara serampangan. Mereka kasihan kepada M. Din, lalu memberi uang ganti rugi secukupnya.

“Sekarang saya yang ambil lumut dari dalam kolam, mereka berikan uang, kata mereka  sebagai pengganti harga pelet pakan ikan,” ungkap M. Din.

Saat perbincangan sedang berlangsung, tiba-tiba datang dua orang pemancing. Mereka minta disediakan lumut. Dengan menggunakan galah bambu seukuran jempol kaki, lelaki berkulit hitam itu mengambil lumut dari kolam berair jernih itu. Lumut berwarna hijau itu terangkat ke permukaan air, tergantung pada galah bambu seperti selembar kain. Proses itu dilakukan berulang-ulang sampai mencapai berat satu kilogram.

Bertani lumut itu mudah, tidak perlu pupuk dan pestisida. Cukup dijaga kejernihan air, jangan sampai keruh. Ganggang dan tanaman air lainya harus dibersihkan agar lumut berkembang cepat. Seandainya air kolam keruh, maka lumut-lumut itu akan mati dan mengapung ke permukaan air. Makanya sumber air untuk kolam milik M. Din itu berasal dari mata air, bukan dari aliran air parit.

“Bertani lumut ini mudah, tanpa modal, tetapi saya tidak bisa kemana-mana,” jelas M. Din.

“Kenapa?” tanya saya.

“Setiap saat datang orang silih berganti. Kasihan, mereka pelanggan tetap,” jawab lelaki itu.

“Itu rezeki halal. Masa orang mengantar duit, kita malah pergi,” kelakar saya.

“Iya,” jawab M. Din tertawa.

“Sehari bisa dapat uang berapa?” tanya saya.

“Bisa seratus ribu, kadang dua ratus ribu, bisa juga lebih, tergantung musim ikan mau makan umpan lumut,” jawab M. Din.

Harga lumut itu murah, setiap 1 kilogram dijualnya seharga Rp 10 ribu. Peminatnya banyak, lebih-lebih ketika musim ikan lagi “doyan” memakan umpan. Setiap hari, sekitar 10 sampai 20 orang datang ke gubuknya untuk membeli lumut. Mereka berasal dari berbagai tempat, termasuk dari luar kota Takengon.

“Rata-rata setiap orang membeli berapa kilogram,” tanya saya.

“Nggak tentu, ada yang setengah kilogram, ada juga yang satu kilogram. Tergantung musim ikan mau makan umpan lumut,” jelas M. Din.

من المقطوع: http://www.kompasiana.com
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: