Ekonomi Kreatif: Permasalahan, Tantangan dan Prospeknya

Author : Syahrul Efendi D | Friday, October 24, 2014 10:31 WIB

Istilah Ekonomi Kreatif boleh dikatakan belumlah akrab di dalam wacana publik. Sekalipun nomenklatur ini telah menjadi salah satu dari unsur kementerian pada paruh kedua pemerintahan Presiden SBY, yaitu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, tetap saja belum dikenal dengan baik oleh setiap kalangan masyarakat Indonesia. Di samping memang istilah ekonomi kreatif merupakan hal yang baru dalam literatur ekonomi, usaha untuk mensosialisasikan bidang ini pun tampak belum maksimal. Pariwisata atau pertanian sebagai nomenklatur, jauh lebih dikenal dan dimengerti oleh masyararakat ketimbang ekonomi kreatif.

Sekilas Riwayat Ekonomi Kreatif

Ekonomi Kreatif yang dipandang sebagai sub sektor dalam kegiatan ekonomi sebenarnya belum lama muncul. Pada dekade awal 1990-an, di Australia timbul persoalan mengenai mekanisme pandanaan yang berkaitan dengan kebijakan sektor seni dan budaya, sehingga muncullah istilah ketika itu “Creative Nation” yang dikeluarkan Australia. Tetapi istilah ini benar-benar terangkat ketika Department of Culture, Media, and Sport (DCMS) United Kingdom (Inggris) mendirikan Creative Industries Task Force pada tahun 1997. Kemudian DCMS Creative Industries Task Force (1998) merumuskan definisi sebagai berikut: “Creative Industries as those industries which have their origin in individual creativity, skill and talent, and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property and content”. Ruang lingkup dari industri kreatif menurut DCMS meliputi, advertising, architecture, the art and antiques market, crafts, design, designer fashion, film, interactive leisure software, music, the performing arts, publishing, software, television and radio. Pada waktu berikutnya, banyak negara di dunia mengadopsi konsep Inggris ini, antara lain Norwegia, Selandia Baru, Singapura, Sewedia dan tentu saja Indonesia tidak mau ketinggalan dengan istilahnya sendiri, Ekonomi Kreatif.

Latar belakang Inggris merumuskan kebijakan Industri Kreatif yang kebijakannya berada di bawah Departemen Kebudayaan, Media dan Olahraga hingga dewasa ini, ialah pada dekade 1980-an di Inggris aktivitas industri menyusut, akibatnya pengangguran di negara itu meningkat, dan dampaknya alokasi dana pemerintah untuk bidang seni berkurang. Maka ditemukanlah gagasan dan strategi kreatif yakniculture as an industry. Sebenarnya ini merupakan paradigma baru dalam melihat seni dan budaya dalam hubungannya dengan perekonomian suatu negara. Melalui konsep ini, seni dan budaya tidak lagi dilihat sebagai sektor-sektor yang selalu membutuhkan subsidi dari negara, malahan justru didesain untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan pengembangan inovasi yang bernilai ekonomis. Sehingga pada masa itu, Tony Blair, PM Inggris, menyatakan, “pop music exports were financially more significant to the country than the steel industry.

Indonesia sendiri dalam pembangunan sektor ekonomi kreatif tampak sangat cepat. Bila di negara maju semacam Inggris, timbulnya industri kreatif sebagai nomenklatur baru dalam kebijakan industrial mereka, hal itu tampak sebagai suatu yang alamiah dari perspektif evolusi ekonomi. Ingris, sebagai pelopor industri sekaligus lokus revolusi industri dunia, kini masuk pada tahap lanjut evolusi ekonomi, yaitu ekonomi berbasis ide dan kreasi. Bila disederhanakan, evolusi ekonomi dimulai dari tahap ekonomi berbasis pertanian, kemudian berkembang menjadi ekonomi berbasis industri, lalu ekonomi berbasis informasi, dan yang mutakhir ekonomi berbasis ide dan kreasi.

Kasus Indonesia dalam hal pembinaan Ekonomi Kreatif cukup menarik. Ekonomi Kreatif muncul dari atas (from above) melalui kebijakan negara. Tetapi bukan berarti kegiatan ekonomi kreatif baru muncul seiring dengan kebijakan pemerintah tersebut. Ekonomi Kreatif telah lama tumbuh dan berkembang di masyarakat, namun secara khusus mendapat perhatian dan pembinaan yang kuat dari pemerintah baru dimulai pada era pemerintahan SBY.

Pemerintahan SBY telah meninggalkan legacy yang baik terkait pengembangan dan pembangunan ekonomi kreatif di Indonesia. Secara kronologis kebijakan ekonomi kreatif dimulai oleh pernyataan Presiden untuk meningkatkan industri kerajinan dan kreativitas bangsa, terselenggaranya Pekan Produk Budaya Indonesia 2007, yang berubah nama menjadi Pekan Produk Kreatif Indonesia 2009, terbitnya Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif, hingga Perpres Nomor 92 Tahun 2011 yang menjadi dasar hukum terbentuknya kementerian baru yang mengurusi ekonomi kreatif, yaitu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan Menterinya, Mari Elka Pangestu. Kemudian lebih lanjut terbitlah pada 2012

Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tentang Rencana Strategis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Tahun 2012-2014. Di dalam rencana strategis itu telah tersusun dengan detail pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia.

Ruang lingkup ekonomi kreatif di Indonesia berdasarkan Inpres Nomor 6 Tahun 2009 berbeda dengan di negara seperti Inggris, hal mana bidang penelitian dan pengembangan dimasukkan sebagai bagian dari ekonomi kreatif. Di Inggris, bidang penelitian dan pengembangan tidak dimasukkan sebagai ruang lingkup Industri Kreatif, tetapi bidang konsultasi sudah dimasukkan sebagai bagian dari industri kreatif. Lebih rinci bidang-bidang apa saja yang termasuk dalam ruang lingkup ekonomi kreatif di Indonesia adalah sebagai berikut:

1) Periklanan (advertising): kegiatan kreatif yang berkaitan dengan jasa periklanan, yakni komunikasi satu arah dengan menggunakan medium tertentu. Meliputi proses kreasi, operasi, dan distribusi dari periklanan yang dihasilkan, misalnya riset pasar, perencanaan komunikasi periklanan, media periklanan luar ruang, produksi material periklanan, promosi dan kampanye relasi publik. Selain itu, tampilan periklanan di media cetak (surat kabar dan majalah) dan elektronik (televisi dan radio), pemasangan berbagai poster dan gambar, penyebaran selebaran, pamflet, edaran, brosur dan media reklame sejenis lainnya, distribusi dan delivery advertising materials or samples, serta penyewaan kolom untuk iklan;

2) Arsitektur: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan desain bangunan secara menyeluruh, baik dari level makro (town planning, urban design, landscape architecture) sampai level mikro (detail konstruksi). Misalnya arsitektur taman, perencanaan kota, perencanaan biaya konstruksi, konservasi bangunan warisan sejarah, pengawasan konstruksi, perencanaan kota, konsultasi kegiatan teknik dan rekayasa seperti bangunan sipil dan rekayasa mekanika dan elektrikal;

3) Pasar Barang Seni: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan perdagangan barang-barang asli, unik dan langka serta memiliki nilai estetika seni dan sejarah yang tinggi melalui lelang, galeri, toko, pasar swalayan dan internet, meliputi barang-barang musik, percetakan, kerajinan, automobile, dan film;

4) Kerajinan (craft): kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi dan distribusi produk yang dibuat atau dihasilkan oleh tenaga pengrajin yang berawal dari desain awal sampai proses penyelesaian produknya. Antara lain meliputi barang kerajinan yang terbuat dari batu berharga, serat alam maupun buatan, kulit, rotan, bambu, kayu, logam (emas, perak, tembaga, perunggu dan besi), kaca, porselen, kain, marmer, tanah liat, dan kapur. Produk kerajinan pada umumnya hanya diproduksi dalam jumlah yang relatif kecil (bukan produksi massal);

5) Desain: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain grafis, desain interior, desain produk, desain industri, konsultasi identitas perusahaan dan jasa riset pemasaran serta produksi kemasan dan jasa pengepakan;

6) Fesyen (fashion): kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain pakaian, desain alas kaki, dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesorisnya, konsultasi lini produk berikut distribusi produk fesyen;

7) Video, Film dan Fotografi: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi produksi video, film, dan jasa fotografi, serta distribusi rekaman video dan film. Termasuk di dalamnya penulisan skrip, dubbing film, sinematografi, sinetron, dan eksibisi atau festival film;

8) Permainan Interaktif (game): kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi permainan komputer dan video yang bersifat hiburan, ketangkasan, dan edukasi. Sub-sektor permainan interaktif bukan didominasi sebagai hiburan semata-mata tetapi juga sebagai alat bantu pembelajaran atau edukasi;

9) Musik: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi atau komposisi, pertunjukkan, reproduksi, dan distribusi dari rekaman suara;

10) Seni Pertunjukkan (showbiz): kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha pengembangan konten, produksi pertunjukkan. Misalnya, pertunjukkan wayang, balet, tarian tradisional, tarian kontemporer, drama, musik tradisional, musik teater, opera, termasuk musik etnik, desain dan pembuatan busana pertunjukkan, tata panggung, dan tata pencahayaan;

11) Penerbitan dan Percetakan: kegiatan kreatif yang terkait dengan penulisan konten dan penerbitan buku, jurnal, koran, majalah, tabloid, dan konten digital serta kegiatan kantor berita dan pencari berita. Subsektor ini juga mencakup penerbitan perangko, materai, uang kertas, blanko cek, giro, surat andil, obligasi, saham dan surat berharga lainnya, paspor, tiket pesawat terbang, dan terbitan khusus lainnya. Juga mencakup penerbitan foto-foto, grafir (engraving) dan kartu pos, formulir, poster, reproduksi, percetakan lukisan, dan barang cetakan lainnya, termasuk rekaman mikro film;

12) Layanan Komputer dan Piranti Lunak (software): kegiatan kreatif yang terkait dengan pengembangan teknologi informasi, termasuk layanan jasa komputer, pengolahan data, pengembangan database, pengembangan piranti lunak, integrasi sistem, desain dan analisis sistem, desain arsitektur piranti lunak, desain prasarana piranti lunak dan piranti keras, serta desain portal termasuk perawatannya;

13) Televisi & Radio (broadcasting): kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha kreasi, produksi dan pengemasan acara televisi (seperti games, kuis, reality show, infotainment, dan lainnya), penyiaran, dan transmisi konten acara televisi dan radio, termasuk kegiatan station relay (pemancar) siaran radio dan televisi;

14) Riset dan Pengembangan (R&D): kegiatan kreatif terkait dengan usaha inovatif yang menawarkan penemuan ilmu dan teknologi, serta mengambil manfaat terapan dari ilmu dan teknologi tersebut guna perbaikan produk dan kreasi produk baru, proses baru, material baru, alat baru, metode baru, dan teknologi baru yang dapat memenuhi kebutuhan pasar. Termasuk yang berkaitan dengan humaniora, seperti penelitian dan pengembangan bahasa, sastra, dan seni serta jasa konsultansi bisnis dan manajemen. (Lihat, Prof.Dr.Faisal Afiff, Se.Spec.Lic, Pilar-Pilar Ekonomi Kreatif, 2012)

Melihat betapa luasnya cakupan ekonomi kreatif tersebut, maka wajarlah jika sektor ekonomi kreatif berkontribusi rata-rata PDB tahun 2002- 2010 terhadap PDB nasional mencapai 7,74%, tingkat partisipasi tenaga kerja sebesar 7,76%, kontribusi jumlah usaha mencapai 6,77%, kontribusi ekspor mencapai 9,77% dengan kontribusi impor hanya sebesar 1,3%, dan net trade barang sebesar 33,14%. Pada tahun 2010, sector ekonomi kreatif menyumbang Rp.468,1 triliun, 7,29% dari PDB nasional, melalui 14 subsektor industri kreatif, yaitu arsitektur, desain, fesyen, film, video, dan fotografi, kerajinan, teknologi informasi dan piranti lunak, musik, pasar barang seni, penerbitan dan percetakan, periklanan, permainan interaktif, riset dan pengembangan, seni pertunjukan, serta televisi dan radio. Pada tahun 2012, daya serap tenaga kerja di sector ini terhadap total nasional sebesar 8,25%. Sector ekonomi kreatif menempati nomor enam dari sepuluh lapangan usaha yang memberikan kontribusi besar terhadap PDB sebesar 7,7%. Nomor satu ditempati oleh lapangan usaha industri pengolahan. Sedangkan untuk tingkat daya serap tenaga kerja, industri kreatif mampu menyerap 8,6 juta orang, menempati nomor lima dari berbagai lapangan usaha.

Permasalahan dan Tantangan

Salah satu permasalahan terkait kebijakan ekonomi kreatif di Indonesia adalah bahwa sektor ini diletakkan pada lingkup kegiatan ekonomi, bukan pada lingkup kegiatan industri. Akibatnya menjadi bermakna lain.

Sebagaimana diketahui, industri berbeda dengan ekonomi. Ekonomi bermakna luas, sedangkan industri lebih spesifik. Industri memiliki karakter antara lain, kegiatan produksi yang memiliki nilai tambah, hasil produksi dapat dilakukan secara massal dengan cepat dan akurat, proses produksi melibatkan mesin dan ilmu pengetahuan, memiliki sasaran pelanggan yang terukur, dan dapat dilakukan inovasi produksi secara terus menerus. Pada intinya, industri terkait dengan efesiensi, fungsi organisasi produksi mapun pemasaran, ketepatan waktu produksi maupun delivery, kecepatan, kapasitas produksi, dan efektivitas. Hal ini berbeda dengan kegiatan ekonomi yang bersifat non industri bersifat tradisional yang berdasarkan keterampilan tangan. Faktor individu sangat menentukan.

Kembali kepada persoalan, mana lebih tepat ekonomi kreatif atau industri kreatif, hal itu tergantung pada orientasinya. Jika orientasi kebijakannya hanya untuk membina potensi atau merawat potensi kreatif penduduk Indonesia sehingga bernilai ekonomi, maka ekonomi kreatif sebagai nomenklatur dalam suatu struktur pemerintahan, menjadi relevan. Akan tetapi, bila orientasinya tidak sekedar menumbuhkan potensi ekonomi dari kegiatan kreatif penduduk, namun lebih jauh untuk menggenjot kegiatan kreatif penduduk menjadi suatu industri tersendiri yang kuat dan besar yang mampu menyumbangkan PDB yang signifikan, maka tentu saja yang tepat adalah dengan menggunakan nomenklatur industri kreatif. Berbicara tentang industri, maka unsur-unsur dan karakteristik industri dalam kegiatan produksi, haruslah dijaga dan dikembangkan sehingga lebih adaptif, inovatif serta efesien dan efektif. Apa yang dilakukan oleh Korea Selatan terhadap industri kreatif mereka yeng melahirkan produk kreatif seperti Boyband-boyband mereka yang mendunia ataupun Gangnam Style, merupakan inspirasi yang bagus untuk dipelajari dan diselaraskan dengan konteks industri kreatif dalam negeri. Yang lebih menarik lagi, Korea dengan pintar memanfaatkan kolaborasi antar unsur industri mereka yang telah mendunia, seperti LG, untuk memasarkan ke luar negeri produk-produk industri kreatif negara itu. Belum beberapa tahun berselang, LG pernah mensponsori kedatangan dan penampilan boyband dari negeri ginseng itu ke Jakarta. Tentu saja yang terangkat tidak saja boyband asal Korea tersebut tapi juga LG sebagai produsen produk-produk elektronik.

Sejauh ini, Indonesia masih menggunakan nomenklatur ekonomi kreatif. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memetakan beberapa kendala terkait pengembangan ekonomi kreatif seperti yang tercantum dalam Renstranya. Kendala-kendala yang dihadapi tersebut antara lain,

1. Pengembangan industri kreatif belum optimal, terutama disebabkan kurangnya daya tarik industri, adanya posisi dominan usaha kreatif, model bisnis industri kreatif yang belum matang, serta risiko usaha yang harus dihadapi;

2. Pengembangan konten, kreasi, dan teknologi kreatif belum optimal, terutama disebabkan infrastruktur internet belum memadai, infrastruktur gedung pertunjukan belum memenuhi standar, mahalnya mesin produksi, mahalnya piranti lunak penghasil produk dan jasa kreatif, kurangnya riset konten, dan kurangnya aktivitas pengarsipan konten;

3. Kurangnya perluasan dan penetrasi pasar bagi produk dan jasa kreatif di dalam dan luar negeri, terutama disebabkan oleh kurangnya apresiasi terhadap kreativitas lokal, kurangnya konektivitas jalur distribusi nasional, terkonsentrasinya pasar luar negeri, tingginya biaya promosi, belum diterapkannya sistem pembayaran online, dan rendahnya monitoring terhadap royalti, lisensi, hak cipta;

4. Lemahnya institusi industri kreatif, terutama disebabkan oleh belum adanya payung hukum yang mengatur tata kelola masing-masing subsektor industri kreatif; iklim usaha belum cukup kondusif, apresiasi yang rendah dan pembajakan yang tinggi, dan transaksi elektronik belum diregulasi dengan baik;

5. Minimnya akses pembiayaan pelaku sektor ekonomi kreatif, terutama disebabkan belum sesuainya skema epmbiayaan dengan karakteristik industri kreatif yang umumnya belum bankable, high risk high return, cash flow yang fluktuatif, serta aset yang bersifat intangible; dan

6. Pengembangan sumber daya ekonomi kreatif belum optimal, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, antara lain masalah kelangkaan bahan baku, kurangnya riset bahan baku, kesenjangan antara pendidikan dan industri, serta standardisasi dan sertifikasi yang belum baik.

Prospek Ekonomi Kreatif Indonesia

Ministry for the Arts Australia merumuskan, “creative industries have their origin in individual creativity, skill and talent. They have the potential to create wealth and jobs through the generation and use of intellectual property.” Penulis setuju dengan definisi yang tepat itu definisi mana merumuskan bahwa industri kreatif didasari oleh daya cipta, keterampilan dan bakat individu. Di sinilah relevansinya pentingnya penegakan undang-undang hak kekayaan intelektual guna melindungi individu kreatif dan menjamin berkembangnya insdutri kreatif. Sayangnya di dalam negeri, penghargaan terhadap karya cipta, merek dan sejenisnya, belum terbina dengan baik. Pembajakan karya dan plagiat masih menjadi fenomena yang sering ditemukan. Pemerintah seharusnya berada di garda depan untuk memberikan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya hak kekayaan intelektual. Sanksi yang tegas dan berdaya sock teraphy, perlu diterapkan bagi pembajak, pelanggar dan pencuri hak cipta supaya industri kreatif berkembang cepat dan luas di Indonesia.

Indonesia dengan kekayaan dan keanekaragaman kebudayaannya di berbagai daerah serta pasar yang besar 250 juta jiwa penduduk, tentu memiliki prospek yang tinggi dan luas di dalam kerangka ekonomi kreatif. Produk-produk budaya, seperti digitalisasi lagu daerah, animasi cerita rakyat di berbagai daerah dengan mutu yang baik, atau penciptaan kreasi-kreasi busana dengan unsur-unsur budaya Indonesia yang baru, dan masih banyak lagi, merupakan cara untuk mengembangkan ekonomi kreatif atau industri kreatif Indonesia. Indonesia tidak kekurangan SDM-SDM yang berbakat dan kreatif. Hanya saja, pembinaan dan fasilitasinya saja yang kurang memadai.

Kompleks Industri Kreatif

Industri kreatif ini tidak bisa berkembang secara mandiri dan terpisah dari sektor-sektor yang lain. Industri kreatif saling mendukung dan berkolaborasi dengan sektor-sektor yang lain, mulai dari sektor pendidikan, teknologi, perdagangan, pariwisata, hankam, politik, sosial dan budaya. Produk kreatif diciptakan dan disalurkan dalam berbagai platform.

Saat ini, tren sudah mulai tumbuh di kalangan anak muda, menguatnya kegiatan ekonomi kreatif. Hanya saja belum menjadi suatu industri yang besar dan signifikan. Produk design, dari buku hingga baju, terus menjalar ke mana-mana. Kebanyakan dipasarkan dengan cara sederhana, misalnya melalui internet, media sosial, hingga dari mulut ke mulut. Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki kompleks industri kreatif, baik dari kegiatan produksi maupun pemasaran. Penting kiranya, pemerintah membangun suatu kompleks dan fasilitas industri kreatif, dimana masing-masing aktor dan unsur industri kreatif mudah saling berkolaborasi dan mudah pula mempertemukan produsen-konsumen industri kreatif. Untuk kompleks semacam itu, perlu didesign sedemikian rupa, sehingga merefleksikan karakteristik dan kebutuhan khusus dari industri kreatif. Orang-orang kreatif akan hidup dan berkembang di dalam habitat yang juga kreatif.

Akhir kata, semua keinginan dan impian itu, tidak akan tercapai dengan baik, jika tidak didukung secara politik oleh pihak yang berkuasa atau dalam kata lain jika tidak ada political will dari setiap pemangku kebijakan.

من المقطوع: http://ekonomi.kompasiana.com/
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: