(mengkaji-cermati persoalan ekonomi umat)
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) atau sering juga disebut UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) di negeri ini sesungguhnya telah berjalan sejak lama sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Pada masa lalu usaha ekonomi masyarakat banyak ini mencakup sektor riil terkait terutama pemenuhan kebutuhan pokok dan keperluan hidup keseharian berupa barang ketimbang jasa. Kegiatan sektor riil model ini bisa menjadi pintu masuk bagi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi bangsa karena bersinggungan langsung dengan kemakmuran rakyat kebanyakan. Secara sistematis aktivitas ekonomi pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga kelompok besar yakni produksi, distribusi dan konsumsi.
Dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi bangsa perlu memaksimalkan produksi barang. Setelah itu yang perlu diperhatikan adalah cara dan mekanisme pendistribusian produk-produk tersebut agar sampai ke tangan pihak konsumen untuk dikonsumsi. Keterkaitan dan kelancaran jaringan faktor-faktor produksi, distribusi dan konsumsi tersebut suatu keniscayaan guna menumbuh-kembangkan aktivitas ekonomi. Lalu peran UKM yang berada ditingkat akar rumput dengan jumlah besar sesungguhnya akan dapat menjembatani proses pemerataan ekonomi bangsa secara optimal. Namun jika barang yang didistribusikan dan dikonsumsi bukan berasal dari produksi dalam negeri alias mengimpor dari luar negeri, maka cerita pemerataan seperti yang dijelaskan diatas tentu berbeda hasilnya.
Dalam sistem ekonomi liberal yang kapitalistik dan bersifat global itu adalah hal biasa apabila pemilik modal berupaya semaksimal mungkin mengkapitalisasi harta dan modal agar dapat menjadi berlipat-lipat meski untuk hal ini mereka melakukan perluasan usaha hingga menembus batas negara. Sebagai contoh perusahaan multinasional dari luar negeri yang bercokol di negara-negara berkembang yang biasanya dijadikan tempat produksi dan pemasaran sesungguhnya memiliki tujuan utama meningkatkan harta kekayaan (kapitalisasi) perusahaan (termasuk pemilik modal) semata ketimbang membantu masyarkat di negara berkembang itu. Memang seolah tampak bahwa dengan kucuran investasi mereka kehidupan masyarakat setempat akan sejahtera, namun hal ini sebenarnya hanya menutupi nafsu hedonisme mereka yang ingin kaya dan lebih kaya lagi. Sementara itu dalam banyak kasus para pemodal besar itu lepas tangan atas kerusakan lingkungan akibat proses produksi, eksplorasi bahan baku mentah serta eksploitasi sumberdaya alam di negara berkembang itu. Nafsu keduniawian mereka begitu tinggi karena agama sesungguhnya mereka adalah gaya hidup hedonisme, andaikan mereka mengaku beragama tetap saja oorientasi hidup dan kehidupan hanya sebatas kesenangan sesaat didunia, tidak peduli pada ajaran agama.
Islam turun sebagai agama pencerah bagi manusia termasuk dalam hal aktivitas ekonomi. Islam tidak melarang manusia kaya sebagaimana sejumlah Sahabat Nabi dahulu juga ada yang termasuk golongan kaya, bahkan sejumlah Nabi dan Muhammad SAW sendiri sebelum menjadi Rasul pada masa mudanya cukup kaya raya sebagai hasil berbisnis (dagang). Namun, dalam sejarahnya diketahui mereka (para Nabi dan Sahabat kaya) sangat yakin dan haqul yakin bahwa kekayaan yang dimiliki hanyalah ujian dan dititipkan Allah karena harta tersebut milik Allah. Kekayaan para Nabi dan Sahabat itu semata-mata didedikasikan untuk kepentingan di jalan Allah sebagaimana wahyu Allah dalam surat al Imron ayat 180:
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunianya menyangka, bahwa kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak dilehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allahlah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (3: 180)