Sesungguhnya, Indonesia memiliki potensi kekayaan alam yang kaya raya. Sumber daya alam Indonesia melimpah ruah berupa minyak bumi, timah, gas alam, nikel, kayu, bauksit, tanah subur, batu bara, emas, dan perak dengan pembagian lahan terdiri dari tanah pertanian sebesar 10%, perkebunan sebesar 7%, padang rumput sebesar 7%, hutan dan daerah berhutan sebesar 62%, dan lainnya sebesar 14% dengan lahan irigasi seluas 45.970 km. Meski kaya akan sumber daya alam dan manusia, Indonesia masih menghadapi masalah besar dalam bidang kemiskinan yang sebagian besar disebabkan oleh korupsi yang merajalela dalam pemerintahan.
Dengan kekayaan alam sangat istimewa mengapa kemiskinan yang lebih mendominasi Indonesia? Tentu banyak penyebabnya. Diantara penyebab itu adalah lemah atau rendahnya kualitas kepemimpin (elite) bangsa . Kepemimpinan bangsa yang dipercayakan pada sejumlah elite ternyata menjelang 69 tahun merdeka masih belum mampu mengangkat harkat hidup kebanyakan masyarakat. Hanya segelintir manusia Indonesia yang menikmati kemewahan. Itu pun lebih banyak dikuasai para orang kaya Indonesia keturunan yang banyak melibatkan diri dalam dunia usaha dan industri. Coba bayangkan, penduduk asli pribumi) Indonesia yang banyak mencari nafkah dengan susah payah pada sektor informal dan atau UKM. Berdasar statistik yang diperoleh terungkap bahwa 99,9% dari total unit usaha yang ada di Indonesia ternyata berasal dari sektor UMKM, Pada saat krisis melanda Indonesia sektor UMKM tetap berkibar tahan banting. Sebaliknya, usaha besar bertumbangan alias gulung tikar, sehingga sendi perekonomian bangsa terguncang hebat karena memang cenderung dibangun dari sistem ekonomi pasar bebas.
Pemimpin harus “menggulung lengan baju” untuk turun kebawah, merasakan dan melakukan tindakan strategis menolong kesusahan hidup yang di derita rakyat. Apabila fenomena ini yang tampak dalam kegiatan pemerintahan kita maka sang pemimpin telah memberikan teladan bagi para jajaran dibawahnya (menteri dan pejabat lainnya). Dan akan menjadi pembelajaran sosial yang bermanfaat. Rakyat pun akan terasa diperhatikan dan kian dekat dengan pemimpinnya, sehingga prosedur kaku keprotokolan dengan sendirinya tidak akan diperlukan lagi. Pemimpin dan rakyat menyatu. Rakyat kecil tidak terlalu banyak menuntut dan meminta. Mereka bergelut dengan kebutuhan primer dan apabila pejabat yang diamanahkan mengelola negeri ini mampu menyediakan kebutuhan dasar itu, mereka akan sangat senang luar biasa dengan pemimpinnya. Sebagaimana pengamat motivasi Maslow mengatakan bahwa manusia sangat membutuhkan terpenuhinya kebutuhan dasar. Jika mendapatkan sesuap nasi saja sulit, maka efek dominonya akan terus berlangsung hingga dapat menjalar ke persoalan lain yang lebih runyam seperti aksi kekerasan, ketidakdispilinan dan kesemrawutan sosial bahkan bukan tidak mungkin separatisme.
Kerja keras yang dilakukan pemerintah belum tentu suatu kerja cerdas karena berupaya keras akan gagal tanpa kecerdasan dan kecerdasan itu tidak saja kecerdasan otak (intelektual) tetapi juga kecerdasan emosional termasuk kekuatan empati elite. Jikalau tidak ada perubahan signifikan dalam memimpin bangsa, dikuatirkan persoalan bangsa malah tambah runyam. Kian lama biaya sosialnya makin besar. Rakyat (lagi-lagi) mendapatkan pelajaran berharga dalam memilih pemimpin. Oleh karena itu kita jangan lagi jatuh di lubang yang sama. Ini berarti kita tidak pernah belajar dari pengalaman. Jika tidak ada tindakan berarti untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan negara ini, maka bukan tidak mungkin NKRI dapat menjadi kenangan semata atau tinggal sejarah belaka.
Untuk mengatasi persoalan bangsa yang demikian besar dan berat itu kita memerlukan pemimpin yang berkualitas, pemberani, tegas dan tidak mau didikte oleh bangsa lain serta tidak ingin dijadikan boneka oleh siapapun. Pemimpin yang kuat keyakinana agamanya tidfak takut oleh siapapun kecuali Tuhan yang menciptakan-Nya. Jangan memilih pemimpin yang "klemar klemer" sehingga bisa dijadikan boneka oleh orang lain bahkan bisa menggadaikan harga diri dan harga diri bangsa kepada bangsa asing. Plihlah pemimpin yang kuat jangan yang lemah. Orang populer dimata masyrakat tidak otomatis mampu memimpin karena pemimpin perlu keberanian dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.