Kajian Ekonomi Islam (seri 2 - lanjutan)

Author : Aries Musnandar | Tuesday, March 11, 2014 09:33 WIB

Ekonomi Islam Bukan Kapitalisme Sosialisme (bahan diskusi dengan mahasiswa)

Oleh: Aries Musnandar*

Penerapan ekonomi Islam di Indonesia masih saja dikonotasikan dengan hal-hal yang bersifat transaksional ala ekonomi kapitalis, sehingga kata-kata populer yang sering diungkapkan manakala menjelaskan disiplin ekonomi seperti, menekan biaya pengeluaran seminimal mungkin, meraup keuntungan semaksimal mungkin, seolah menjadi motto atau tujuan baku aktivitas ekonomi. Lama sudah kita dicekoki tata cara beraktivitas ekonomi dengan sandaran gaya dan pola hidup dari mereka yang menyebarluaskan prinsip-prinsip ekonomi liberal kapitalistik. Padahal senyata dan sebenarnya kita memiliki gaya dan pola hidup yang berbeda dari mereka, hingga kemudian ilmu-ilmu ekonomi konvensional itu masuk ke relung-relung kehidupan bangsa ini, membikin perubahan gaya dan pola hidup yang menyerupai masyarakat ekonomi liberal kapitalistik.

Kehidupan masyarakat dalam iklim liberal kapitalistik mempunyai pandangan, filsafat dan pegangan hidup sendiri yang diperoleh dari hasil tesis, antitesis dan sintesis atas pemahaman mereka pada keyakinan (baca: keagamaan) berlandaskan logika akal sehat. Daya aqliyyah masyarakat liberal demikian dominan dan tak ada dogma yang bisa menghalangi hasil produk akal, apalagi mengatur-atur kehidupan duniawiyyah. Daya tarik agama yang dianut dan diyakininya tidak mampu membendung kepiawaian akal yang mengkritisi nash-nash agama dalam mewujudkan tata kelola kehidupan dunia. Berbagai peristiwa bertolak belakang antara keyakinian ilmu dan kebijakan agama mencuat, salah satu yang paling fenomenal adalah konflik Galileo Galilei dengan Gereja di abad 17 M. Dari sinilah skeptisme terhadap agama muncul yang melahirkan syakwasangka atas agama yang dipeluknya. Lalu masyarakat Barat menempatkan posisi agama tidak pada peran mengarahkan jalan kehidupan dunia, tetapi lahir paham sekularisme yang menjauhkan agama dari aktivitas manusia baik dalam pemerintahan maupun pengembangan ilmu. Turunan sekuralisme ini membawa serta pemahaman dikotomik antara agama dan sains (IPTEK). Kekuatan rasionalitas, logika dan bukti empirik menjadi bagian tak terpisahkan dalam menemu-kenali dan menumbuh-kembangkan IPTEK. 

Sekularisme tersebut bisa membuat sejahtera secara materi, maju dalam peradaban dan memiliki etos kerja tinggi,  namun disisi lain sekularisme membawa implikasi yakni kering sentuhan kemanusiaan, masyarakat condong individualistis, egois dan cuek. Dari situ muncul istilah humanisme, sosialisme dan dan post-positivisme. Adam Smith dianggap sebagai Bapak Kapitalisme pelopor ilmu ekonomi modern paham liberalisme lalu muncul pemikiran Karl Marx yang berlawanan dengan pola pikir Adam Smith. Meski pemikiran Karl Marx yang sosialis komunis merupakan anti tesa dari pandangan Adam Smith yang kapitalis liberalis namun keduanya lahir dalam kandungan sekularisme juga atau dalam kalimat konotatif bisa dikatakan "meski anak berbeda tetapi Ibu Bapaknya sama".

Seorang mahasiswa dalam diskusi dengan saya menyampaikan kutipan pendapat dosen ekonominya yang mengatakan bahwa Adam Smith pun menyadari adanya tangan-tangan Tuhan dalam praktek sistem ekonomi yang sampai sekarang masih terus digunakan itu. Apa yang makna campur tangan Tuhan dalam persoalan ini? Tentu pemahaman Adam Smith tidak sama dan sebangun dengan pemahaman Tuhan oleh sejatinya Muslim yang berdasar al Quran. Campur tangan Tuhan dalam pengertian Barat sebenarnya adalah "spiritualisme tak bertuhan", mirip dengan penganut paham komunisme yang menjadikan sosialisme sebagai "spiritualisme komunisme". 

Kedua-duanya (Kapitaliisme dan Sosialisme) berpikir, bertindak dikotomik tidak menyangkut pautkan agama dalam aktivitas keduniaan. Jadi Kapitalisme dan Sosialisme itu serupa tapi tak sama, berorientasi dunia belaka tanpa bekal kehidupan kekal di akherat karena mereka tidak memiliki "kitab suci" sebagai penjelas sekaligus pembeda antara kehidupan dunia dan kehidupan setelah dunia sebagaimana ajaran agama Islam. Kekuatan akal semata yang menjadi tumpuan berpijak dan berjalan mereka dalam menyisir rona-rona perjalanan hidupnya.   

Liberalisme dan komunisme yang sebenarnya sama-sama menerapkan prinsip sekularisme itu tidak atau belum mengenal Islam sebagai agama pencerahan umat manusia, suatu "agama baru nan lama". Pemahaman atas apa yang diyakininya tidak ditopang oleh alternatif pemahaman spiritualisme yang dibawa Islam. Ajaran Islam yang menggabungkan daya aqillyah dalam naungan dalil-dalil naqliyyah tidak dikenal dan belum dipahami secara benar oleh masyarakat Barat selama berabad-abad lamanya. Kalangan yang sesungguhnya memahami "kebenaran" ajaran Islam senantiasa berusaha untuk menutup-tutupi karena memiliki agenda tersendiri, mereka tidak rela Islam berkembang cepat dan meluas. Kebenaran Islam dihalangi bahkan mereka menginginkan semua umat termasuk Muslim untuk mengikuti cara-cara dan gaya hidup mereka yang tidak ingin Islam sebagai agama yang benar berkembang luas. Upaya yang dillakukan mereka (Yahudi dan Nasrani) secara jelas tanpa tedeng aling-aling dapat kita temukan dalam al Quran (QS 2: 120).

Cara, pola dan gaya hidup masyarakat Barat yang tidak bisa menerima kebenaran Islam dibuat sedemikian rupa agar mendunia dan diikuti oleh umat manusia didunia. Melalui globalisasi dan liberalisasi manusia di dunia "dipaksa" turut serta mengikuti keinginan mereka atau dalam bahasa Bush Jr., mantan Presiden Amerika disebut "you are with us or you are against us". Fenomena, situasi dan kondisi semacam ini bukan hal yang baru karena kitab Suci al Quran telah menceritakan tentang perilaku kaum-kaum yang menolak kebenaran, namun janji Allah pun di pihak lain untuk terus menjaga kemurnian al Quran hingga akhir zaman amat jelas, nyata dan terbukti. 

Sebagai sistem nilai hidup dan kehidupan di dunia ini tentu al Quran tidak luput dalam membahas persoalan ekonomi. Sejumlah ayat dalam al Quran, penjabaran dalam Hadist dan sirah nabawiyyah sebenarnya lebih dari cukup untuk merancang ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja karena pengaruh ekonomi liberal di bumi ini demikian kuat dan kokoh cengkeramannya membuat ekonomi sharia seolah terseok-seok dalam kelambanan berkpirah untuk kesejahteraan umat. Namun demikian, lambat laun masyarakat dunia mulai menyadari akan rapuhnya sistem ekonomi liberal. Cendekiawan non Muslim yang belajar konsep ekonomi Islam bahkan mengetahui bahwa konsep Islam dalam sistem ekonomi amat menarik untuk didalami, dikembangkan dan diterapkan. Sehingga muncul perhatian terhadap aktivitas ekonomi berdasar sharia yang awalnya dimulai dari sistem perbankan. Bank syariah menaruh perhatian pada esensi nilai-nilai Islam yang digunakan dalam aktivitas perbankan. Di Indonesia ekonomi Islam yang berangkat dari perbankan mencuatkan Bank Muamalat pada tahun 1994 sebagai pelopor diikuti oleh bank-bank syariah lain, lalu muncul aktivitas ekonomi berlandasakan syariah seperti dalam pembiayaan, asuransi dan lembaga keuangan. Meski begitu bayang-bayang ekonomi konvensional yang telah lama tertanam dalam aktivitas ekonomi bangsa ini masih saja "mengganggu" pemurnian konsep ekonomi dalam perspektif Islam. 

Tumbuh-kembangnya ekonomi Islam di Indonesia cukup membanggakan meski masih terbatas pada perbankan, asuransi, dan sejenisnya. Ekonomi Islam belum menyeluruh digunakan dengan mengikuti perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah dalam membentuk masyarakat sejahtera sebagaimana tujuan dari penerapan sistem ekonomi itu sendiri. Bukankah sistem ekonomi diterapkan untuk membuat masyarakat makmur dan sejahtera. Dalam ajaran Islam kesejahteraan dan kemakmuran materi merupakan instrumen belaka bukan menjadi satu-satunya tujuan dan bukan hal utama sebagai pencapaian keberhasilan hidup tetapi keberkahan hidup dengan mematuhi ajaran Islam secara kaafah (menyeluruh) untuk memperoleh kebahagiaan hidup di akherat menjadi akhir destinasi manusia sesungguhnya. Islam sejatinya mengajarkan keseimbangan di dunia dan akherat dengan memasang tujuan utama untuk akhrat maka tujuan dunia dapat diraih, tetapi apabila tujuan hanya dipasang untuk kebahagiaan di dunia semata sebagaimana arah ekonomi Barat  maka kebahagiaan akherat tidak dapat diiraih. Sistem sistem ekonomi Islam tidak boleh dikotak-kotak antara tujuan dunia dan tujuan akhirat tetapi merupakan satu kesatuan non dikotomik. Wallahu a'lam.

*) Pemerhati Ekonomi Umat / Konsultan Pengembangan SDM

Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: