Pondok pesantren atau pesantren sudah sangat lama dikenal masyrakat Indonesia sebagai lembaga pendidikan keagamaan. Pada awal pendirian pesantren membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu keagamaan seperti syariah, ushul fiqih, adab, bahasa Arab dan berbagai disiplin terkait dengan kajian keagamaan (keislaman). Pada perkembangan kemudian banyak pesantren yang memasukkan pelajaran yang kurang dan bahkan tidak terkait langsung dengan ajaran Islam. Pelajaran bahasa Inggris adalah salah satu dari sejumlah pengayaan materi pelajaran yang kini banyak diterapkan lembaga pendidikan semacam di pesantren. Memasukkan pelajaran bahasa Inggris tidak dipungkiri sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang menjadikan peradaban umat manusia didunia dewasa ini berubah. Referensi dan acuan peradaban yang berkembang saat sekarang memang menggunakan bahasa Inggris termasuk pula dominasi bahasa tersebut sebagai alat komunikasi pada banyak komunitas di dunia. Dalam situasi seperti ini Pesantren akhirnya turut beradaptasi atas perubahan dan perkembangan pesat iptek dan budaya yang tumbuh kembang di belahan dunia dan saling mempengaruhi. Selain bahasa asing pesantren juga memperkaya materi ajarannya dengan ilmu atau masalah “dunia” seperti meningkatkan keterampilan santri dalam bercocok tanam atau bertani. Kemashyuran atau keterkenalan pesantren biasanya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dan peran Kyai sebagai orang yang menguasai dan mengajarkan ilmu agama di pesantren kepada para santri. Kepemimpinan Kyai di pesantren diakui cukup efektif untuk meningkatkan citra pesantren tersebut dimata masyarakat luas. Ketenaran pesantren biasanya berbanding lurus dengan nama besar kyai nya terutama kyai pendiri pesantren tersebut. Sosok kyai di pesantren tidak hanya selaku guru yang mengajarkan agama tetapi juga menjadi figur pemimpin yang mampu mengarahkan para santri dan pengikut atau pendukungnya dalam menempuh jalan hidup dan kehidupan mereka sehari – harinya. Kyai merupakan pemimpin sekaligus tokoh masyarakat yang menjadi panutan umat di lingkungan bahkan simptisan dan pendukung kyai bisa menembus batas wilayah pesantren. Efektivitas kepemimpinan Kyai di pesantren jika ditinjau dari teori kepemimpinan paling tidak memiliki 2 pendekatan yakni (1) power-pengaruh dan (2) pendekatan sifat (trait theory). Yukl dalam Sonhaji (2003) mengungkapkan keefekteifan kepemimpinan berdasarkan pendekatan yang pertama itu ditentukan oleh besarnya power yang dimiliki pemimpin (kyai). Power seorang kyai merupakan kekuatan yang diakui oleh pengikutnya menjadi suatu hall yang dapat mempengaruhi mereka. Power ini dapat berupa kedalaman ilmu sang kyai dalam agama serta otoritas yang dimiliki kyai terhadap pesantrennya. Sedangkan pendekatan sifat sering disebut sebagai pendekatan karsimatik yakni atribuit-atribut personal yang dimiliki kyai misalnya sorotan mata kyai, penampilan, ucapan, intonasi suara sang kyai. Kedua pendekatan ini jika lengkap dimiliki maka akan menjadikan kyai tersebut orang yang berkarisma atau sering disebut pemimpin berkarismatik. Kepemimpinan karismatik kyai ini sudah umum dikenali masyarakat. Pengaruh kyai yang kuat ini akhirnya menjadi incaran para politisi untuk mendulang suara. Berbagai taktik dan strategi politik yang dijalankan partai politik mesti tidak melupakan peran kyai bagi kepentingan partainya. Apalagi, semenjak bergulirnya reformasi muncul partai-partai yang mengusung azas Islam sebagai platform atau landasan ideologis partai. Hal ini sejalan dengan aktivitas kyai dalam menyebarluaskan ajaran Islam di pesantren dan lingkungannya. Banyak partai yang dibidanii pendiriannya serta dipimpin oleh para kyai dan tokoh agama. Dengan munculnya fenomena ini tentu tidak dapat dihindari terjadi “pemanfaatan” kepemimpinan kyai di pesantren oleh para politisi baik politisi yang memang sudah lama berkecimpung dalam aktivitas keagamaan maupun politisi non Islam (disebut nasionalis). Perkembangan politik praktis di Indonesia memabwa sejumlah kyai terjun langsung maupun tidak langsung dalam kancah perpolitikan di Tanah Air. Politik kyai dimanfaatkan partai politik di tingkat nasional maupun lokal khususnya dalam menarik suara pemilih (vote getter). Alhasil, kyai dihadapkan pada dunia politik yang kental dengan ketidakmenetuan dan ketidakpastian. Di dunia politik Indonesia tampak sekali bahwa tidak ada musuh yang abadi tetapi yang ada adalah kepentingan abadi. Heterogenitas dalam organisasi merupakan fenomena biasa di partai politik, sehingga inkonsistensi sering terjadi di organisasi partai politik, berbeda dengan di kalangan pesantren yang tingkat homogenitas kulturalnya tinggi. Sharplin (1985) mengungkap bahwa organisasi yang memiliki tingkat homogenitas tinggi akan sulit terjadinya adaptasi atau perubahan yang cepat. Padahal, dunia politik praktis sangat cepat dalam mengikuti perkembangan yang terjad, sehingga memiliki kelenturan luar biasa jikalau menginginkan partainya tetap popular dimata masyarakat luas. Kondisi perpolitikan di Negara kita yang sangat pragmatis ini mengakibatkan simpul-simpul pendulang suara di desa-desa termasuk tentu yang berada di pesantren hanya dijadikan alat kampanye melalui janji-janji “surga” . Belakangan kita merasakan betapa reformasi yang dihulirkan lebnih 13 tahun lalu yang dimotori kaum muda ternyata masih belum membawa perubahan berarti bagi iklim kesejahteraan rakyat. Bahkan disana sini tampak nilai-nilai moral tergerus dan tereduksi atas nama pragmatism politik. Karut marut pengelolaan kekuasaan karena sistem manajemen kekuasaan terlepas dari nilai-nilai, etika serta peradaban yang menghargai harkat dan martabat kemanusiaan. Penyimpangan yang terjadi dibanyak sektor kehidupan menandakan pemahaman warga bangsa pada nilai, etika & peradaban masih sebatas jargon verbal belaka belum terwujud nyata atau belum terinternalisasi merata sampai pada tataran perilaku bangsa sehari-hari. Para elite, politisi dan pejabat baru sebatas memanfaatkan rakyat termasuk dalam hal ini kyai di pesantren sebagai pijakan, untuk berkuasa, dijadikan alat dan bukan tujuan politik. Dalam jeratan kemiskinan dan ketakberdayaan sosial, rakyat cenderung memperlakukan dirinya sendiri floating mass yang dapat digerakkan oleh kekuatan uang dan kekuasaan. Semua fenomena ini membuat tingkat kepercayaaan rakyat terhadap elite pemimpin menjadi rendah. Akibatnya berbagai aksi massa secara brutal dan berimgas yang marak kita saksikan merupakan cermin tidak berwibawanya aparat penegak hukum dimata mereka, bahkan aparatur sering terlihat juga beritindak diluar kendali tak ubahnya seperti para pelaku kekerasan itu, Sehingga aksi kekerasan jalanan yang merebak di Tanah Air mendegradasikan nilai-nilai demokrasi. Sejatinya efektivitas pembumian nilai-nilai, etika dan peradaban yang menghargai martabat manusia disosialisasikan melalui contoh nyata elite pemimpin yang kemudian di turunratakan sampai pada tingkat aparat di lapangan. Contoh nyata elite pemimpin diikuti para aparat penegak hukumnya merupakan pembelajaran sosial yang efektif bagi rakyat untuk meningkatkan kepatuhan hukum dan kedisiplinan sosial (Albert Bandura 1977). Akibat semua itu, kekhawatiran yang muncul adalah memudarnya kesakralan atau karismatik kepemimpinan kyai terutama mereka (kyai) yang berpolitik praktis. Apalagi jika kekuasaan yang diperoleh sekarang ini “hasil upaya kyai”, maka hal-hal negatif yang mencuat dalam menjalankan amanh rakyat bisa jadi berdamnpak burukj terhadap kyai-kyai tersebut.