KPK VS “KEBUN BINATANG”
Oleh : Alungsyah*
Akhir-akhir ini publik diramaikan dengan adanya kasus KPK vs Polri. Kasus kedua lembaga ini tak sedikit yang menyebutnya sebagai kasus Cicak vs Buaya jilid III, bahkan ada yang menyebut Cicak vs Kebun Binatang. Ini bukanlah kata-kata yang sifatnya asal bunyi (asbun), jelas memiliki makna yang terkandung didalamnya. Kasus kedua lembaga Negara tersebut bahkan menyedot perhatian tidak hanya dikalangan para ahli hukum semata, namun hampir semua pandangan tertuju terhadapnya. Sesunggunya kasus ini bermula ketika pencalonan tunggal Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Jokowi selaku presiden RI mengajukan mantan ajudan Megawati Budi Gunawan sebagai satu-satunya calon tunggal yang akan menduduki posisi sebagai Kapolri. Akan tetapi tak lama berselang setalah itu, KPK menyentak publik dengan menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka rekening gendut.
Atas tindakan KPK tersebut akhirnya berujung “dendam” Polri terhadap KPK dengan menangkap pimpinan KPK bambang Widjojanto sebagai tersangka atas kasus pemilukada kabupaten kotawaringan Kalimantan tengah dengan tuduhan kesaksian palsu dibawah sumpah sebagaimana diatur dalam pasal 242 KUHP jo 55 KUHP. Dengan ditangkapnya Bambang Widjojanto, membuat publik baik itu masyarakat, mahasiswa, aktivis khususnya LSM anti korupsi melakukan pembelaan terhadap KPK dengan mendatangi gedung KPK untuk memberi dukungan secara langsung. Tidak hanya itu dukungan pun terus mengalir terutama dimedia sosial dengan reting tertinggi yang bertuliskan #SAVE KPK.
Penangkapan Bambang Widjojanto menuai kritik yang tajam dimasyarakat terutama para ahli hukum, bahwa penangkapan yang dilakukan oleh Kabareskrim tersebut merupakan tindakan yang sewenang-wenang tanpa ada prosedur dan mekanisme hukum yang jelas. Mengapa demikian, sebab penangkapan tersebut tanpa adanya surat pemebritahuan pemanggilan terlebih dahulu dan terkesan kasus yang menjerat Bambang Widjajanto merupakan kasus yang prioritas dari kasus-kasus lainnya. Setalah dilakukan penelusuran bahwa kasus tersebut baru dilaporkan oleh kader PDIP Sugianto Sabran pada tanggal 19 Januari 2015. Berselanag waktu 3 hari tanpa basa basi dan pikir panjang Polisi langsung menangkap Bambang Widjojanto tepatnya hari Jum’at, 23 Januari 2015 ketika sedang mengantarkan anaknya kesekolah dan tanpa didahului adanya surat pemberitahuan pemanggilan. Disinyalir tindakan tersebut tak lain balas dendam Polri terhadap KPK semata.
KPK “dikeroyok”
Prestasi pencapaikan KPK sebagai lembaga anti korupsi tidak diragukan lagi di negeri ini, sebab dengan predikat seratus persen tindakan yang dilakukan selalu berbuah dipenjara, ditambah dengan tidak dimilikinya kewenangan untuk mengeluarkan SP3. Publik pun dibuat bangga olehnya, karena lembaga anti rasuah tersebut mungkin bisa dibilang satu-satunya lembaga yang masih dipercaya dan menjadi harapan dalam pemberantasan korupsi. Tentu pada kondisi ini tak sedikit pula masyarakat dibuat was-was atas sepak terjang yang dilakukan oleh KPK selama ini, terutama para elit yang memiliki posisi sentral dalam institusi baik itu dilembaga swasta ataupun pemerintah. Mereka dibuat ling-lung dan cemas akan nasibnya, konon KPK memiliki jumlah “mata” yang banyak untuk mengawasi para elit tersebut. Sejak KPK didirikan pada tahun 2003 begitu banyak nasib pejabat yang berakhir tragis dipenjara, mulai dari kader partai, lembaga Negara, non pemerintah maupun sejenisnya. Kondisi inilah yang menjadikan KPK sebagai lembaga yang ditakuti bahkan dimusuhi terlebih “dimusnahkan” keberadaannya di republik ini.
Keberadaan KPK seperti musibah besar bagi para elit/pejabat, tak heran jika lembaga ini dimusuhi dan siap dihancurkan dari segala lini. Sepertinya kehancuran KPK sampai saat ini tidaklah mampu untuk dihancurkan dari dalam, namun dari luar-lah dengan mencari celah menghalalkan segala cara. Peristiwa yang terjadi baru-baru ini ialah dengan penangkapan pimpinan KPK Bambang Widjojanto yang dianggap beliau merupakan komisioner yang paling vocal dalam menerikkan korupsi bahakn ketika mengumumkan penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka. Babak baru segera dimulai, sebab aksi penangkapan tersbut dianggap sebagai tindakan kriminalisasi Polri terhadap KPK. Dengan demikian bahasa Cicak vs Buaya akan terulang kembali bahkan bahasa yang muncul tidak lagi Cicak vs Buaya, namun Cicak vs Kebun Binatang, mengapa demikian, sebab disinyalir KPK (Cicak) tidak hanya melawan Polri (Buaya), akan tetapi PDIP (Banteng) yang juga sebagai lawan mereka (KPK).
Dalam kondisi demikan, KPK seolah dikeroyok oleh “Binatang-binatang” tidak hanya buas, namun memiliki kekuatan yang itu sangatlah mustahil untuk dikalahkan. KPK lagi-lagi seperti memiliki musuh baru makhluk yang bernama “Banteng”. Ini tidak terlepas dari pelaporan Bambang Widjojanto kepada Polri oleh salah satu kader PDIP yang mana kabarnya calon yang kalah ketika bersengketa pemilukada di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010 silam. KPK dibombardir dari segala lini, ini terbukti dengan dilaporkannya pimpinan KPK satu persatu ke Barekrim Polri, menyusul Bambang Widjojanto, ialah Adnan Pnadu Praja atas dugaan kasus pemalsuan surat notaris dan penghilangan saham PT Daisy Timer 2006 oleh pengacara Mukhlis Ramdhan, kemudian Abraham Samad yang dilaporkan oleh Direktur Eksekutif KPK Watch M. Yusuf Sahide atas dugaan melanggar UU KPK karena bertemu pimpinan parpol 2014 dan yang terakhir ialah Zulkarnaen atas dugaan kasus dana hibah P2SEM 2010 yang dilaporkan oleh LSM Jatim Aksi Pimpinan Fathorrasjid (jawa pos 27/1).
Melihat tindakan tersebut, sejatinya sangatlah sulit untuk dinalar dengan akal sehat atas pelaporan terhadap pimpinan KPK. Orang gila sekalipun akan mampu untuk melakukan analisa terhadap tindakan pelaporan yang menghampiri satu persatu pimpinan KPK tersebut. Ini jelas terdapat sekanario/ setting-an yang dibangun atas apa yang terjadi, jelas dalang dibalik semuanya haruslah ditemukan dan dihentikan dengan tindakan yang bersifat ingin melemahkan dan mengahancurkan KPK melalui SDM-nya. Saya rasa masyarakat sudah mengetahui siapa dalang dibalik ini semua. Dengan menggunakan logika yang rasional terhadap kejadian ini lalu disandingkan pada kondisi yang terjadi sekarang yang bermula penetapan calon Kapolri Budi Gunawan sebagai tersangka.
KPK Harga Mati
Ibarat pepatah KPK tiada, tiada pula negeri ini, pepatah itulah kiranya yang tepat untuk melambangkan KPK sekarang. Keberadaan KPK seperti jantungnya rakyat, sebab tiada harapan lain yang dapat digantungkan kalau bukan kepada KPK. Ini berarti rakyat merasa terselamatkan hak-hak asasinya dari “tikus-tikus” yang tidak bertanggungjawab dan merampas uang rakyat. Tidak bisa bayangkan jikalau negeri ini tidak ada lembaga sekelas KPK. Korupsi tentunya meraja lela dimana-mana, mulai dari pejabat lokal sampai nasional. Oleh sebab itu KPK mau tidak mau harus diselamatkan, KPK harus dijaga dan KPK harga mati. Untuk menyelamatkan KPK dibutuhkan langkah dan tindakan yang serius lagi tersistematis tidak hanya dari masyarakat, namun seluruh elemen harus terlibat karena itu ada beberapa solusi yang harus dilakukan, diantaranya ialah:
Pertama, Jokowi sebagai orang nomor satu di Republik ini harus tegas, cepat dan tepat dalam bertindak untuk mengambil kebijkkan yang itu mengakomodir semua pihak. Sebab akhir-akhir ini presiden diyakini tidak leluasa dalam melakukan tindakan terhadap perselisihan yang sedang terjadi, sehingga solusi yang diberikanpun dianggap mengecewakan. Konon katanya ini terjadi disebabkan kuatnya interpensi partai tempatnya bernaung dan partai pendukung terlebih ketua umum partai lebih mendominasi setiap kebijakan yang diambil Jokowi. Ini terbukti dengan tindakan Jokowi yang dibilang tidak tegas dalam memberikan solusi bahkan terkesan tersandera oleh orang-orang disekitarnya (PDIP). Kedua, Jokowi harus berani dalam bertindak dan segera menghentikan perselisihan yang terjadi diantara kedua lembaga tersebut. Dengan tindakan yang berani, berarti Jokowi akan komitmen terhadap pemberantasan korupsi yang pernah diterikkan ketika kampanye 2014 silam. Jokowi harus sadar dari tidur panjangnya selama ini, bahwa ia bukan lagi milik dan petugas partai, ia bukan milik PDIP terutama “jongos” nya ketua umum partai. Jokowi milik rakyat Indonesia yang telah memilihnya pada pemilu lalu dan sudah saatnya Jokowi untuk lepas dari kepentingan yang membelenggunya selama ini.
Ketiga, Jokowi sebagai presiden diharapkan dapat mendorong Polri untuk mengeluarkan SP3 terhadap kasus yang menjerat Bambang Wiadjojanto serta terhadap pimpinan KPK lainnya. Jika tidak, maka rakyat akan kehilangan harapan, KPK akan sirna dengan dihuni orang-orang yang berkualitas dan berintergritas yang ditetapkannya sebagai tersangka. Ini pula berarti dalam Undang-undang KPK pasal 32 ayat 2, apabila pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka, maka harus mundur dari jabatannya atau diberhentikan sementara oleh presiden sebagai pimpinan KPK. Walaupun sejatinya harus menunggu keppres dari presiden terkait pemberhentiannya. Alternatif lainnya ialah presiden harus membentuk pansel secepatnya dan mencari pengganti pimpinan KPK yang mundur dari jabatannya, agar kasus yang tengah ditangani tidak berlarut-larut. Semoga KPK tetap berjaya dalam meberantas korupsi di negeri ini.
` * Penulis adalah penggiat hukum tata negara dan pidana
Nama : Alungsyah
Alamat : Jl.Tirto Utomo No.6a Landungsari Malang 65151
Ttl : Palembang, 3 Juli 1990
Alamat : Jl. Tirto Utomo Gan 8 No 6b Malang
E- Mail : alungsyah1989@gmail.com
No HP : 085 755 288 382