Perhatian pemerintah terhadap madrasah sebagai lembaga pendidikan untuk tingkat SD (MI) hingga SMA (MA) masih belum memadai. Berdasarkan data yang diperoleh siswa putus sekolah (drop-out) dari madrasah cukup tinggi. Pada tahun ajaran 2008/2009, siswa yang putus sekolah di tingkat madrasah ibtidaiyah (MI) tercatat 12.161 dari 2.916.227 siswa, madrasah tsanawiyah (MTs) 18.723 dari 2.437.262 siswa, dan madrasah aliyah (MA) 4.290 dari 397.366 siswa. Sementara pada tahun ajaran 2009/2010, jumlah siswa yang putus sekolah di MI sebanyak 7.364 siswa, MTs 9.101 siswa, dan MA sebanyak 3.405 siswa. Meski menurun, angka tersebut masih lebih tinggi dibanding jumlah siswa putus sekolah di lembaga pendidikan umum. Tingginya angka putus sekolah di madrasah sebagian besar dilatarbelakangi faktor ekonomi. Hal ini karena para orang tua siswa yang umumnya hidup dengan tingkat kesejahteraan dan perekonomian yang rendah. Kondisi ini berimbas pada citra yang dilekatkan pada lembaga pendidikan madrasah yakni sebagai lembaga pendidikan bagi siswa tak mapu. Padahal, tak sedikit siswa madrasah berpotensi (Angka Putus Sekolah di Madrasah Masih Tinggi, Republika, 23 Maret 2011).
Pemerintah (Kementerian Agama) yang membina madrasah memiliki dana pendidikan yang terbatas sementara jumlah madrasah sangat banyak. Oleh karena itu pengelolaan dana pendidikan menjadi hal yang mendesak diperhatikan. Suatu sekolah haruslah memiliki kemampuan dalam mengelola dan mengalokasikan dana pendidikan sehingga sumber daya yang berupa uang dapat diberdayakan secara optimal. Dari satu hasil analisis menunjukkan bahwa kualitas penyusunan anggaran, partisipasi stakeholder dalam pengelolaan dana pendidikan dan pengawasan pengelolaan dana pendidikan oleh komite sekolah berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas pendidikan, sedangkan kualitas laporan keuangan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas pendidikan
Problem putus sekolah yang masih tinggi di madrasah disinyalir karena pengelolaan dana pendidikan belum maksimal. Jumlah madrasah negeri sangat sedikit dibanding jumlah madrasah swasta. Itu berarti Kementerian Agama sebagai Pembina dan Pengendali operasional sekolah madrasah tidak hanya terpaku membantu persoalan pendanaan madrasah negeri, sebab mayoritas populasi siswa madrasah berada di madrasah swasta. Terlebih lagi kondisi lingkungan kemasyarakatan dan status sosial keluarga siswa madrasah swasta belum sepenuhnya menunjang kelancaran program madrasah dalam meningkatkan kualitas siswa secara optimal. Masalah ekonomi dan pengelolaan dana pendidikan menjadi hal yang krusial.
Sekolah berkualitas tidak selalu harus mahal, tetapi memang untuk menjadikan sekolah itu berkualitas memerlukan dana yang tidak sedikit. Mahal bersifat relatif dan terkait dengan biaya. Biaya tinggi (high cost) seolah telah menjadi fenomena dunia pendidikan dalam mengelola dana yang dibutuhkan bagi operasionalisasi kegiatan persekolahaan. Kegiatan pendidikan memang memerlukan dana, tetapi jika tidak dikelola dengan paradigma yang tepat maka pembiayaan pendidikan menjadi jauh dari keefektifan pembiayaan (cost effectiveness).
Pola pikir penyelenggara madrasah perlu dirubah dalam mengelola dana pendidikan. Efisiensi yang bertumpu pada cost effectiveness semestinya dapat menjadi prinsip kerja pengelola dana pendidikan. Prinsip manajemen ekonomi yaitu sinergi antara efektifitas dan efisiensi yang memunculkan produktivitas dapat diterapkan pada dunia pendidikan dalam tata pandang entrepreneurship atau kewirausahaan di madrasah. Kenyataan menunjukkan bahwa lingkungan sekolah / madrasah belum “disadarkan” pentingnya membentuk jiwa kewirausahaan.
Entrepreneurial school/university atau pendidikan berwawasan kewirausahaan telah menjadi motto dan perhatian dunia pendidikan. Namun kenyataan lingkungan sekolah belum sepenuhnya sadar akan pentingnya membentuk jiwa kewirausahaan. Sebagian mereka kurang menyadari akan arti penting mengembangkan usaha produktif. Birokrasi pendidikan tidak selalu kondusif untuk mengaktualisasi dan mengekspresikan jiwa entrepreneurship. Padahal, untuk menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan dan membentuk karakter entrepeneurial di sekolah membutuhkan lingkungan kondusif. Kegiatan dan program menumbuh-kembangkan jiwa kewirausahaan di madrasah mulai perlu disosialisasikan.
Paradigma entrepreneurship berbeda dengan komersialisasi. Jika karakter kewirausahaan menanamsuburkan pola-pola pikir kreatif, menciptakan produk/gagasan dan menjadikannya memiliki nilai tambah ekonomis, maka komersialisasi merupakan kegiatan “menghalalkan segala cara” melanggar rambu etika dengan memanfaatkan wewenang dan peluang yang dimiliki. Contoh dari komersialisasi di dunia pendidikan misalnya menjadikan obyek terdidik (siswa) sebagai sumber penghasilan dengan memperoleh pemasukan dari biaya buku, biaya gedung, SPP yang mahal dan lain-lain. Bentuk komersialisasi seperti ini harus dikikis dan jauh dari mentalitas penyelenggara pendidikan diganti dengan paradigma entrepreneurship
Lembaga pendidikan Islam seperti madrasah lahir dari bawah dengan idealisme tinggi dan semangat kemandirian. Tidak terhitung biaya yang dikeluarkan untuk sebuah madrasah. Senyatanya, walau rakyat dalam kondisi yang tidak berlebihan ribuan madrasah bisa didirikan di seluruh Indonesia tanpa bantuan pemerintah. Jutaan anak usia sekolah belajar di madrasah meski dalam kondisi sederhana, tanpa bantuan memadai seperti sekolah-sekolah biasa (SD/SMP/SMA). Idealisme masyarakat kini dihadapkan perkembangan jaman yang berorientasi ekonomis. Diakui bahwa keberadaan madrasah ini sangat membantu pemerintah dalam melaksanakan amanah konstitusi yang mengharuskan pemerintah berupaya memeratakan kesempatan kepada rakyat untuk memperoleh pendidikan. Pada titik inilah kiranya pemerintah perlu lebih peduli atas kendala dan kesulitan yang dihadapi madrasah terutama dalam menyediakan alokasi anggaran yang tidak diskriminatif antara sekolah umum dan madrasah.