Mahasiswa Memang Perlu Dijebloskan ke Masyarakat

Author : Arif L. Hakim | Friday, December 12, 2014 10:32 WIB

“Jadi, e… program yang akan kita laksanakan ini e… akan berlangsung selama e.. dua bulan”, seru si bocah yang katanya mahasiswa semester 6 dari sebuah kampus.

Aku menyebutnya bocah, karena di usianya yang bukan remaja, bukan pula orang tua, ya bocah, dia masih saja gemetar saat berbicara di depan warga.

Untuk kesekian kalinya saya melihat kejadian yang menggelikan; mahasiswa yang grogi saat berbicara.

Hei bocah, ke mana saja hidupmu? Apakah tumpukan teori telah memingitmu untuk membumikan apa yang kau pelajari? Atau jangan-jangan, kecerdasan bahasamu sudah di-block oleh kecanggihan teknologi yang membatasi penggunaan karakter aksara?

Mungkin tipikal mahasiswa di atas hanya sebagian saja dari seluruh populasi mahasiswa di Indonesia.  Sebenarnya banyak juga mahasiswa yang sangat lihai berbicara di hadapan publik. Namun tak jarang, bicaranya sering menggunakan bahasa yang ndakik-ndakik dan sulit dipahami oleh pendengarnya. Seolah kamus ilmiah populer telah ditelan dalam perutnya, sehingga apa saja yang dibicarakan akan menyebut kata-kata ilmiah yang dia sendiri belum jelas memahaminya. Kemudian merasa sudah paling pintar dan terpaksa disajikan saat berinteraksi di depan masyarakat grass-root.

Selain hapal teori, mahasiswa juga sebaiknya menambah jam untuk bermain dan berpetualang. Keluarlah sejenak dari kampus. Kenali kehidupan para penderes karet, petani bawang merah, atau pedagang pasar. Belajarlah tentang kreatifitas untuk survive dari kehidupan nelayan yang hidupnya sensitif terhadap perubahan cuaca. Latihlah kejelian dan kepekaan dengan mencium bau matahari yang melekat pada baju dan rambut anak-anak kampung atau mereka yang ada di jalanan. Jabat mereka, dan nikmati binar mata tulus mereka saat mendengar cerita inspiratifmu.

Mahasiswa memang banyak sekali jenisnya. Yang juara olimpiade tingkat dunia ada, yang lulus cumlaude walaupun orang tuanya hidup sederhana juga banyak. Tapi, jenis mahasiswa yang nanggung juga tak sedikit. Mahasiswa model seperti ini yang biasanya menggunakan internet paket hemat tapi sok eksis di social mediatanpa jeda. Padahal buku-buku referensi kuliahnya fotokopian, pun disentuhnya sebagai alas mouse saat membuka laptop, mencari bocoran wifi, kalau sudah online bukan untuk mengerjakan tugas malah stalking mantan pacar. Mahasiswa yang pegang cangkul pegal, memanjat kelapa pun takut ketinggian, tetapi kalau sudah sarjana ya jadi karyawan yang masih saja butuh penyesuaian standar. Padahal kampusnya sudah sedemikian rupa meracik bumbu akademik ibarat pabrik, yang mengeluarkan produk untuk segera digunakan oleh pasar.

Mahasiswa memang sudah saatnya paham tentang wacana penerapan Masyarakat Ekonomi Asean, tetapi juga sebaiknya tahu bahwa di Indonesia ada masyarakat yang masih menggunakan sasi untuk melindungi lingkungannya.

Wahai mahasiswa, imbangi rutinitas berkelakarmu di Line, Whatsapp, Facebook, dan Twitter dengan menyambangi Pak Tejo, Mama Manus , Bi Asih, atau Mbah Sum.

Daripada membuang energimu untuk mengenang mantan pacar dengan penuh kegalauan, lebih baik manfaatkan untuk kegiatan nyata yang produktif bagi penghuni republik yang kita cinta.

Jelajahilah lembah dan gunung yang tersebar di Nusantara, temui dan berinteraksilah dengan masyarakatnya, agar isu aksi yang kalian gelar benar-benar menggetarkan pengambil kebijakan.

Lintasi pesisir pantai dan susuri tepian sungai di berbagai belahan Indonesia, dengar suara-suara mereka yang hidup di sana, sebagai bahan penguat presentasi saat memenuhi tugasmu sebagai agen penggerak perubahan.

Percayalah, kelak kalau kau jadi pegawai negeri, mungkin ikatan perasaanmu dengan masyarakat akar rumput akan membimbingmu menentukan kebijakan yang lebih cermat.

Yakini bahwa yang kau lakukan saat bersilaturahim dengan warga ada manfaatnya, entah untuk karirmu, urusan keluargamu, project perusahaanmu, bahkan untuk kemajuan bangsamu.

“Insinyur (Sarjana) yang bekerja pada orang lain itu (masuk dalam golongan) proletar. Karena ia menjual tenaganya (kepada orang lain) dan alat alat produksi yang dia gunakan untuk bekerja bukan menjadi hak miliknya.” ― Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi

*Tulisan ini hanya subyektifitas saya saja. Sebagai bahan refleksi jenis mahasiswa yang pernah saya temui.  Semoga bukan sejenis dengan anda :D

من المقطوع: http://muda.kompasiana.com/
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: