Apakah negeri ini telah Islami? Tentu kita tidak berani menjawabnya dengan penuh kebanggaan karena secara sederhana kita bisa menyaksikan betapa kualitas umat Islam di negeri ini masih terpuruk. Sehingga kebahagiaan dunia kaum Muslimin dan Muslimat dalam arti lahir dan batin tampaknya secara kualitas jauh berbeda bila dibandingkan masa kejayaan Islam masa lalu yang sangat gemilang. Secara kuantitas memang umat Islam di negeri ini mayoritas namun secara kualitas kita menyadari kekurangannya. Indikasi terkait hal ini dengan mudah diketahui dari ketergantungan cukup besar bangsa ini terhadap negara-negara lain yang bangsanya telah maju. Kemajuan bangsa lain dengan berbagai peradaban yang dimiliki dan diyakini terbaik bagi mereka lalu di ekspor ke negara lain agar bangsa-bangsa di dunia ini mengikuti tata peradaban mereka atau minimal terpengaruh untuk mengadaptasikannya, sehingga mereka tidak terganggu dan diganggu oleh peradaban lainnya.
Salahsatu peradaban non Islam yang merasuk merajalela kedalam kehidupan umat Islam terutama di Indonesia ini adalah peradaban Barat yang amat mencintai kehidupan dunia dengan landasan suksesnya adalah nilai-nilai fisik-materi belaka, sehingga amat populer istilah materialisme dalam filsafat hidup mereka. Ajaran Barat yang satu ini sekarang telah menggurita disegala aspek kehidupan umat Islam Indonesia. Ada anekdot populer ditengah-tengah masyarakat yang sebenarnya telah menajdi bagian keseharian kehidupan masyarakat pada umumnya, ungkapan itu adalah uang bukan segala-galanya tetapi segala-galanya perlu uang. Alhasil, uang dan turunannya bisa dikatakan sebagai berhala dalam zaman modernisme sekarang ini. Dari sinlah kemudian paham materialisme mencuatkan tindak perilaku komersialisasi. Agaknya hampir tidak ada sektor kehidupan yang tidak dikomersialisasikan. Bahkan kegiatan sosial kemasyarakatan dan agama pun sekarang ini dimasuki jiwa-jiwa manusia yang sarat dengan sifat dan watak komersialisasi itu yang serba duit atau ujung-ujungnya duit.
Aktivitas seremonial dan ibadah agama tak luput dari duit. Saya sendiri menyaksikan betapa pikiran komersil itu sudah bercokol dikepala umat Islam. Pada suatu waktu saya memergoki seorang imam sholat jenazah yang terang-terangan meminta bayaran kepada keluarga duka dan tanpa rasa malu menyebutkan besaran rupiah cukup besar dan harus segera dibayar pihak yang tengah mengalami musibah itu. Belum lagi kita menyaksikan sejumlah "juru doa" yang beroperasi di makam-makam umum dengan cara-cara yang agak memaksa dan kurang menyenangkan. Kegiatan tahlilan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai aktivitas ibadah juga tak lepas dari uang. Para jamaah tahililan dan (apalagi) si pembaca doa mendapatkan angpau alias duit disamping makanan minuman dan beseknya. Fenomena serba duit ini tidak bisa dipisahkan dari budaya masyarakat sekarang ini yang telah menjadikan uang sebagai faktor determinan dalam setiap tindak tanduk kegiatan masyarakat tanpa pandang sektor kegiatan yang dilakukan. Singkatnya, tabiat materialisme telah tumbuh subur merata pada gerak gerik kehidupan dan kebudayaan masyarakat kita ini termasuk umat Islam, nyaris tanpa terkecuali.
Apa yang menyebabkan perilaku materialisme ini menyeruak kesegenap kehdipdupan masyarakat? Penguasa negeri ini kurang cermat dan terkesan menyepelekan infiltrasi budaya dari bangsa lain. Sektor-sektor publik seperti media televisi, sosial media, film dan sebagainya dibiarkan terbuka menganga nyaris tanpa sensor ketat terhadap segala budaya asing yang masuk ke negeri ini. Materialsme itu masuk merambah sektor-sektor publik tersebut dan dengan sangat mudah menyebar ke semua komponen bangsa.Kita tengok saja betapa saluran televisi di negeri ini sangat liberal dan permisif. Betapa banyak tayangan yang bersifat hedonisme, anarkisme, animisme dan sejenisnya yang amat parah dan sangat cepat memengaruhi bangsa ini terutama para generasi mudahnya. Alhasil, generasi penerus bangsa mewariskan budaya asing yang amat bertentangan dengan nilai-nilai agama (Islam) yang katanya dianut mayoritas penduduk negeri.
Sektor lain yang tidak kalah pentingnya adalah pendidikan. Pelajaran-pelajaran yang diperoleh anak didik sejak awal sangat dikotomik yakni memishkan ajaran agama dengan ilmu umum. Seolah-olah agama itu hanyalah urusan akherat sedangkan ilmu umum lah yang mengurus masalah dunia. Cara pandang keliru ini mendegradasikan nilai-nilai ajaran agama itu sendiri yang sesungguhnya sangat lengkap dan sempurna. Ketidak-hadiran Tuhan dalam setiap ruang, waktu dan keadaan membuat bangsa ini menjadikan agama bernuansa simbolik belaka. Seakan -akan Tuhan hanya ada di dalam Masjid, pada waktu dan keadaan tertentu, selebihnya bukan urusan Tuhan. Situasi kondsai seperti ini yang membuat umat lalai akan ajaran mulya dari agama. Anak didik serta masyarakat dididik untuk menilai segala sesuatunya dari sisi materi semata. Keberhasilan pun dinilai dari segi materi bahkan demikian juga tolok ukur kebahagiaan seseorang diukur dari nilai-nilai berwujud fisik dan materi. Inilah persoalan bangsa ini yang perlu kita sadari dan segera dilakukan aksi cepat tanggap oleh pihak yang berkepentingan agar materialisme tidak terus bertahan dan berkembang kearah lebih runyam. Diatas semua itu kita memerlukan pemimpin yang kuat, amanah dan komitmen tinggi untuk memerhatikan ajaran agama yang membawa kebahagiaan dunia dan akherat. Wallahu a'lam.