SAAT ini sudah jamak bila kita mendengar kebencian publik terhadap dunia politik atau kinerja politisi dan pemimpin.
Alasan umum yang kerap kali muncul, setelah terpilih melalui prosesi politik elektoral, kerap kali pemimpin politik melupakan konstituen dan mandat yang telah mereka pegang. Publik kemudian kembali tersisihkan di pinggir arena.
Apabila kita runut ke belakang, boleh jadi persoalannya lebih pelik dari sekadar pengkhianatan mandat. Masalah muncul sejak di awal. Ketika publik mengantarkan politisi menjadi pemimpin, kita sering kali memperlakukan mereka ibarat ratu adil: hanya mengelu-elukan mereka dengan cek kosong untuk menyelesaikan segala masalah di tengah menumpuknya kekecewaan. Ketika hal ini terjadi, kerap kali kelanjutannya bukanlah sebuah perubahan yang lebih baik. Harapan tidak menjelma menjadi kenyataan dan gelap tidak berubah menjadi terang.
Fluktuasi politik
Kondisi seperti inilah yang mungkin saja muncul menjelang suksesi kepemimpinan nasional 2014, di tengah mulai tumbuhnya loyalitas serta fanatisme terhadap figur yang diproyeksikan sebagai ratu adil baru. Saat mengusung figur politik yang akan ditampilkan sebagai pemimpin nasional, seperti sosok Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan tokoh-tokoh lainnya, kita melupakan kerja untuk membangun dialog intensif antara agenda-agenda publik sebagai tawaran perubahan dengan program dan janji para pemimpin untuk memimpin Indonesia ke depan.
Tulisan ini tidak ingin mengkritik tampilnya para politisi dengan kapasitas ataupun performanya. Tulisan ini ingin mengoreksi bagaimana saat ini penciptaan opini tentang para calon pemimpin yang dianggap dapat membawa perubahan telah melupakan agenda penting tentang apa yang seharusnya diubah untuk Indonesia yang lebih baik. Juga daftar perubahan apa saja yang harus dimasak dan dikelola oleh tuntutan publik dan bagaimana mengubahnya dengan kebijakan-kebijakan konkret di tengah kondisi yang ada. Ketika hal ini absen dalam aksi politik yang kita lakukan pada momen suksesi 2014, alih-alih sebuah perubahan otentik, yang terjadi adalah lahirnya kekecewaan baru karena ternyata figur pemimpin yang kita usung bekerja dengan pikirannya sendiri: tidak berdasarkan rujukan konkret dari aspirasi pemilihnya.
Ada hal yang patut dicermati untuk direnungkan agar momen perubahan 2014 tidak terantuk pada tembok sejarah fluktuasi harapan dan kekecewaan seperti sebelumnya. Kerap kali dalam momen suksesi politik demokratis, para intelektual ataupun elite bersikap partisan dengan menyodorkan figur pemimpin, tetapi melupakan bahwa dalam demokrasi adalah entitas civil society, bukan elite yang menentukan perubahan.
Di tengah antusiasme tentang figur pemimpin yang akan menghadirkan perubahan, kita melupakan pentingnya menata dan mengelola agenda-agenda publik serta prioritas yang terukur untuk memengaruhi masa depan politik, juga mengawasi arena politik dan kepemimpinan nasional. Alih-alih membentuk perubahan politik di masa depan, situasi seperti ini berpotensi menciptakan tokoh sentral dalam sorotan cahaya panggung opera dan menjadikan rakyat tak lebih sebagai penonton. Padahal, dalam proses demokrasi, para aktor strategis seperti intelektual, tokoh masyarakat sipil, dan elite politik memiliki tugas sejarah untuk bersama-sama mendewasakan proses politik ataupun interaksi antara pemimpin dan rakyatnya.
Seperti diutarakan Matthew Flinders (2012) dalam Defending Politics: Why Democracy Matters in Twentieth First Century, bahwa apatisme politik kerap berawal dari ketergantungan politisi terhadap konstituen. Ini yang membuat mereka menebar janji-janji populis, sementara rakyat memercayai janji-janji tersebut tanpa syarat. Dalam kondisi demikian, jalan untuk merehabilitasi ranah politik membutuhkan hadirnya kedewasaan berpolitik.
”Negara pengurus”
Kedewasaan berpolitik dibangun melalui dua ukuran. Pertama, tampilnya barisan warga negara aktif yang berpartisipasi dalam penentuan agenda-agenda politik konkret. Kedua, munculnya pemimpin yang mampu membuat skala prioritas kebijakan (dari agenda yang telah dirumuskan warga) yang memungkinkan dapat dieksekusi sesuai kapasitas politik yang dimilikinya.
Melalui hubungan antara negara dan masyarakat sipil yang intens, arena demokrasi menjadi arena pembelajaran, di mana rakyat berpartisipasi menentu-
kan program politik untuk memengaruhi kebijakan ataupun mengevaluasinya. Warga negara yang aktif dan dewasa menyadari, pemimpin bukanlah superhero yang dapat menyelesaikan segala persoalan. Pemimpin hanyalah agensi yang diberi mandat sebagai aktor yang menjalankan perannya—meminjam istilah Mohammad Hatta—di dalam negara pengurus.
Dalam relasi antara negara dan masyarakat sipil di dalam konstruksi negara pengurus, bukan saja negara dan aparatusnya dibatasi untuk tidak memiliki kekuasaan tak terbatas, tetapi dinamika kehidupan politik bernegara juga ditentukan pertama-tama oleh inisiatif-inisiatif perubahan oleh warga negara. Agenda-agenda itu kemudian dirumuskan dalam skala prioritas kebijakan oleh aparat negara sebagai pengelola di dalam bangunan negara pengurus.
Sebagai ilustrasi, kita dapat belajar pada capaian-capaian politik progresif dari negara lain seperti Amerika Serikat. Keberhasilan perjuangan untuk meruntuhkan segregasi rasial dan menegakkan kebebasan sipil bukanlah dihasilkan dengan pemberian cek kosong kepada pemimpin seperti John F Kennedy ataupun penerusnya. Keberhasilan politik itu dibangun melalui sejarah perlawanan dan pengelolaan agenda politik pergerakan sosial dari akar rumput; dari politik warga negara yang dengan tekanan ataupun aksi kolektif mampu mendesakkan elite politik untuk merealisasikan tuntutan politik tersebut menjadi sebuah perubahan konkret.
Demikian pula yang harus kita cermati untuk menentukan masa depan republik ini dengan segenap persoalan di dalamnya. Kalangan aktor-aktor strategis yang menjadi pembentuk opini dalam tahun politik 2014 seharusnya tidak hanya mendorong sentimen militansi publik kepada calon pemimpin. Kita tidak hanya berfokus pada nama-nama calon pemimpin sebagai kandidat ratu adil.
Tugas awal yang mendesak sebelum masuk pada langkah politik selanjutnya adalah mengikatkan agenda-agenda perubahan fundamental dalam republik demokratik kepada para kandidat dengan berpartisipasi dan mengawasi jalannya pemerintahan dengan menyadari batasan kondisi-kondisi yang ada.
Jalan pencerahan politik seperti ini penting untuk diambil agar nanti kita tidak sekadar memilih ratu adil, kemudian terantuk pada kebencian yang lebih dalam pada ruang politik.
******
Airlangga Pribadi Kusman, Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga; Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University