Mungkin masih banyak masyarakat belum mengenal Hari Melek Media. Ketika mencarinya di kalender, mereka tidak dapat menemukan hari itu. Ya, peringatan ini memang masih tergolong baru, meskipun belum ada literatur atau referensi yang dapat menjelaskan sejarah adanya Hari Melek Media yang diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia (Imiki) tiap 14 Juli itu. Ditahun ini, mereka mengajak untuk mengkritisi media menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2014.
Gencar-gencarnya iklan dan pemberitaan menyangkut politik tahun ini di berbagai media khususnya televisi turut meramaikan pesta demokrasi terbesar di Indonesia. Tak ayal, banyak bakal-bakal calon, baik itu calon legislatif maupun eksekutif “memamerkan” dirinya. Bakal calon ini tak mengenal status apakah pensiunan tentara, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik pusat maupun daerah, pengusaha, pejabat, bahkan sekarang pemilik media mulai ikut meramaikan bursa pemilu 2014. Tujuannya tak lain untuk menjaring massa dan menarik simpati masyarakat untuk mau memilihnya nanti.
Dibalik semua status yang tadi disebutkan, pemilik medialah yang paling unik. Tercatat, ada tiga pemilik media di Indonesia yang sedang getol-getolnya mempromosikan dirinya maupun partainya di media miliknya sendiri. Entah dengan cara iklan komersil yang bahkan sampai lebih dari 30 detik, tayangan berita, atau bahkan siaran langsung. Berkat media yang mereka punyalah, dirinya dan partainya dapat dikenal secara luas dalam waktu singkat.
Suatu dilema ketika masyarakat menginginkan tayangan atau suguhan informasi yang berkualitas dan mencerdaskan, tapi malah disuguhi dengan informasi atau tayangan yang sepertinya hanya menguntungkan satu pihak saja; si pemilik media. Ketika ingin mengganti channel di televisi misalnya, televisi satu dengan televisi lainnya terlihat saling serang satu sama lain meskipun secara halus. Kenapa mereka saling serang? Karena pemiliknya sendiri merupakan salahsatu pengurus partai yang pasti dalam politiknya menggunakan segala cara untuk menjatuhkan lawannya, salahsatunya dengan menggunakan media yang ia miliki.
Adanya konvergensi media di era sekarang juga membantu mereka-mereka yang punya urusan politik untuk “curi start” kampanye. Ketika satu tokoh mempublikasikan kegiatannya di televisi misalnya, maka kegiatannya juga akan di tampilkan di media cetak dan media online yang juga dimilikinya. Memang tidak ada larangan khusus seorang tokoh atau pemilik media mempublikasikan kegiatannya. Namun di tahun-tahun politik seperti ini, maka akan terasa keganjilan yang mungkin dirasakan oleh yang lain. “Mengapa baru sekarang? Mengapa tidak dari dulu?” Mungkin itu yang ada di benak masyarakat.
Padahal seharusnya, posisi media dalam politik seperti ini tidak hanya menguntungkan satu pihak saja. Media harusnya bisa mengajak masyarakat lebih cerdas dan cermat dalam memilih calon pemimpinnya nanti, bukan terus menerus “mendoktrin” masyarakat untuk terus mengenal dan memilih yang hanya ia kenal. Suguhan debat-debat antar partai politik atau bakal calon pemimpin nanti haruslah melibatkan semua yang terkait, tidak ada yang dipilih kasihkan. Keberimbangan dan porsi yang sama harus diberikan kepada tiap-tiap partai politik dan calon-calon pemimpin nantinya, tidak ada yang diberikan porsi lebih seperti durasi tayangan yang paling lama atau space di media cetak yang lebih besar. Semua harus di berikan porsi yang sama.
Akhirnya, masyarakat sudah harus bisa memilih dan memilah informasi yang benar-benar dibutuhkan olehnya atau tidak. Dalam tahun politik jelang pemilu 2014 ini media-media sudah mulai banyak dipenuhi “janji-janji manis” dari para calon maupun partai politik baik di media cetak, televisi, maupun online. Sudah waktunya masyarakat terbuka matanya untuk tidak menelan informasi secara utuh. Kata seorang pimpinan redaksi di suatu media, masyarakat saat ini harus memiliki sense of journalism, tidak hanya wartawan saja yang harus punya itu. Dengan rasa keingintahuan yang tinggi pula, maka akhirnya kita dapat memilih dan memilah informasi dan tayangan yang disuguhkan kepada kita. Selamat Hari Melek Media. (*)
Tulisan ini juga diterbitkan di Bontang Post, 15 Juli 2013.