Sejak di bangku sekolah dasar (SD) kita telah diperkenalkan tentang negara Indonesia selain sebagai negara maritim juga dikenal negara Agraris yang oleh grup musik legendaris Koes Plus tanahnya disebut "tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman". Namun apa yang terjadi sekarang? Sungguh paradoks! Negara ini kerap langkah produk agraria, harga pangan melejit dan rakyat pun menjerit. Harga kebutuhan pokok tak pernah bersahabat dengan rakyat kecil. Angka statistik yang menunjukkan kenaikan pertumbuhan ekonomi seolah semu belaka karena minim pemerataan dan sulit menyentuh rakyat kecil yang banyak tinggal dipelosok daerah maritim dan agraris.
Apa yang menjadi akar masalah? Kepedulian pemerintah atas karunia yang diberikan Tuhan sang Maha Pengasih tampak kurang. Mereka membangun tidak berdasarkan keunggulan komparatif yang dimiliki tetapi justru mengandalkan investasi asing untuk membuka pabrik-pabrik. Disatu sisi sekilas dan dalam jangka pendek memang akan terjadi pertumbuhan ekonomi yang signifikan tetapi disis lain kita akan mengalami keterbatasan bahan baku, kerusakan alam & lingkungan dan tak akan memperoleh transfer teknologi yang diharapkan.
Sementara itu pemerintah abai dan kurang ngotot memproteksi kelebihan yang dimiliki seperti sumber daya alam yang menyebar di segala penjuru nusantara itu. Alhasil banyak nelayan dan petani yang tetap miskin dan tidak diberikan keterampilan teknis memadai. Akibatnya jangan harap negara agraris ini akan bisa surplus atau berswasembada pangan. Ironis memang! Di negara agaris justru langka bahan pangan dan harga pangan meroket. Paradoks ini terjadi disebabkan rendahnya patriotisme pemangku kepentingan untuk lebih turun kebawah (kalangan petani) dengan komitmen tinggi dengan segala daya upaya memberdayakan petani dalam situasi normal apalagi jika cuaca lagi kurang bersahabat. Mari kita lebih berorientasi pada kekuatan diri bangsa sebagai negara agraris.
Penulis pemerhati perilaku politisi tinggal di Malang