Pemikiran M. Natsir dan A. Dahlan tentang Pendidikan (Bagian 1)

Author : Aries Musnandar | Saturday, May 17, 2014 09:42 WIB

Di Indonesia pengembangan pemikiran pendidikan pada mulanya tidak terlepas dari wacama dikotomik antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. Para tokoh Islam yang menaruh perhatian pada pengembangan pemikiran pendidikan di Indonesia umumnya juga berangkat dari kegelisahan dikotomik tersebut. Kepedulian para pembaharu pemikiran Islam atas keterpurukan Umat Islam disampaikan dalam bentuk reaktualisasi pemikiran pemahaman keagamaan/keislaman termasuk pemahaman warga masyarakat tentang pendidikan yang kala itu sangat dikotomik dan telah menjadi mainstream. 
Para tokoh yang tersadarkan dengan kondisi Umat yang memprihatinkan berupaya menelaah faktor-faktor penyebab keterbelakangan Umat Islam yang sebenarnya dahulu kala pernah menjadi acuan bagi peradaban dunia. Intinya, para tokoh meyakini bahwa dengan merubah paradigma pemahaman keagamaan Umat akan mampu menghasilkan kebaikan-kebaikan yang sangat diperlukan dalam mengatasi keterbelakangan. Pendidikan merupakan kunci menuju peradaban manusia yang berkualitas.

Paling tidak terdapat dua tokoh yang turut andil dalam perubahan ide, wawasan dan konsepsi tentang pendidikan. Melalui berbagai kegiatan/pendekatan politik dan kultural di Indonesia keduanya berhasil secara signifikan dalam merubah wajah dan sistem (manajemen) pendidikan khususnya pada cakupan kurikulum pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Pokok-pokok pemikiran kedua tokoh ini akhirnya menginspirasi dinamika pendidikan di Indonesia hingga kini.

A. Pemikiran Pendidikan M. Natsir 
Cendekiawan Muslim Indonesia yang lebih dikenal sebagai tokoh politik Masyumi dan Mantan Perdana Menteri RI adalah M. Natsir. Diungkapkan oleh Abuddin Nata, (2005 : 81-94) bahwa pokok-pokok pemikiraan pendidikan M. Natsir adalah sebagai berikut:

Pertama, tentang peran dan fungsi pendidikan. Dalam hubungan ini paling kurang terdapat enam rumusan yang dimajukan Natsir. Pertama, pendidikan harus berperan sebagai sarana membimbing manusia agar dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna, Kedua, pendidikan diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki sifat-sifat kemanusiaan dengan mencapai akhlak yang sempurna. Ketiga, pendidikan harus berperan sebagai sarana menghasilkan menusia jujur dan benar ( bukan pribadi yang hipokrit ). Keempat, pendidikan agar berperan membawa manusia mencapati tujuan hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah Swt. Kelima, pendidikan harus dapat menjadikan manusia yang dalam segala perilakunya selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam, keenam, pendidikan harus benar-benar dapat meningkatkan sifat-sifat kemanusiaan bukan sebaliknya meniadakan atau berperilaku menyesatkan yang dapat merugikan orang lain dan lingkungan.

Kedua, tentang tujuan pendidikan Islam. Menurut Natsir, tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah merealisasikan idealitas Islam yang pada intinya menghasilkan manusia yang berperilaku Islami, yakni beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan naisonal yang terpatri dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menempatkan beriman dan bertaqwa kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tujuan sentral.

Menurut M. Natsir, seorang hamba Allah adalah orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah, sebagai pemimpin manusia. Mereka menjalankan perintah Allah SWT dan berbuat baik kepada sesama manusia, menunaikan ibadah terhadap Tuhannya sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 177 yang artinya. Bukanlah kebaikan itu dengan menghadapkan muka ke arah barat dan timur, tetapi kebaikan itu adalah mereka yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab, dan nabi-nabi Nya serta memberikan harta yang disayanginya kepada karib kerabatya, anak yatim, orang yang terlantar, orang yang terbatas dananya dalam perjalanan serta untuk memerdekakan manusia dari perbudakan. Ia mendirikan shalat, membayar zakat, teguh memegang janji, bersifat sabar dan tenang di waktu bahaya dan bencana menimpa.
Berdasarkan ayat tersebut di atas, seorang hamba Allah adalah mereka yang memiliki enam sifat sebagai berikut. Pertama, memiliki komitmen iman dan tauhid yang kokoh kepada Allah serta terpantul dalam perilakunya sehari-hari. Kedua, memiliki kepedulian dan kepekaan sosial dengan cara memberikan bantuan dan santunan serta mengatasi kesulitan dan penderitaan orang lain. Ketiga, senantiasa melakukan hubungan vertikal dengan Tuhan dengan menjalankan ibadah shalat secara kontinu. Keempat, senantiasa melakukan hubungan horizontal dengan sesame manusia dengan cara memberikan sebagain harta yang dimiliki kepada orang lain. Kelima, memiliki akhlak yang mulia yang ditandai dengan kepatuhan dalam menunaikan janji yang telah diucapkannya, Keenam, memiliki jiwa yang tabah dalam menghadapi situasi dan kondisi yang kurang menyenangkan, bahkan menakutkan.

Ketiga, tentang dasar pendidikan. Dalam tulisan yang berjudul Tauhid sebagai Dasar Didikan, M. Natsir menceritakan tentang pentingnya tauhid dengan mengambil contoh pada seorang professor fisika bernama Paul Ehrenfest yang mati bunuh diri. Ia berasal dari keluarga baik-baik dan telah memperoleh pendidikan Barat tingkat tinggi. Telah banyak penemuan rahasia alam yang dihasilkannya dan telah menjadi bahan rujukan dalam dunia ilmu pengetahuan. Pekerjaannya sehari-hari tak pernah tercela.

Keempat, tentang ideologi dan pendekatan dalam pendidikan. M. Natsir mengajukan konsep pendidikan yang khas ditengah persoalan dikotomis antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Konsep pendidikannya adalah integral, harmonis, dan universal. Dalam pidato yang ia sampaikan pada rapat Persatuan Islam di Bogor, 17 Juni 1934 serta dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat pada 1937 berjudul "Tauhid sebagai dasar Pendidikan", menggariskan ideologi pendidikan umat Islam bertitik tolak & berorientasi pada tauhid sebagaimana tersimpul dalam kalimat syahadat.
Melalui dasar tersebut akan tercipta integrasi pendidikan agama dan umum. Konsep pendidikan yang integral, universal, dan harmonis menurut Natsir, tidak mengenal dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum, melainkan antara keduanya memiliki keterpaduan dan keseimbangan. Semua itu dasarnya agama, apa pun bidang dan disiplin ilmu yang ditekuninya. Sepertinya kelahiran Sekolah Islam Terpadu saat ini melalui himpunan keanggotaan Jaringan Sekolah Islam Terpadu Indonesia memiliki nafas yang sama dengan pandangan Natsir ini.

Kelima, tentang fungsi bahasa asing. Menurut Natsir bahwa bahasa asing amat besar perannya dalam mendukung kemajuan dan kecerdasan bangsa. Menurut Natsir, bahasa erat kaitannya dengan corak berpikir suatu bangsa. Bahasa dari salah satu bangsa adalah tulang punggung kebudayaannya. Mempertahankan bahasa sendiri berarti mempertahankan sifat-sifat dan kebudayaannya sendiri. Kultur suatu bangsa berdiri atau jatuh bergantung pada bahasa dari bangsa itu sendiri. Maka bahasa merupakan salah satu faktor terpenting yang mendorong mutu dan kecerdasan suatu bangsa. Bahasa ibu, bahasa sendiri menjadi syarat bagi tegaknya kebudayaan kita.
Demikianlah antara lain pandangan Natsir terhadap bahasa asing khususnya bahasa Belanda dan Bahasa Arab. Untuk itu, kepada para siswa harus diberikan kemampuan berbahasa asing dan dengan melakukan langkah-langkah antara lain .
1. Perlu adanya upaya membasmi semangat anti-Arab atau anti-Islam yang diciptakan oleh kolonial linguistik dan penguasa pribuminya yang taat dan setia.
2. Status linguistik yang bebas dari bahasa Arab harus diakui dan bahasa Arab harus diperlakukan tidak lagi sebagai karya teologis.
3. Negara-Negara Islam yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab, harus menerima bahasa Arab sebagai bahasa kedua setelah bahasa Nasional ibunya.

Keenam, tentang keteladanan guru. Menurut Natsir, suatu bangsa tidak akan maju, sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk kemajuan bangsa. Pernyataan ini diajukan, karena pada saat itu minat kalangan akademik untuk menjadi guru sudah mulai menurun. Minat lulusan terbaik dari sekolah menengah untuk menjadi guru sampai sekarang masih tampak dikarenakan perhatian terhadap lembaga pendidikan guru memang belum memadai. 
Sistem pendidikan Belanda memang dapat memberikan bekal pengetahuan modern, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan oleh zaman, tapi jiwanya kerdil, dan dikotomis karena tidak memiliki landasan iman dan akhlak yang mulia. Di sisi lain pendidikan pesantren dan madrasah memang memberikan bekal akidah dan akhlak yang mulia, tapi tidak memberikan bekal ilmu pengetahuan modern, teknologi yang dibutuhkan masyarakat.

Tampaknya, gagasan dan pemikiran M. Natsir relevan dalam tinjauan perkembangan pendidikan dewasa ini disebabkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, M. Natsir adalah tokoh nasional dan internasional yang memiliki integritas pribadi dan komitmen yang kuat untuk memajukan bangsa dan Negara
Kedua, M. Natsir selain sebagai seorang negarawan yang handal, ia juga termasuk pemikir dan arsitek pendidikan Islam yang serius.
Ketiga, sebagai pemikir dan arsitek pendidikan, Natsir selain menulis karya ilmiah yang berisikan gagasan dan pemikiran tentang pembaharuan dan kemajuan pendidikan Islam, ia juga sebagai praktisi dan pelaku pendidikan yang terbukti cukup berhasil.
Keempat, sebagai pemikir dan arsitek pendidikan, Natsir melihat bahwa masalah pokok untuk mengatasi keterbelakangan dalam pendidikan terletak pada tiga hal: (1) dengan merombak sistem yang dikotomis ke sistem yang integrated antara ilmu agama dan umum, (2) dengan merombak kurikulum dari kurikulum yang dikotomis menjadi integrated, dan (3) dengan mempersiapkan guru yang komitmen dan dapat menjadi teladan bagi peserta didik.

B. Pokok Pemikiran Pendidikan Ahmad Dahlan
Salah satu tokoh yang mampu merubah paradigma Umat Islam Indonesia adalah Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Beliau merasa tidak puas dengan sistem dan praktik pendidikan saat itu. Menurutnya tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang baik budi, luas pandangan dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat luas. Gerakan Muhammadiyah dikenal luas sebagai gerakan yang dipengaruhi oleh gagasan modern dan reformis pembaru Mesir Muhammad Abduh (1849-1905). Muhammadiyah menyerukan agar kaum Muslim kembali pada Islam yang murni dan menafsirkan untur-unsur kebudayaan Barat dalam kerangka ajaran Islam.

Sebagaimana para pembaharu lainnya Ahmad Dahlan juga peduli atas pencerahan akal, logika dan filsafat. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menunjukkan tingginya minat Beliau dalam pencerahan akal, yaitu: (1) pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis, terbuka, mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akal dengan di dasari hati yang suci; (2) akal merupakan kebutuhan dasar hidup manusia; (3) sedangkan ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan dicapai jika manusia itu menyerah/ yakin kepada petunjuk Allah swt. 
Pribadi Ahmad Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manaar, meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam, menyerukan ijtihad tapi menolak taqlid . Kehidupan kaum muslim sekarang ini sangat mengharapkan adanya pikiran-pikiran baru mencerahkan sehingga keyakinan Islamiah tampil di hadapan problem-problem aktual kaum muslimin seperti keterbelakangan dan kolonialisme. 
Hampir seluruh pemikiran Dahlan berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat Islam waktu itu yang tenggeiam dalam kejumudan { stagnasi }, kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini semakin diperparah dengan politik kolonial Belanda yang sangat merugikan bangsa Indonesia. Latar belakang situasi dan kondisi tersebut telah mengilhami munculnya ide pembaharuan Dahlan. Ide ini sesungguhnya telah muncul sejak kunjungannya pertama ke Makkah. Kemudian ide tersebut lebih dimantapkan setelah kunjungannya yang kedua. Hal ini berarti, bahwa kedua kunjungannya merupakan proses awal terjadinya kontak intelektualnya baik secara langsung maupu tidak langsung dengan ide-ide pembaharuan yang terjadi di Timur Tengah pada awal abad XX .
Secara umum, ide-ide pembaharuan Dahlan dapat diklasifikasikan pada dua dimensi, yaitu:
1. Berupaya memurnikan ( purifikasi ) ajaran islam dari Khurafat, tahayul dan bid'ah yang telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat Islam dan telah berlangsung cukup lama.
2. Mengajak umat Islam untuk keluar dari jaring terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio yang sesuai dengan yang diajarkan Nabi SAW.
Sebenarnya usaha pembaharuan K.H.A.Dahlan sudah dimulai sejak 1896 yaitu dengan:
1. Mendirikan surau yang diarahkan ke Kiblat yang betul dan berlanjut membuat garis shaf di Masjid Agung yang akibatnya tidak hanya garis shaf harus dihapus, tetapi suraunya dibongkar.
2. Menganjurkan supaya Muslim berpuasa dan berhari raya menurut hisab. 
Menurut Dahlan upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan . Oleh karena itu pendidikan hendaknya di tempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya dididik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memeta dinamikan kehidupannya pada masa depan. 
Adapun kunci untuk meningkatkan kemajuan umat islam adalah kembali kepada Al-Qur'an dan hadits. Mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara komprehensif, menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan. Pelaksanaan pendidikan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal ( khaliq ) maupun horizontal ( makhluk ). 
Meskipun dalam banyak tempat, Al-Qur'an senantiasa menekankan pentingnya penggunaan akal, akan tetapi Al-Qur'an juga mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Hal ini memiliki dua dimensi, yaitu fisika dan metefisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut yaitu dimensi ruh dan jasad. Batasan di atas memberikan arti, bahwa dalam epistemologi pendidikan Islam, ilmu pengetahuan dapat diperoleh apabila peserta didik ( manusia ) mendaya gunakan berbagai media, baik yang diperoleh melelui persepsi indrawi, akal, kalbu, wahyu maupun ilham. Oleh karena itu, aktifitas pendidikan dalam Islam hendaknya memberikan kemungkinan yang sebesar-besarnya bagi pengembangan kesemua dimensi tersebut. 
Menurut A.Dahlan, pengembangan tersebut hendaknya merupakan proses integrasi ruh dan jasad. Konsep ini diketengahkannya dengan menggariskan perlunya pengkajian ilmu pengetahuan secara langsung, sesuai prinsip-prinsip Al-Qur'an dan sunah, bukan semata-mata dari kitab tertentu. Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut bukan merupakan hal yang mudah, terutama bila dikaitkan dengan kondisi objektif lembaga-lembaga pendidikan Islam-Islam tradisional waktu itu. Dalam hal ini, Dahlan melihat bahwa problem epistemologi dalam pendidikan Islam tradisional disebabkan karena idiologi ilmiahnya hanya terbatas pada dimensi religious yang membatasi diri pada pengkajian kitab-kitab klasik para mujtahid terdahulu, khususnya dalam madzhab Syafi'i. Sikap ilmiah yang demikian menyebabkan lahirnya pemikir yang tidak mampu mengolah dan menganalisa secara kritis ilmu pengetahuan yang diperoleh, sehingga produktif dan kreatif terhadap perkembangan peradaban kekinian. Untuk itu diperlukan kerangka metodologis yang bebas, sistematis, dan mengacu pada nilai universal ajaran Islam. Proses perumusan kerangka ideal yang demikian, menurut K.H.A.Dahlan disebut dengan proses ijtihad yaitu mengarahkan otoritas intelektual untuk sampai pada suatu konklusi tentang berbagai persoalan. Dalam konteks ini, pendidikan merupakan salah satu bentuk artikulasi tajdid {modernisasi } yang strategis dalam memahami ajaran Islam { Al-Qur'an dan Hadits } secara proporsional.
Bahwa sesungguhnya Dahlan mencoba menggugat praktek pendidikan Islam pada masanya. Pada waktu itu pelaksanaan pendidikan hanya dipahami sebagai proses pewarisan adat dan sosialisasi perilaku individu maupun social yang telah menjadi model baku dalam masyarakat. Pendidikan tidak memberikan kebebasan peserta didik untuk berkreasi, padahal menurut Dahlan pengembangan daya kritis, sikap dialogis, menghargai potensi akal dan hati yang suci, merupakan cara strategis bagi peserta didik mencapai pengetahuan tertinggi.
Sesungguhnya Dahlan menginginkan pengelolaan pendidikan Islam secara modern dam professional, sehingga pendidkan yang dilaksanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Dalam hal ini, setidaknya pemikiran pendidikan KH Ahmad Dahlan dapat diletakan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional (bersambung......)

sumber tulisan
http://old.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2653:pemikiran-pendidikan-m-natsir-dan-ahmad-dahlan-bagian-1&catid=35:artikel&Itemid=210

 
 
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: