PENCABUTAN HAK POLITIK :
Upaya Penjeraan Sistemik Kepada Para Koruptor Pejabat Publik
Abdul fickar hadjar
Baru saja Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjatuhkan hukuman 8 tahun kepada Anas Urbaningrum atas dasar terbuktinya terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang secara berulang-ulang (24/09/14), tetapi meski begitu Majelis Hakim tidak mencabut “hak politik” Anas, penilaian soal apakah Anas yang pernah diadili dalam perkara korupsi dapat dipilih embali sebagai pejabat publik sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat. Namun adalah realitas, Mahkamah Agung Republik Indonesia, melalui Artidjo Alkostar selaku Kerua Majelis hakim yang memeriksa perkara korupsi (Korlantas dan Kuota Sapi) telah menjatuhkan hukuman tambahan pencabutan hak politik kepada para terdakwa. Hal ini menimbulkan polemik, pro-kontra dikalangan pemerhati hukum yang berujung pada pertanyaan : dapatkah koruptor dicabut hak politiknya?. Untuk menjawab pertanyaan ini selain melihat apa pengertian hak politik, juga harus dilihat urgensi, dasar hukum serta kaitannya dengan Hak Asasi manusia.
Urgensi pencabutan
Pasca reformasi selain melahirkan transparansi / keterbukaan yang seterbuka-bukanya disegala bidang kehidupan, juga melahirkan sejumlah banyak para koruptor yang dilakukan oleh para pejabat publik. Pejabat publik atau penyelenggara negara dalam istilah UU Anti KKN dimaksud adalah para kepala daerah (Bupati, Walikota dan Gubernur), para anggota DPR, DPRD, Para Mentri dan Pejabat Eselon I dan pejabat birokrasi lainnya. Sepanjang kurun waktu 2004 sampai kini Paling tidak hampir 3000 anggota DPRD (tepatnya 2.545 orang) terjerat hukum yang sebagian besarnya kasus korupsi . Kementrian dalam negeri mencatat sebanyak 318 Kepala Daerah dari 524 orang Kepala Daerah terjerat korupsi , belum lagi para pejabat di tingkat pusat demikian halnya beberapa Menteri juga terjerat disamping beberapa ketua umum partai (andi Bahtiar Hamzah, Malaranggeng, Lutfi Hasan Ishak, Anas, JW dan lainnya).
Fenomena maraknya para pejabat publik terjerat kasus korupsi rasanya sudah cukup menimbulkan urgensi dilakukan upaya-upaya untuk menghentikannya. Secara politis fenomena itu menunjukan telah terjadinya penghianatan-penghianatan terhadap amanat rakyat, karenanya diperlukan tindakan-tindakan yang menimbulkan efek jera pada para pelaku. Langkah yang dilakukan dengan memperberat hukuman rasanya belum cukup efektif, karena korupsi yang dilakukan pejabat publik belum juga menyurut. Hak-hak narapidana atas remisi (pengurangan hukuman, yang konon bisa dilakukan atas dasar hari-hari besar tertentu) serta lembaga pembebasan bersyarat ditambah dukungan materi yang dikuasai narapidana dan keluarganya, seringkali menjadi faktor yang mempengaruhi “gradasi kejeraan” (tingkat kekapokan) para pelaku pada level yang paling rendah. Artinya jangankan takut, rasa kekhawatiran saja mungkin sudah tidak ada pada mereka, itulah sebabnya jangan merasa heran jika melihat para Tersangka/Terdakwa ( memakai rompi tahanan KPK/Kejaksaan) tersenyum melambai-lambaikan tangan kepada masyarakat melalui press dan tayangan-tayangan TV. Ya koruptor telah berhasil meregenerasi dengan sukses.
Karena itu harus ada terobosan-terobosan sistemik kearah penjeraan terhadap para koruptor ini.
Jika ada pihak yang berpendapat bahwa “penjeraan” terhadap para koruptor itu bertentangan dengan tujuan penghukuman, bisa dipastikan itu pendaat koruptor, keluarganya atau pengacaranya koruptor (biasa orang berbunyi/berpendapat disesuaikan kapan dan dimana serta dalam kepentingan apa dia berbunyi—ini kata antropolog Margaret Mids–). Menurut saya tidak bisa dipertentangkan antara “pembinaan” sebagai tujuan penghukuman dengan kebutuhan penjeraan dalam situasi darurat korupsi pejabat publik. Jadi urgensi sosiologis (efek jera- detern effect), urgensi politis (penghianatan terhadap amanat rakyat pemilih/Atasan yg mengangkat) dan urgensi juridis (pemberatan hukuman) telah terpenuhi bagi diterapkannya “hukuman tambahan pencabutan hak politik” para terdakwa korupsi yang berstatus sebagai pejabat publik.
Landasan sistemik
Dalam kehidupan perpolitikan pejabat publik atau penyelenggara negara itu bisa dilahirkan dengan tiga modus, yaitu: pejabat publik yang dipilih oleh rakyat langsung (elektif), pejabat publik yang diseleksi oleh panpel dan DPR (selektif) dan pejabat publik yang ditunjuk oleh atasan. Yang pertama adalah Presiden & Wakil Presiden, para anggota DPR, DPRD, DPD, Kepala Daerah (Bupati/Walikota), Kepala Desa tapi tidak termasuk Ketua RW atau Ketua RT meskipun dipilih langsung. Sedangkan yang kedua, para Duta Besar, Para Komisioner Komisi negara, Hakim, Pimpinan Bank Indonesia dan semua pejabat yang diseleksi oleh DPR, dan pejabat publik jenis ketiga antara lain Para menteri, Para pejabat Eselon I sampai III di kementrian dan lembaga negara lainnya.
Meski Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kita masih peninggalan Belanda, namun dalam beberapa ketentuannya cukup berpandangan dan menjangkau jauh kedepan. Sebagai contoh ketentuan Pasal 52 KUHP yang bernyi: “bila seorang pejabat melakukan tindak pidana, melanggar satu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, maka pidananya dapat ditambah sepertiga. Ketentuan tersebut menyiratkan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh pejabat publik yg berkaitan dengan jabatan publiknya maka hukumannya diperberat sepertiga. Jangan tanya, rasionya sudah dapat dipastikan berdasarkan Mvtnya (memorie van toelicting-asbabunnujulnya) karena pada dasarnya “jabatan publik” itu merupakan amanat rakyat yang harus dijalankan dalam kerangka perlindungan dan pelayanan terhadap publik, rakyat, jabatan itu untuk kemaslahatan umat/publik, karena itu “penghianatan terhadap jabatan” hukumannya harus diperberat. Sebagaimana dikemukakan diatas realitas penegakan hukum mengalami anomali, penghukuman yang berat ternyata tidak menjerakan, korupsi terus berkembang biak dan meregerasi dengan sukses. Memang kita tidak boleh menafikan keterkaitannya dengan subsistem yang lain, sistem politik yang menstimulasi lahirnya materialisme, sistem keuangan negara yang memungkinkan lahirnya para koruptor (Ingat: pada kurun 2014-2015 ini Anggaran rapat dan perjalanan dinas mencapai “triliunan rupiah” ironisnya ini uang APBN). Namun begitu, tetap saja selain mengupayakan pembenahannya secara terintengrasi (menyeluruh) juga harus ada upaya-upaya parsial dalam subsistem penegakan hukum yang ditujukan meminimilkan terjadinya korupsi.
Pencabutan hak politik merupakan terobosan sistemik harus kita letakkan dalam kerangka untuk menjerakan dan meminimalkan terjadinya korupsi. Dalam khasanah hukum pidana dikenal dua jenis penghukuman yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan, keduanya merupakan “diskresi hakim”. Hukuman pokok, antara lain : pidana mati/seumur hidup, pidana penjara (minimal satu haru maksimal 20 tahun), pidana kurungan dan pidana denda. Sedangkan hukuman tambahan berupa: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang dan pengumuman putusan hakim.
Mengenai hukuman tambahan pencabutan hak-hak tertentu dielaborasi dalam ketentuan Pasal 35 KUHP antara lain : hak-hak terpidana yang dapat dicabut dengan putusan hakim berdasarkan KUHP dan aturan lainnya adalah: (1). Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; (2). Hak memasuki Angkatan Bersenjata; (3).hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan peraturan perundang-undangan; (4).hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, pengawas, wali pengampu, atau engampu engawas yang bukan anaknya sendiri; (5), hak menjalankan ekuasaan orang tua, menjalankan perwalian dan pengampuan atas anak sendiri; (6). Hak menjalankan mata pencaharian tertentu. Demikian juga tentang lamanya pencabutan hak-hak tertentu ini diatur antar lain: (a) bagi mereka yang dihukum pidana mati atau penjara seumur hidup, lamanya pencabutan hak adalah seumur hidup; (b) bagi mereka yang dihukum penjara selama waktu tertentu atau kurungan lamanya pencabutan hak minimal dua tahun dan maksimal 5 tahun lebih lama dari hukuman yang dijatuhkan; sedangkan (c) bagi mereka yang dihukum dengan pidana denda, maka lamanya hukuman pencabutan hak minimal dua tahun dan maksimal lima tahun.
Hukum pidana kita telah cukup memberikan dasar yuridis atau landasan sistemik bagi langkah penjeraan yang dilakukan melalui diskresi hakim menjatuhkan hukuman tambahan pencabutan hak-hak tertentu bagi para koruptor utamanya para koruptor pejabat publik. Hanya saja dalam praktek timbul polemik mengenai penggunaan terminologi atas hak-hak tertentu, KPK misalnya menggunakan terminologi “ pencabutan hak-hak politik”, yang menurut Karni Ilyas (ILC) lebih luas dari hak memilih dan dipilih atau jabatan tertentu harus dijelaskan jabatan apa yang dicabut hak menjabatnya. Pendapat Karni inilah yang kemudian diangkat menjadi judul diskusi ILC selasa 23/09/2014 lalu; dapatkah koruptor dicabut hak politiknya ? dasar pikir pertanyaan ini tidak adanya terminologi “hak politik” dalam KUHP begitu menurutnya.
Mengenai perbedaan tafsir dan terminologi ini menurut rekan saya Ahyar Salmi (dosei FHUI) tidak dapat juga dijadikan dasar untuk menyalahkan Hakim Agung Artijo atau KPK yang dalam putusan dan tuntutannya menggunakan terminologi hak politik, dasar dari pendapatnya adalah karena KUHP kita yang ada pada saat sekarang ini yang diberlakukan berdasarkan UU No. 1 tahun 1946 adalah terjemahan bahasa Belanda dan yang beredar dengan beberapa versi ( ada Mulyatno, R. Soesilo, Soenarto Soerodibroto dsb dsb). Jadi absah juga menggunakan terminologi sepanjang jabatan atau hak yang dicabut dari pejabat publik itu berdasarkan hasil pemilihan, seleksi atau pengangkatan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, termasuk juga terminologi pencabutan hak-hak politik.
Minta maaf pada stake holder
Adalah membuat hati ini merasa miris dan gemas, mendengar korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik ini menyebakan tercemarnya nama baik sebuah komunitas atau kerugian yang timbul menjadi sebab langsung atau tidak langsung dirugikannya sebuah kelompok masyarakat. Sebut saja misalnya korupsi quota daging sapi yang menyebabkan kenaikan harga daging dan merugikan langsung pedagang baso, soto dan sebagainya selain kita sebagai konsumen akhir penikmat baso, soto dan lain-lain. Begitu juga korupsi Al Quran, korupsi haji jelas sangat menyakitkan perasaan dan mencemarkan umat Islam.Oleh karenanya adalah pada tempatnya para koruptor pejabat publik ini dihukum juga “harus meminta maaf” pada stakeholder pihak-pihak terkait langsung dan dirugikan melalui surat kabar nasional umpamanya.
Permintaan maaf adalah wilayah privat, ranah perdata, apakah Penuntuk umum (KPK-Kejaksan) punya kompetensi menuntut itu, berbeda dengan hakim yang sepanjang isi putusan ada dasar pijakannya, sepenuhnya merupakan diskresi hakim. Sistem hukum Indonesia dalam hal ini Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 tahun 1981) menyediakan mekanismenya yang sejalan dengan ketentuan Pasal 35 United Nations Convention Against Corruption / Konvensi PBB Anti Korupsi yang mewajibkan kepada setiap negara memberikan jalan bagi pihak-pihak (badan hukum atau pribadi) yang dirugikan untuk menuntut para terdakwa korupsi bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan perbuatan korupsinya. Pasal 98 – 100 KUHAP yang mengatur penggabungan perkara pidana dan perdata, selama ini banyak digunakan para korban kecelakaan untuk menuntut terdakwa atas kerigian dengan ganti rugi berupa uang konpensasi kerugian.
Mekanisme ini sesungguhnya bisa digunakan untuk menuntut pidana terdakwa korupsi bersama-sama tuntutan perdata permintaan maaf kepada stakeholdernya. Hanya saja para penuntut umum (KPK-Kejaksaan) harus lebih kreatif dan responsif, misalnya dalam korupsi haji bisa menghubungi pihak terkait (organisasi keagamaan, asosiasi alumni haji atau asosiasi perjalanan haji) untuk menstimulasi menggunakan hak mereka menuntut terdakwa korupsi meminta maaf pada komunitasnya bersama-sama tuntutan pidananya dan diharapkan diputuskan bersama-sama perkara pidananya. Dalam praktek sebenarnya penuntutan ini pernah dilakukan dalam perkara korupsi Akil Muchtar mantan Ketua MK, hanya saja birokrasi peradilannya dodol, dalam pengertian kurang sensitif dan kurang berani melakukan terobosan. Tuntutan perdata sebuah LSM stakeholder MK yang jelas-jelas mencantumkan kalimat Gugatan Penggabungan Perkara, justru di proses melalui mekanisme perdata biasa, sehingga putusan pidana terhadap Akil Muchtar tidak bersama-sama tuntutan perdatanya. Jika saja ada sikap proaktif, responsif dari para penuntut umum dan birokrasi peradilan untuk mengajukan perkara itu bersama-sama pemeriksaan pidananya, maka terhadap para koruptor selain akan dihukum pencabutan hak politiknya juga dihukum meminta maaf kepada masyarakat Indonsia tertentu sebagai pihak yang dirugikan (ic korupsi alquran & haji terdakwa wajib minta maaf kepada seluruh umat Islam atau korupsi daging kepada para pedagang bakso dst….)
Melangar HAM ?
Apakah pencabutan hak politik melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) ? Pasal 73 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa hak-hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang AM ini dapat dibatasi (dicabut) oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia dan kebebasan orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa.
Jadi, cukup dasar dan alasan serta urgensi sosial dan politis, untuk mencabut hak politik para koruptor pejabat publik. Kita dukung Mahkamah Agung dalam hal ini hakim agung Artijo Alkostar, KPK dan Kejaksaan, semata-mata untuk mencegah terjadinya korupsi yang melimpah ruah. Secara sistemik sudah cukup mendukung, tinggal kemauan poitik para penegak hukumnya. Indonesia yang bersih, Indonesia yang lebih baik… never give up make better for the best… tentu saja untuk rakyat Indonesia, untuk kita semua. Bismillah (tebet24092014).