Di negeri ini sejak era reformasi bergulir telah banyak nama-nama calon Presiden disebut dan bahkan mengikuti pemilihan Presiden. Dari sisi politik yang demokratis tentu fenomena ini menarik perhatian yang tidak kita temukan pada masa orde baru dahulu. Namun sayangnya, masyarakat kita sangat mudah "terhipnotis" dgn pesona gaya dari pada kualitas sang calon yang digadang-gadang itu. Dalam situasi seperti ini apabila ada pejabat kita yang "menang gaya" dan diliput luas media massa maka dgn mudah beliau ini mendapat simpati rakyat serta dgn sangat mudahnya sang pejabat ini akan didapuk oleh publik untuk dijadikan calon Presiden berikutnya.
Menurut hemat saya situasi seperti ini sungguh "berbahaya" bagi bangsa ini dalam memperoleh calon pemimpin bangsa yang berkualitas. Kita menyaksikan sendiri betapa mudahnya rakyat gumunan dan tertambat hatinya pada pejabat yang "beraksi" hanya dengan verbalistis penuh gaya, lantas serta merta yang bersangkutan dianggap sebagian warga (dengan bantuan media massa tentunya) di gadang-gadang sebagai calon Presiden. Padahal, sosok pemimpin bangsa itu mesti tokoh yang dapat dijadikan panutan "luar & dalam", tidak hanya berkualitas dalam menunjukkan hasil kerjanya yang mewujud (the what) dan proses meraihnya (the how) tetapi lebih penting dari itu adalah kualitas pribadi sang tokoh. Kualitas pribadi terkait dengan perilaku, sifat, tabiat, watak dan unsur lain terkait etika, moralitas yang tidak boleh "bertabrakan" dengan nilai-nilai keagamaan yang dianut resmi oleh warga-bangsa ini. Semakin tinggi jabatan sang tokoh semakin tinggi pula semestinya kualitas integritas dan etika politik pejabat yang bersangkutan, satunya kata dalam perbuatan.
Selain itu pemimpin mesti mampu memecahkan persoalan kemasyarakatan dan kebangsaan yang majemuk ini secara adil. Ketika memahami kata "adil" kita tentu memerlukan rujukan yang pas. Jika tidak tentu pengaruh "luar" akan mudah menggoyahkan sang pemimpin dalam bersikap adil. Konsep adil tidak sama dengan membagi rata atau sama rata. Ilustrasi sebagai berikut: kelompok mayoritas (katakanlah umat islam) masih banyak yang miskin serta tidak memperoleh pendidikan layak. Sementara itu rekan sebangsanya yang minoritas (katakanlah kaum "non pribumi") secara materi hidup berkecukupan dan memperoleh pendidikan baik. Ibaratnya dalam konteks ini kaum mayoritas masih berada di level SD, sedangkan sang minoritas sudah berada di level SMA. Maka pemimpin yang adil mesti memperlakukan kaum mayoritas yang masih berada di SD itu untuk diberikan uluran tangan agar segera cepat memacu menyusul rekan-rekannya yang sudah SMA itu. Inilah salah satu bentuk keadilan itu, bukannya membiarkan mereka berkompetisi satu sama lain tanpa ada "intervensi" pemerintah dengan dalih semua warga diperlakukan sama tidak ada diskriminasi. Justru hal seperti ini tidak adil!