Oleh Aries Musnandar / Dosen luiar biasa dan narasumber dunia usaha dan industri
Persoalan umat Islam di negeri ini cukup berat dan banyak, salah satunya adalah persatuan dan kesatuan umat Islam yang masih jauh dari harapan. Secara politik praktis kita menyaksikan betapa partai Islam sulit disatukan visi dan misinya padahal mereka kerap mengusung nilai-nilai Islam dalam berbagai kesempatan termasuk manakala musim kampanye berlangsung. Mengapa bisa terjadi ‘ketidak-rukunan’ antar partai Islam? Kenapa begitu sulitnya mereka bernaung dalam persatuan dan kesatuan umat Islam? Ternyata persoalan persatuan dan kesatuan umat Islam tidak hanya di ranah implementasi ideologi dan politik praktis saja melainkan juga diberbagai sektor kehidupan lain seperti sosial budaya dan ekonomi. Kata persatuan dan kesatuan yang dalam sejarah dimasyarakatkan oleh Bung Karno (Presiden pertama RI) kiranya cocok diupayakan masyarakat Islam di Indonesia.
Pada persoalan sosial budaya kita seolah terperangkap dalam pengkategorian umat Islam yang bersifat dikotomis seperti tradisional dan modern, Islam kota dan desa, Islam radikal dan moderat dan seterusnya. Istilah-istilah tersebut diatas acap diungkap-sebarkan sejumlah pihak termasuk media massa dan disadari atau tidak ternyata cukup efektif mempengaruhi ketidak-harmonisan hubungan antar umat Islam Indonesia itu sendiri. Keberadaan dua organisasi Islam terbesar yakni NU dan Muhammadiyah hingga tulisan ini dibuat tampak belum mampu secara nyata memperlihatkan persatuan dan kesatuan umat yang hakiki dan masih jauh dari harapan akan terwujud persatuan dan kesatuan umat berdasarkan ukhuwah Islamiyyah sejati.
Di sektor ekonomi keterpurukan umat Islam juga tidak kurang parahnya. Kita akui hanya segelintir umat Islam yang masuk dalam kategori orang paling kaya di Indonesia dan amat jauh jumlahnya manakala dibandingkan umat lain sebut langsung saja misalnya para pengusaha keturunan Tionghoa. Bukan rahasia umum bahwa ekonomi Indonesia kini dikuasai oleh non Muslim meski mereka adalah kelompok minoritas, sementara umat Islam yang mayoritas berada pada kondisi minoritas dibidang kesejahteraan ekonomi. Jadi, dari sisi penguasaan ekonomi kaum minoritas lebih menguasai daripada kaum mayoritas, sehingga dalam aspek ekonomi kaum mayoritas di Indonesia sedang berada dibawah kendali minoritas
Kondisi diatas terjadi salahsatunya disebabkan tidak adanya persatuan kesatuan yang kokoh diantara umat Islam sendiri, sehingga ekonomi umat terabaikan dan terpinggirkan. Kekuatan ukhuwah Islamiyyah sejatinya bisa mewujudkan persatuan dan kesatuan umat karena dengan rasa kasih sayang, kebersamaan, solidaritasi sosial antar sesama Muslim mampu mewujudkan ekonomi umat yang lebih baik.
Dalam konteks ekonomi mikro dewasa ini misalnya dibidang perdagangan eceran. Betapa umat Islam lebih menyukai bertransaksi bisnis dengan pengusaha keturrunan Tionghoa, pengusaha ini pun pandai sekali dalam memanfaatkan pangsa pasar di Indonesia, sehingga tak dipungkiri banyak umat Islam yang menjadi konsumen pengusaha tersebut. Alhasil, orang-orang terkaya di Indonesia di dominasi pada pengusaha non Muslim. Seandainya pun ada orang-orang kaya yang beragama Islam tidak jarang kita merasakan komitmen mereka masih kurang dalam memperkukuh dan menguatkan persatuan dan kesatuan umat Islam Indonesia.
Memang diakui pengusaha non Muslim di Indonesia tersebut pandai dalam berbisnis, ketika berdagang mereka tidak mengambil keuntungan banyak per aitem barang yang dijual karena mereka lebih mengutamakan kuantitas barang terjual (volume penjualan) dari pada berlipatnya keuntungan per aitem barang (margin penjualan). Disamping itu mereka adalah pekerja keras dan ulet serta jujur sehingga usahanya pun berhasil berkembang. Sebenarnya, Islam sudah menggariskan tata cara berniaga yang termuat didalam al Quran dan Hadist, kita diingatkan untuk tidak mengambil keuntungan berlipat-lipat.
Sesungguhnya jika pengusaha Muslim sungguh-sungguh memerhatikan profesionalitas (man jadda wa jadda) bukan tidak mungkin mereka (pengusaha Muslim) juga bisa kaya dan sukses berbisnis. Namun sekarang ini pengusaha besar beragama Islam masih sedikit dan dari sisi kekayaan juga belum bisa menandingi pengusaha keturunan Tionghoa Indonesia. Masyarakat Muslim belum tergerak dan tersadarkan untuk menjadi konsumen dari usaha yang dimiliki pengusaha Islam.
Ambil contoh sederhana, coba bayangkan saja apabila setiap umat Islam yang banyak membangun rumah, kantor, masjid, dan seterusnya selalu membeli bahan-bahan bangunan dari toko material milik pengusaha Muslim, maka betapa dahsyat besaran perputaran uang yang berada dikalangan umat Islam. Efek positifnya tentu diharapkan kesejahteraan umat akan meningkat secara signifikan karena peredaran uang tidak keluar dari keluaraga besar umat Islam Indonesia. Sehingga bisa dipastikan lambat laun persoalan kesejahteraan umat secara ekonomi dapat diatasi bersama. Saat ini memang umat islam mayoritas di negeri ini tetapi terkait penguasaan ekonomi mereka menjadi minoritas karena mayoritas kekayaan riil ada ditangan sang minoritas.
Amat disayangkan cengkeraman alur pasokan barang dipegang dan dimonopoli kekuatan bukan pengusaha Muslim. Lemahnya persatuan dan kesatuan umat Islam di Indonesia turut andil terhadap keterpurukan ekonomi umat. Padahal ekonomi umat membaik jikalau persatuan dan kesatuan umat Islam terbentuk. Persatuan dan kesatuan umat Islam itu muncul kuat apabila ada ukhuwah Islamiyyah sejati. Sementara itu ukuwah Islamiyyah hanya dapat terwujudnyata manakala pemimpin-pemimpin umat tidak saling bersiteru dan bersitegang satu sama lain melainkan dengan cara mengejawantahkan keteladanan kepada umat serta menjauhi sedapat mungkin perbedaan yang dapat meruntuhkan persatuan dan kesatuan umat.
Dengan terpilihnya Dien Syamsudin sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indoensia diharapkan beliau mampu memperkuat ukhuwah Islamiyyah dengan mempersatukan dan menyatukan keberadaan umat Islam khususnya antara dua organisasi massa Islam NU dan Muhammadiyah. Dien yang bersal dari Muhammadiyah dan Wakil Ketua Umum MUI KH Ma’rif Amin yang berasal dari NU merupakan pasangan pas dan tepat untuk melepaskan sekat-sekat yang menghambat terejawantahkannya persatuan dan kesatuan umat Islam Indonesia.
Saya yakin apabila kedua oraganisasi terbesar milik umat Islam (NU Muhammadiyah) ini bergandengan tangan dalam upaya memperkokoh ekonomi umat seraya para elite pimpinan dari kedua organisasi itu menunjukkan kesejukan dan keramahan Islami dihadapan publik, maka umat Islam lain yang berada diluar kedua organisasi NU Muhammadiyah akan mendukungnya. Kedua organisasi Islam tertua yang lahir sebelum Indonesia merdeka itu tak dapat disangkal telah banyak dan amat besar jasanya ditengah-tengah masyarakat warganegara Indonesia dalam masa-masa merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan sehingga pengaruhnya ditengah-tengah akar rumput masyarakat Islam sudah tidak dapat tertandingi oleh organisasi dari umat agama manapun di Indonesia. Oleh karena itu persatuan dan kesatuan kedua organisasi bukan hal yang mustahil sepanjang para elite pemimpin sadar dan tercerahkan untuk bergerak kearah kebersamaan. Umat yang secara ekonomi masih terpuruk menjadi prioritas perhatian pemimpin umat islam agar manakala berbicara ideologi politik dan ketahanan bangsa "posisi perut umat dalam keadaan kenyang" allias sejahtera. Dengan demikian kita sebagai umat mayoritas bisa berkiprah dan berperan aktif disegala sektor kehidupan sehingga umat Islam di Indonesia bukanlah hanya penonton atau menjadi obyek umat lain Umat Islam Indonesia harus bisa sebagai tuan rumah dinegerinya sendiri. Wallahu'alam