Dalam pilkada langsung kerapkali kita temukan "wong cilik" yang hanya memahami secara sederhana atau tidak ngerti apa2 tentang kualitas calon pemimpinnya itu dengan mudah dimanfaatkan oleh kubu calon pemimpin dengan uang sekitar Rp 20-50 ribu atau dalam bentuk menarik lainnya untuk diarahkan memilih calon tertentu. Kegiatan seperti ini bisa dikatakan TSM (Terstruktur Sistematis dan Masif) di setiap PILKADA langsung. Bukankah cara-cara dan modus semacam ini tidak mendidik, amat buruk, dapat merusak moral rakyat kita dan bisa mengajarkan rakyat kita berpikir sangat pragmatis, oportunis bahkan tidak menjunjung nilai-nilai demokratis itu sendiri???
Alhasil, dekadensi moral dan karut marut perilaku bermasyarakat, berbangsa dan benegara kian terpuruk serta semakin jauh dari nilai-nilai budi pekerti bangsa yang makin kita tinggalkan.
Memang bukan berarti pilkada tak langsung (melalui DPRD) tidak ada masalah karena setiap pilihan metodologi selalu ada plus minus. Namun yang penting keduanya masih bisa dibenarkan oleh konstitusi negara kita karena pemilihan melalaui wakil rakyat sudah lama kita jalankan semenjak order lama dan orde baru. Juga dibelahan dunia lain kita bisa cek ternyata tidak semua negara demokrasi (Inggris, Amerika, India, Australia dll) melakukan pemilihan secara langsung dalam menentukan para pimpinannya. Jadi, pilkada tidak langsung pun dipakai oleh banyak negara demokrasi di dunia dalam memilih para pemimpinnya (baik lokal maupun pusat).
Pemerhati Pendidikan Politik