Dalam sistem demokrasi di Indonesia dukungan dari pengurus partai politik pada calon presiden tertentu merupakan keniscayaan. Sehingga, lumrah jikalau ketua umum partai mengumumkan dukungan partainya pada satu capres. Namun, persoalan dukung mendukung menjadi "aneh" manakala di negeri ini masih ada rangkap jabatan, terutama pada posisi tinggi di lembaga negara seperti presiden.
Sejak reformasi bergulir kita mengalami eforia demokrasi dimana-mana terutama pada institusi-institusi partai politik dan lembaga tinggi negara seperti DPR. Kekuasaan partai politik dan DPR di era ini tampak lebih perkasan dibanding pada era sebelumnya yakni masa orde baru. Saking bekruasanya elite partai pun lupa untuk mengintrospeksi diri, menjaga dan mawas diri dari sifat, sikap dan perilaku kebablasan politik. Kebablasan yang saya maksud salahsatu contohnya adalah banyaknya pengurus partai yang rangkap jabatan dengan tuigas negara baik berada di lemabag legislatif maupun eksekutif. Lebih parah lagi jabatan Presiden atau Wakil Presiden sejak reformasi sering dirangkap juga sebagai pengurus partai bahkan Ketua Umum Partai. Alhasil kerapkali terjadi persinggungan politik antara kepentingan partai dan negara.
http://old.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=4853:presiden-mesti-netral&catid=35:artikel&Itemid=210
Kita tahu ketika sebuah partai penguasa dilanda gonjang-ganjing politik, kemudia sang Ketua Umum yang juga berada di eksektig sibuk mengurus partainya. Waktu, tenaga, dan perhatian menjadi terbelah, sehingga hal ini menjadi tidak sehat dalam upaya meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia keran contoh-contoh tidak mendidik diperlihatkan para elite yang berada di dua kaki antara partai dan tugas negara. Kita etntu tahu bahwa partai-partai yang ada di Indonesia memiliki azas, dasar, platform dan cita-cita yang berbeda-beda dan itu adalah wajar karena dalam negara demokrasi dimungkikan adanya partai yang berbeda-beada visi dan misinya itu sesuai dengan landasan perjuangan yang mereka bangun.
Namun manakala mereka sudah berada di tataran penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) sebaiknya mereka menanggalkan jabatan politiknya. Mereka sebagai penyelenggara negara bukan lagi sebagai politisi tetapi sebagai negarawan. Mungkin yang paling utama adalah posisi Presiden yang amat penting karena merupakan posisi puncak eksekutif yang memimpin segenap komponen bangsa ini. Artinya sebagai Presiden ia adalah negarawan bukan lagi politisi sehingga kedudukan atau jabatannya di partai politik sepatunya ditinggalkan untuk konsentrasi mengurus negara. Disnilah diharapkan kedewasaan elite politik untuk memahami pentingnya sosok negarawan sebagai pimpinan bangsa ketimbang politisi.
Posisi presiden semestinya tidak direcoki urusan partai karena jabatan seorang negarawan bukan politisi partai, sehingga semestinya bersikap netral, tidak memihak capres mana pun. Oleh karena itu, situasi perpolitikan di Indonesia memberikan pelajaran bagi kita bangsa Indonesia sesegera mungkin mengeluarkan undang-undang yang tidak membolehkan jabatan tinggi negara, khususnya presiden dirangkap dengan ketua partai.
Jikalau UU itu ada maka tidak akan kita saksikan kegamangan sang presiden saat ini dalam menentukan dukungannya karena tidak diperbolehkan secara UU. Memang, seorang politisi itu manakala dipilih menjadi presiden ia telah menjadi milik bangsa secara kesuluruhan. Saya kira pihak terkait dalam urusan ini perlu merancang UU tersebut agar bisa diterapkan adil dan konsekuen bukan berdasar kebiasaan partai atau sosok demokratis sang presiden, tetapi karena diatur sistem demokrasi kita, sehingga aturannya jelas dan mendidik.