Palu sudah diketok dan RUU Pilkada pun disahkan oleh DPR. Euforia kemenangan ditunjukkan oleh kubu pendukung Koalisi Merah Putih yang memenangkan voting mengusung pilkada dipilih lewat DPRD. Sujud syukur seperti yang pernah dilakukan sewaktu pilpres ketika mengeluarkan hasil real count abal-abal dengan mengclaim kemenangan berada dipihaknyapun dilakukannya. Salah satu yang melakukan sujud syukur adalah yg konon disebut sebagai “bapak reformasi”, Amin Rais, yang dulu sempat menjabat ketua MPR pasca tergulingnya rezim orde baru dan mendukung pemilihan secara langsung.
Walaupun sebelumnya sudah banyak diramalkan bahwa kemenangan akan berada pada pengusung pilkada lewat DPRD jika dilakukan voting berdasarkan perhitungan jumlah suara, namun SBY sebagai presiden beserta partai Demokratnya dengan “bijaksana” sempat memberi harapan pada rakyat pendukung pilkada langsung. Harapan tinggi yang akhirnya jatuh terhempas seiring tindakan walk out anggota fraksi tersebut ketika voting berlangsung.
Paling tidak untuk periode 5 tahun ke depan jika jalan terakhir membatalkan pengesahan RUU tersebut tidak ditolak oleh MK, pemimpin daerah akan dipilih oleh DPRD. Dengan pemilihan model semacam ini, tokoh-tokoh yang maju mencalonkan diri melalui jalur independen bisa dikatakan akan tertutup. Hasrat meraih kekuasaan partai yang tergabung dalam KMP setelah kalah dalam pilpres kemarin, tentunya tidak akan rela menyerahkan kekuasaan pemerintah daerah pada orang yang bukan dari partainya. Daerah yang mayoritas anggota parlemennya dikuasai oleh mereka, akan menjadi ladang bagi-bagi kue kekuasaan. Namun tidak menutup kemungkinan, akan terjadi juga perselisihan diantara mereka menyoal ladang yg dianggap basah dan jadi rebutan.
Selain tokoh independent, bagi pemeluk agama non muslim pun akan terkebiri. Peluangnya sangat kecil jika mengharapkan munculnya Ahok2 baru didaerah yg dikuasai KMP. Ingat, didalam koalisi tersebut ada partai yang katanya berlandaskan islam, semacam PKS, PAN dan PPP. Suara mereka didalam koalisi tsb cukup besar dan nyaring. Seperti diketahui sewaktu dalam kampanye sering terdengar suara menyerukan tidak pantasnya dari golongan non muslim diangkat jadi pemimpin. Beralasan hal ini, tentunya ketiga partai tersebut jika konsisten dengan yang disuarakan akan terus berjuang menggagalkan pimpinan daerah yang bukan satu keyakinan.
Melihat fenomena ini, jadi cukup mengherankan jika ada penganut non muslim yang malah mendukung koalisi tersebut dan bersorak atas kemenangan pilkada dipilih oleh DPRD. Mereka tidak menyadari hak yang sudah disepakati dalam konstitusi to vote or to be vote tidak bisa digunakan lagi. Dukungan yang diberikan mungkin saja hal ini didasari oleh 2 alasan. Sudah begitu jatuh cinta dan terbius penampilan sosok Prabowo atau hanya pelampiasan ketidak senangannya pada Jokowi beserta partainya juga yang mendukung.
Untuk 5 tahun ke depan jika RUU Pilkada ini dijadikan UU, pastinya KMP akan pesta pora. Memilih dan mengatur pemimpin daerah akan dilakukan dengan seenak udele dewe. Tidak menutup kemungkinan juga akan dijadikan jalan untuk balas dendam pada pemerintahan mendatang. Adalah hal lucu RUU Pilkada yang sudah sekitar 3 tahun lalu digulirkan oleh pemerintah, walau mekanisme pemilihan kepala daerah sedikit berbeda dan sudah dibahas tapi mengalami dead lock, tapi kenapa sekarang diangkat lagi dan disepakati setelah KMP mengalami kekalahan dalam pilpres. Bisa ditebak kemana arah yang akan dilakukan oleh Koalisi Merah Putih ini.
Walaupun untuk periode mendatang mereka masih bisa menepuk dada dan bangga dgn lolosnya RUU Pilkada ini, namun bisa jadi periode berikutnya akan menjadi bumerang bagi koalisi ini. Suara akar rumput yang semula mendukung Prabowo dalam pilpres setelah melihat kelakuannya sejak menarik diri sewaktu rekapitulasi KPU berlangsung dan juga tindakan2 KMP selama mengajukan sengketa pilpres ke MK, bahkan sampai saat ini belum mengakui kekalahan dan tidak memberi selamat pada presiden terpilih, dukungan sudah mulai berguguran. Melihat kejadian ini tidak menutup kemungkinan yg dulu sempat mendukungnya nanti dalam pilihan legislatif memilih golput atau pilihan dialihkan pada partai koalisi Jokowi, jika roda pemerintahan baru bisa berjalan dengan baik dan tidak terlibat kasus korupsi. Apalagi ditambah adanya orang-orang yang merasa hak memilih dan dipilih telah dirampas oleh UU Pilkada yang baru ini.
Bila perhitungan ini bisa benar terjadi dan dalam pemilihan legislatif mendatang perolehan suara partai yang tergabung dalam KMP anjlok, yang diuntungkan adalah koalisi pemerintah baru dan dikomandani PDIP. Selanjutnya mereka akan menjadi mayoritas di DPR dan DPRD pada periode berikutnya. Koalisi Merah Putih pun akan nelangsa akibat UU yang mereka sepakati dan menjadi bumerang akhirnya memakan korban diri sendiri. Resiko melakukan politik instan dan hanya berpikir jangka pendek demi memenuhi hasrat kekuasaan dan sakit hati hingga tega merampas hak warga untuk memilih dalam pesta demokrasi.