Terima kasih Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) berkat kalian-kalianlah saya jadi memahami betul bahwa demokrasi yang sedang kita jalani tidaklah sesempurna yang terbayang. Demokrasi yang sekarang ini sedang kita jalani menurut saya adalah demokrasi matematis, demokrasi teoritis, dan demokrasi hegemonis.
Saya katakan demokrasi matematis karena kita menjalankan demokrasi seperti belajar statistik, demokrasi hanya di dasarkan pada perhitunga-perhitungan matematis semata. Kebenaran yang representasikan dengan “kemenangan” didasarkan pada hasil perhitungan matematis 50% + 1. Ini kan cuma menunjukkan bahwa 50% +1 > 50% -1. Apakah ini salah? Tidak juga. Namun ternyata memang terbukti tidak sesuai dengan semangat bangsa Indonesia yang sampai saat ini masih meyakini bahwa musyawarah dan mufakat adalah cara terbaik. Bagaimana menyiasatinya? Gampang saja.
Pertama harus ada kemauan dari elit pemegang mandat rakyat saat ini untuk merubah paradigma dan pemahamannya tentang demokrasi ala Indonesia, ubah ketentuan pemilu dari memilih partai menjadi memilih orang akibatnya hapuskan fraksi di DPR, mengapa karena rakyat memilih orang sehingga mandat rakyat kepada caleg bukan kepada partai. Tugas partai hanya mempersiapkan kader, membekali kader dengan visi-misi dan tujuan partai. Caleg yang maju adalah orang-orang pilihan partai yang diyakini telah mumpuni dan mempunyai bekal cukup untuk bersama-sama memperjuangkan visi-misi partai. Disini tampak bagaimana partai membina kadernya.
Kedua, pangkal dari demokrasi adalah peraturan yang dihormati bersama, oleh karena itu harus kita ubah semua peraturan yang terkait sehingga sejalan dengan semangat keIndonsiaan tadi. Kalau kita ingin mendahulukan musyawarah-mufakat ya aturannya harus mencerminkan hal itu. Misalnya semua pengambilan keputusan harus mendahulukan musyawarah mufakat. Rasanya sudah, tapi kenapa tidak jalan? Karena musawarah dan mufakat hanya tertulis saja, tanpa didukung oleh prosedur yang melindunginya. Maksud saya adalah jika kita ingin mendahulukan musyawarah-mufakat, ya voting (pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak) harus kita berikan batasan-batasan yang ketat. Saya ambil gampangnya saja, “untuk dapat melakukan voting harus memenuhi persyaratan misalnya diusulkan oleh 75% anggota” jika tidak terpenuhi maka voting tidak dapat dijalankan. Mengapa bukan 50% + 1? Karena menurut saya aturan 50% +1 adalah aturan yang terlalu mengabaikan pendapat 50% - 1 orang/anggota yang lain, jumlah ini tentu bukan jumlah yang sedikit. Apa akibat dari persyaratan ini? Voting menjadi sesuatu yang langka terjadi, semua pihak akan terpacu dan berusaha untuk menelorkan keputusan berdasarkan musyawarah-mufakat. Akhirnya setiap keputusan akan mencerminkan tidak hanya 50% + 1 anggota dewan dan mengabaikan 50% - 1 anggota dewan yang lain. Timbul pertanyaan berikutnya, bagaimana kalau deadlock? Untuk keputusan yang bersifat memilih orang, deadlock menunjukkan bahwa tokoh yang dipilih tidak/kurang dapat diterima mayoritas, oleh karena itu solusinya dengan mengganti calon, atau mencari calon alternatif yang dapat diterima oleh mayoritas. Mungkinkah ini dapat menjadi solusi? Sangat mungkin dengan syarat anggota dewan adalah anggota yang mandiri dan tidak terkungkung dalam bingkai fraksi. Fraksi hanyalah jeruji yang menghilangkan kebebasan anggota dewan untuk menyuarakan pendapat pribadinya. Untuk kasus pengambilan keputusan untuk memilih kebijakan, jika terjadi deadlock menunjukkan bahwa kebijakan tersebut harus direvisi dengan mengakomodasi pihak yang tidak setuju. Disini akan nampak dorongan untuk mufakat itu sangatlah besar. Mufakat adalah akomodasi, menghargai, jalan tengah, dan saling mengalah (bukan salah satu pihak yang harus mengalah).
Mungkinkah ini dapat terlaksana di Indonesia? Bagaimana pendapat anda tentang hal ini? Ayo kita sumbangkan pemikiran dan pendapat untuk terus memperbaiki demokrasi di negara kita tercinta.