Hingar bingar politik telah mendominasi pembicaraan baik di jagat maya, perkantoran, bahkan warung kopi di kota-kota dan di desa-desa. Efek positif dari ini semua adalah masyarakat menjadi peduli terhadap politik. Masyarakat menjadi selektif terhadap calon pemimpinnya. Namun, disayangkan masyarakat seperti ‘terbelah’. Kita mungkin masih ingat beberapa waktu yang lalu diberitakan bahwa ada dua tukang becak berantem gara-gara membela jagoan capresnya masing-masing.
Di tempat yang lebih elit, di dunia maya, masyakarat mulai saling bergesekan. Saya melihat di Facebook sebagian mulai unfriend, di Twitter sebagian orang mulai unfollow teman-temannya hanya karena berbeda pendapat. Mereka mulai saling menyerang pribadi, riwayat hidup, latar belakang keluarga, bahkan keagamaan masing-masing calon presiden dan wakil presiden.
Apa benar yang harus diserang adalah latar belakang pribadinya? Apa benar yang harus diserang adalah keagamaannya? Menurut para cerdik-pandai yang harus diserang adalah visi misi mereka, yang harus diadu adalah program mereka. Saya tidak sependapat sepenuhnya atas pendapat tersebut. Menurut saya yang harus di-challenge adalah seberapa ideologis kah mereka. Mengapa harus pemimpin yang ideologis? Karena jika pemimpin memahami ideologi, maka turunan kebijakan penyelesaian atas persoalan bangsa akan menjadi khas. Kebijakan mereka tidak hanya didasarkan enaknya bagaimana, kebijakan tidak didikte pelaku pasar, bahkan kebijakan tidak dilandaskan kepada keinginan rakyat tertentu, entah rakyat yang mana. Kebijakan harus dilandaskan kepada ideologi.
Bandingkan, mengapa Amerika Serikat begitu kuat menjadi negara adidaya, karena mereka mempertahankan ideologi mereka. Siapapun presidennya, Amerika Serikat tidak akan pernah mengganti ideologi mereka sebagai negara kapitalis liberal. di sana, semua pengurusan aset-aset di sana diserahkan kepada mekanisme pasar. Pemerintah bertugas hanya sebagai wasit dan pemungut pajak. Semuanya serba swasta.
Berbeda dengan Republik Rakyat Tiongkok. Mengapa Tiongkok mampu menjadi negara besar karena Tiongkok mampu mempertahankan ideologinya. Siapaun presidennya, Tiongkok tetap akan mempertahankan negara berideologi sosialis komunis. Di sana, jelas-jelas semua perusahaan besar yang menguasai aset-aset negara adalah perusahaan negara. Semua tanah dimiliki pemerintah. Negara mengendalikan di semua sektor. Mengapa demikian? Tentunya kebijakan tersebut dilandasi oleh ideologi mereka yaitu ideologi sosialis komunis dimana hak dan kepemilikan aset-aset ada di tangan negara.
Lalu bagaimana dengan ideologi negara kita. Jelas-jelas dalam pasal 33 UUD 1945 dijelaskan bahwa bumi,air dan kekayaan yang tekandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Sebetulnya ideologi kita ada di tengah-tengah. Pihak swasta boleh berbisnis dan memiliki aset apapun di negeri ini selain bumi, air dan kekayaan alam yang tekandung di dalamnya yang menguasai hajat hidup rakyat banyak.
Calon presiden yang ideologis adalah calon presiden yang memperjuangkan kekayaan alam yang menjadi hajat hidup rakyat, wajib dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Jika ada calon presiden yang memperjuangkan kekayaan kita jangan sampai dikuasai oleh asing maka rakyat wajib beramai-ramai memilihnya!
Rakyat jangan terbuai dengan solusi lips service memperjuangkanwong cilik. Solusi pragmatis jangka pendek yang tidak didasarkan atas ideologi negara kita. Jangan pilih calon presiden /cawapres yang akan menyerahkan pengelolaan aset-aset negara sepenuhnya kepada mekanisme pasar apalagi asing. Jangan sampai aset kita dijual ke asing dengan dalih krisis atau apapun. Jangan sampai gas kita dialirkan ke negara lain dengan harga murah. Itu jelas-jelas bertentangan dengan ideologi kita!