Jelang pemilu kian mengemuka bahwa seni berpolitik itu teramat banyak. Dari yang santun sampai yang culas. Kuperkenalkan salahsatu seni berpolitik yang barangkali menjadi salah satu tren saat ini: Seni Kotak Kosong.
Seni kotak kosong dalam pengertian sederhana adalah golput. Melacak sejarahnya akan sangat rumit dan penuh warna abu-abu. Entah kapan mulai adanya kotak kosong. Namun sedikit bisa dibeberkan, seni ini sangat populer dalam masa orde baru, terutama dalam pemilihan kepala desa. Alasannya sangat sederhana, sebagai wujud demokratisasi pada saat itu, selain memfasilitasi pemilik hak suara yang ingin menggunakan hak suaranya dengan memilih salahsatu calon. Juga memfasilitasi pemilik hak suaranya yang ingin menggunakan hak suaranya dengan tidak memilih calon manapun.
Saya kesulitan mencari makna positif dari seni kotak kosong alias golput ini. Sejauh yang saya ketahui, seni ini sangat jarang dipakai oleh politikus-politikus yang menjunjung kesantunan dalam berpolitik. Justru seni ini sangat digemari oleh politikus-politikus culas. Apa pasal?
Jadi begini, cara berpolitik seperti ini akan menjadikan orang yang sangat ambisius menjadi terlihat kalem dan dipojokkan. Sebaliknya, orang yang biasa saja dikesankan menjadi sangat ambisius.
Baru-baru ini kita disuguhkan tontonan mengenai gerakan golput. Ada yang pro, ada juga yang kontra. Kita singkirkan dulu argumen-argumen dari keduabelah pihak, karena tulisan ini bukan untuk mengadili keduanya. Kita akan melihat sebuah persfektif lain, saya coba membeberkannya dengan terang benderang.
Ada kelompok-kelompok kepentingan (para politikus itu) yang menjadikan wacana golput sebagai tiket masuk ke parlemen. Bagaimana caranya?
Di luar, mereka mendukung sepenuhnya gerakan golput, terutama yang diserukan kepada kalangan muslim yang nyata-nyata pemilik saham terbesar (baca: pemilik suara) di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mereka sadar sesadar-sadarnya, dengan suara yang relatif kecil mereka tidak mungkin masuk ke parlemen. Tapi, andaikata pemilik saham terbesar negara ini berhasil digolputkan, besar peluang mereka melenggang ke parlemen. Sebab, nah ini poin keduanya: Di internal, mereka sangat solid dan terus mempersolid diri.
Di sisi lain, ada kelompok kepentingan lain yang sangat cemas dengan gerakan golput ini. Mereka menilai, partisipasi masyarakat yang rendah berkorelasi terhadap rendahnya pelayanan pemerintah pada masyarakat. Mengapa? Sebab para wakil rakyat yang dipilih bukan representasi keinginan rakyat.
Nah, kelompok kepentingan kedua ini, sangat mungkin untuk dipojokkan. Orang-orang akan menilai, kelompok ini sangat gila kepentingan. Sedangkan kelompok yang pertama, percaya atau tidak, hampir sepi dari gunjingan. Padahal, jika kita telisik lebih dalam, yang culas itu justru kelompok pertama.
Terakhir, menjadi tugas kita bersama untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat yang baik, santun, dan sesuai etika. Perubahan itu ada di tangan kita. Pertanyaannya, apakah kita ingin menjadi agent of change tersebut?