Di tengah-tengah harapan masyarakat terhadap Presiden RI terpilih Ir. Joko Widodo dan wakil presiden RI Drs. H.Muhammad Jusuf Kalla. Berharap akan membawa negeri ini lebih sehat, berdaulat, demokratis, maju, dan makmur, serta bebas dari korupsi. Namun harapan itu hampir sirna karena masyarakat dilanda kelangkaan BBM, yang sampai hari ini warga masih antri panjang di SPBU.
Muak, kesal, malas, itu yang dirasakan masyarakat pada beberapa hari terakhir. Kelangkaan BBM yang terjadi pada sebelumnya sungguh sangat dirasakan oleh semua warga baik di kota hingga di sendi-sendi perdesaan. masyarakat merasa kecewa karena kelangkaan BBM ini berdampak negatif terhadap masyarakat, baik dampak ekonomi, sosial, dan sendi-sendi kehidupan yang lain, terutama bagi petani dan nelayan.
Para petani bingung dan stress sebab kelangkaan BBM berdampak pada mesin pompa air yang mereka gunakan, sehingga sawah-sawah mereka mengalami kekeringan sebab mesin pompa air tidak bisa digunakan tanpa adanya bahan bakar.
Begitupun juga para Nelayan, yang ternyata masih sulit untuk melaut, karena tak punya cukup solar bersubsidi. Karena itu para nelayan juga tak mampu untuk membeli solar non subsidi, sehingga tidak bisa melayar kembali. Selain itu kalaupun mereka bisa membeli maka hasil tangkap ikanya pun jauh lebih sedikit ketimbang biaya solar yang dibeli, sehingga tidak ada keseimbangan antara biaya modal dan hasil.
Melihat penderitaan yang dialami masyarakat, sebenarnya bukan kehendak pemerintah, justru sebaliknya pemerintah memberlakukan pembatasan BBM baik subsidi maupun non subsidi untuk menyelamatkan bangsa ini, karena keterbasan anggaran yang tak cukup untuk memenuhi stok BBM hingga akhir tahun ini. Hal inilah yang menjadi alasan kuat adanya kebijakan pembatasan BBM.
Sebelumnya pemerintah sudah memberlakukan beberapa kebijakan untuk mengatasi masalah tersebut, seperti mewajibkan mobil dinas pemerintah dan BUMN untuk menggunakan BBM nonsubsidi. Kebijakan ini sudah berjalan namun masih kelihatan tidak ada efek sama sekali. Begitupun juga dengan kebijakan pemasangan radio frequency identification (RFID), rencananya dipasang 100 juta kendaraan. Selain itu melarang penjualan di akhir pekan. Semua itu gagal dan tak terealisasi.
Kebijakan pembatasan BBM beberapa hari terakhir ini sungguh mengundang perhatian semua lapisan masyarakat. Sebab pembatasan BBM sangat mengganggu aktivitas masyarakat tidak hanya para petani dan nelayan yang merasakan hampir semuanya, karena efek pembatasan tersebut dampaknya sangat luar biasa.
Melalui tulisan ini penulis sebenarnya bukan membahas terlalu banyak tentang persoalan efek kebijakan tersebut, namun ingin mengkritisi apa sebenarnya di balik kebijakan itu. Bahwa penulis merasa ada sesat pikir kenaikan harga BBM yang kemudian di lontarkan ke masyarakat agar mereka lebih rela adanya kenaikan harga ketimbang tidak ada BBM sama sekali.
Mungkin kita semua sadar bahwa dampak pembatasan BBM tersebut menyebabkan adanya antrian panjang di seluruh daerah-daerah, dengan efek antri maka masyarakat akan merasakan jenuh bahkan meraka sudah mengantri namun tetap saja tak kebagian BBM subsidi tersebut, sungguh sangat ngeri negeri ini, karena itulah konsekuensinya.
Maka kemudian dari situ muncul opini yang lahir dari beberapa elit pemerintah dan sebagian masyarakat bahwa lebih baik harga BBM naik tapi mudah didapat daripada antri atau tidak ada sama sekali, atau istilah lain lebih baik BBM Nonsubsidi ada ketimbang BBM subsidi tapi tidak ada sama sekali.
Wacana ini sengaja dimunculkan agar kenaikan harga BBM seolah-olah lahir dari permintaan masyarakat bukan lahir dari kebijakan pemerintah. Sehingga masyarakat sudah tidak lagi memikirkan beban kenaikan BBM melainkan memikirkan adanya stok BBM walaupun tak bersusidi. Disini kita melihat adanya sesat pikir untuk masyarakat melalui wacana tersebut. Dan ini merupakan settingan sosial belaka. Karena masyarakat sudah sangat bergantung pada BBM.
Selain itu wacana tentang pengalihan subsidi juga merupakan sesat pikir. Wacana itu memang bagian dari solusi permasalahan tersebut, sebab selama ini subsidi BBM yang seharusnya diperuntukan masyarakat menengah kebawah justru malah dinikmati masyarakat golongan atas. Hal ini yang menjadi dasar kuat agar subsidi BBM dialihkan ke sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, dengan sasaran yang langsung ke masyarakat menengah kebawah.
Kebijakan tersebut seolah-olah menjadi pembenaran atas jawaban persoalan BBM selama ini yang dinilai tidak tepat sasaran. Penulis menilai bahwa semua itu juga merupakan sesat pikir. Sebab setiap sektor sudah ada anggarannya masing-masing, anggaran ini yang kemudian harus dimaksimalkan guna mengoperasionalkan agenda-agenda di tiap sektor.
Kita semua tahu dan sadar bahwa ketika harga BBM dinaikkan atau subsidi di cabut maka logika sosialnya akan muncul efek domino, yang berakibat terjadinya kenaikan harga secara menyeluruh, inflasi menjadi tinggi, dan kesejahteraan masyarakat akan menurun, serta jumlah kemiskinan akan melambung. Menaikkan harga BBM memang keputusan sulit mengingat spiraling effect yang di timbulkan besar.
Kebijakan kenaikan BBM memang bukan kebijakan populis, namun kebijakan tersebut adalah kebijakan jangka pendek, sangat pragmatis sekali kalau kemudian keputusan kenaikkan harga BBM menjadi andalan pemerintah, seolah-olah hanya itu cara yang ampuh untuk menyelamatkan APBN.
Oleh karena itu melihat situasi kondisi sekarang memang sangat sulit untuk menentukan kebijakan mencari jalan keluar jeratan APBN agar tidak jebol. Namun sekali lagi bukan jalan pintas yang harus kita pakai, sehingga harus di tata ulang dan didasarkan dengan hitungan yang matang melalui kajian yang mendalam. Selain itu mencari solusi alternative untuk mengkonversi dari BBM ke yang lain, seperti dari minyak tanah ke LPG.
Dari sinilah solusi dicari bukan untuk jangka pendek melainkan jangka panjang, karena sejatinya BBM dari tahun-ketahun pasti dan akan naik harganya, semoga pemerintah yang baru bisa memikirkan masalah klasik ini dengan bijak dan tentunya kebijakan yang berpihak pada rakyat.