Setelah meluluskan siswa dan mahasiswa, selain gembira sebenarnya harus juga merasa miris. Tidak sedikit para lulusan dari pendidikan formal yang menjadi pengangguran intelektual. Pengguna, dalam hal ini usaha dan industri, merasa lulusan tidak siap unjuk kerja seperti yang diharapkan.
Penolakan dunia industri ini menunjukkan tidak terhubungnya lulusan lembaga pendidikan dengan dunia usaha. Sorotan ini membuat dunia pendidikan mulai mencari cara untuk link & match.
Pihak-pihak yang peduli dengan pendidikan memandang perlu menghubungkan proses pembelajaran di dunia pendidikan dengan kondisi yang mengemuka di dunia usaha dan industri, sehingga para lulusan dari pendidikan formal siap kerja dan siap pakai.
BSebagian besar lulusan perguruan tinggi (PT) mencari pekerjaan di dunia usaha industri, sementara itu kurikulum PT untuk program S1, S2, S3 tidak mengarahkan capaian kompetensi (competency achievement) para lulusannya untuk dunia usaha industri. Oleh karena itu kalangan dunia usaha dan industri akhirnya perlu mengeluarkan biaya khusus untuk melatih lulusan PT dalam program-program yang terukur dan sistematis seperti management trainee, induction programe.
Seringkali pihak perusahaan mengeluhkan kualitas SDM lulusan PT yang belum siap mental untuk bekerja di perusahaan-perusahaan besar. Karena itulah pihak HRD perusahaan mengumumkan lowongan kerja dengan mencantumkan persyaratan telah memiliki pengalaman kerja bagi sang calon pelamar. Perusahaan tidak mau bersusah payah membuat program pelatihan bagi mereka yang baru diterima kerja.
Prinsip perusahaan ingin setiap pelamar yang diterima kerja dapat langsung siap pakai sehingga tidak membebani perusahaan dengan memberikan pelatihan yang terlalu menyita waktu, tenaga, perhatian, dan biaya. Dengan demikian peluang lulusan baru (fresh graduate) mendapatkan langsung pekerjaan sangat kecil.
Sayangnya, hanya dunia pendidikan yang getol membahasnya sedangkan dunia usaha dan industri tidak dilibatkan secara utuh. Padahal keberhasilan implementasi link & match adalah apabila dunia usaha dan industri terlibat langsung sehingga kebutuhan mereka bisa dipahami.
Ini dapat dilihat dari kesulitan PT dan politeknik serta sekolah-sekolah vokasi dalam mengakses kegiatannya di dunia usaha industri ketika peserta didik (mahasiswa) mengajukan permohonan magang kerja di perusahaan. Jika mereka diizinkan magang kerja, belum tentu memperoleh akses dan fasilitas sesuai dengan yang diperlukan. Komitmen dunia usaha dan industri dalam konteks ini amatlah penting.
Dipandang Sebelah Mata
Upaya mendekatkan dunia pendidikan dengan dunia usaha industri dilakukan dengan mendirikan sejumlah lembaga pendidikan kejuruan (vokasi) yang berkembang pesat.
Meski maksud awalnya untuk melayani kebutuhan dunia usaha dan industri, ternyata pelaksanaannya tidak mudah. Meski sudah jelas tujuan institusi pendidikan ini diarahkan agar lulusannya siap pakai dan siap kerja, tetapi perangkat-perangkat yang diperlukan untuk menyiapkan lulusan memiliki kompetensi yang diharapkan belum memadai.
Memang, dunia pendidikan tidak khusus disiapkan untuk dunia usaha dan industri karena kurikulum PT diarahkan pada penelitian dan pengembangan ilmu.
Kenyataannya, sebagian besar lulusan PT tidak dibekali ilmu praktis yang cukup mumpuni untuk bekerja di dunia usaha industri terutama di perusahaan berskala besar yang sudah demikian cepatnya berkembang.
Kesulitan membawa pihak industri terlibat dengan sepenuh hati ke dunia pendidikan dapat dimaklumi karena belum adanya cetak biru kerja sama yang saling menguntungkan kedua belah pihak serta belum adanya aturan atau undang-undang yang mengikat kedua pihak sehingga konsep link & match dapat dilaksanakan teratur dan sistematis.
Di sisi lain pengelolaan pendidikan pada sekolah-sekolah vokasi dan politeknik tampaknya masih meniru pola (proses) pendidikan sekolah umum atau PT pada umumnya. Para pengajar masih banyak yang direkrut dari sekolah/perguruan tinggi umum yang sifat kurikulumnya jelas berbeda dengan sekolah vokasi dan politeknik.
Ironisnya lagi pengajar di politeknik banyak yang melanjutkan studi ke jenjang S2 dan S3. Padahal kurikulum S2 dan S3 kurang tepat bagi program-program di politeknik yang lulusannya disiapkan untuk kerja. Mereka tidak perlu gelar akademik karena politeknik bukan disiapkan untuk penelitian dan pengembangan ilmu tetapi dunia praktis.
Alangkah baiknya jika para pengajar mengambil spesialisasi sesuai dengan keahlian yang diajarkan di sekolah vokasi/politeknik. Oleh karenanya meningkatkan kompetensi pengajar lembaga pendidikan ini tidak dengan cara meraih gelar doktor yang sifatnya sangat teoritis tetapi mengkuti program keahlian penunjang sistem pendidikan vokasi yang banyak tersedia di negara-negara maju.
Di samping itu, mereka perlu juga mengikuti program magang kerja secara periodik sesuai keahlian di perusahaan (industri) yang memiliki kerja sama guna terus memperbarui kecakapan spesialisasinya, sesuai perkembangan di dunia usaha dan industri yang berubah demikian cepat.
Pelaksanaan proses belajar mengajar (perkuliahan) yang berbasis dunia usaha industri khususnya bagi mahasiswa yang ketika lulus nanti ingin bekerja di dunia usaha industri, mutlak dibutuhkan dunia pendidikan. Kerja sama antara dunia pendidikan dan usaha industri tidak hanya sekadar pemberian beasiswa bagi mahasiswa tetapi lebih dari itu misalnya kemudahan melakukan job training di perusahaan bagi mahasiswa dan staf pengajar, keterlibatan manajer (praktisi profesional) perusahaan mengajar di PT, kerja sama pelaksanaan suatu proyek bisnis antara PT dan perusahaan, dan lain-lain.
Kondisi seperti ini hanya dapat terwujud jika pihak perusahaan (dunia usaha industri) diwajibkan terlibat dalam pembinaan SDM di PT khususnya bagi para mahasiswa dan dosen.
Oleh karena itu diperlukan undang-undang yang mengatur kerja sama untuk kedua dunia yang berbeda itu. Koordinasi lintas departemen sangat diperlukan agar pelaksanaan program ini sukses.
Jika tidak, akan diapakan ribuan lulusan PT usai diwisuda setiap tahun?