Proses hukum memiliki koridornya sendiri. Butuh waktu lantaran terkait pembuktian sehingga penyelidik dan penyidik harus profesional, objektif, dan independen. Ilustrasi/Istimewa
Marwan Mas
Guru Besar Ilmu Hukum (Pidana) Universitas Bosowa, Makassar
PROSES hukum memiliki koridornya sendiri. Butuh waktu lantaran terkait pembuktian sehingga penyelidik dan penyidik harus profesional, objektif, dan independen atau tidak terpengaruh pada intervensi dari mana pun.
Penyelidik dalam menangani dugaan terjadi tindak pidana (delik) mengumpulkan bukti permulaan yang cukup—minimal dua alat bukti—agar dapat ditingkatkan ke penyidikan. Apakah ada bukti yang cukup dan perkara itu secara terang-benderang termasuk tindak pidana atau bukan?
Di situlah salah satu kesulitan untuk mempercepat penyelidikan dan penyidikan lantaran butuh waktu untuk mengumpulkan alat bukti dengan memeriksa pelapor, saksi dan saksi korban, ahli, serta mencari alat bukti lain.
Namun, siapa pun yang cukup bukti melakukan delik harus dibawa ke pengadilan untuk diperiksa dan diadili apakah bersalah atau tidak. Persoalan ini yang kadang tidak sinkron dengan pemahaman sebagian warga masyarakat yang menghendaki suatu dugaan tindak pidana diproses lebih cepat.
Masih ada warga masyarakat dipengaruhi penyakit lama, ”tidak percaya” kepada penegakan hukum, terutama jika yang dilaporkan itu oknum pejabat negara.
Niat dan Sengaja
Pasal yang selalu diterapkan terhadap dugaan penistaan agama adalah Pasal 156a KUH-Pidana. Pasal tersebut berbunyi: ”Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ada dua aspek yang sering diperdebatkan dalam menerapkan Pasal 156a KUH-Pidana. Pertama, mengenai ”sikap batin atau niat”. Padahal, “niat” ada dalam diri manusia dan tidak seorang pun mengetahui selain yang berangkutan dan Tuhan.
Untuk menemukan ada sikap batin atau niat jahat (mens rea) seseorang harus dilihat pada rangkaian ucapan dan perbuatan yang mencocoki rumusan delik yang dilarang dalam Pasal 156a KUH-Pidana yang disebut “perbuatan jahat (actus reus)”.
Artinya, niat jahat (actus reus) ditemukan pada ucapan atau perbuatan seseorang yang dilarang dalam undang-undang sebagai unsur yang dapat dipidana. Mengeluarkan perasaan (ucapan) atau perbuatan yang dilarang dalam Pasal 165a (khususnya huruf-a) KUH-Pidana terkait dengan dugaan penistaan agama adalah :”...dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan”.
Niat jahat (mens rea) terkait dengan pertanggungjawaban pidana (kemampuan bertanggung jawab), kemudian diwujudkan dengan perbuatan jahat (actus reus) yang dapat pidana.
Di situlah terlihat ada “niat” melakukan penistaan agama melalui ucapan di muka umum. Apalagi 156a KUH-Pidana termasuk “delik formil” yaitu tindak pidana di mana yang dilarang dan diancam pidana adalah perbuatan jahat (actus reus) yang mencocoki rumusan delik.
Penistaan agama sebetulnya sudah ada beberapa putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (yurisprudensi). Antara lain putusan terhadap Arswendo Atmowiloto pada 1990 (Hidayatullah.com, 11 November 2016).
Arswendo membuat polling di Tabloid Monitor tentang siapa tokoh idola menurut para pembacanya. Hasil polling yang dirilis tabloid itu, nama Nabi Muhammad SAW berada pada urutan ke-11. Itu yang menyulut kemarahan umat Islam yang dianggap penistaan agama Islam sebab Nabi Muhammad SAW diyakini nabi terakhir yang difirmankan dalam Alquran sebagai tokoh panutan bagi umat Islam. Kasus itu dilaporkan ke polisi dengan sangkaan penodaan atau penistaan terhadap agama Islam.
Proses hukum berjalan dan salah satu landasan alat bukti surat adalah Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Boleh saja terdakwa menyebut tidak punya “sikap batin atau niat jahat dan sengaja” menghina Nabi Muhammad SAW, tetapi hal itu tidak menjadi dasar pertimbangan hakim.
Hakim melihat dan menilainya pada ucapan atau perbuatan yang dilarang dalam Pasal 156a huruf-a KUH-Pidana sebagai perbuatan jahat (actus reus) sehingga dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun. Putusan itu merupakan yurisprudensi yang dapat diikuti hakim-hakim lain dalam perkara yang sama.
Kedua, unsur “dengan sengaja di muka umum” mengeluarkan perasaan (ucapan) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Dalam KUH-Pidana, bahkan pengaturan hukum pidana di berbagai negara tidak menegaskan pengertian tentang apa yang dimaksud “dengan sengaja”.
Pengertian “dengan sengaja (dolus atau opzet)” hanya dapat ditemukan pada teori yang dikemukakan oleh para pakar hukum pidana yang terkenal dalam buku-bukunya (Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, 1995: 266).
Acapkali hakim melihat makna frasa “sengaja” sebagai maksud untuk membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. Pemahaman ini sesuai dengan makna “sengaja” dalam hukum adat Indonesia dan hukum pidana pada negara-negara penganut sistem hukum common law (Anglo Saxon).
Dalam kepustakaan hukum pidana, secara umum teori “kesengajaan” dibedakan atas tiga bentuk (Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I , 1995: 235, 294, 295, dan 332).