Dalam bukunya, “Asia, New Hemisphere of The World”, Kishore Mahbubani menyebutkan bahwa salah satu pilar kemajuan peradaban barat adalah budaya meritokrasi. Menurutnya prinsip meritokrasi itu sederhana: karena setiap individu di masyarakat itu adalah sumber daya yang potensial, maka semua dari mereka harus diberi kesempatan yang sama (sebanyak mungkin) untuk mengembangkan diri dan memberikan kontribusi kepada masyarakat. Dalam bukunya Mahbubani mengajukan pertanyaan, mengapa Brazil menjadi negara adidaya dalam sepak bola namun sedang-sedang saja dalam ekonomi? Jawabannya adalah karena Brazil mencari bakat-bakat pesepakbola di semua lapisan masyarakat dari mulai kelas atas hingga di kawasan-kawasan kumuh. Sementara dalam hal ekonomi, di Brazil kesempatan ekonomi lebih banyak hanya dinikmati kelas atas dan menengah saja.
Di semua organisasi, regenerasi kepemimpinan yang meritokratis akan selalu berhasil melahirkan pemimpin berkualitas dan memajukan organisasi. Tidak ada bakat-bakat yang dianggap remeh dan tidak ada diskriminasi. Dalam organisasi bisnis modern, budaya ini menjadi keharusan bahkan didukung dengan assessment individual yang ketat, rumit dan objektif tanpa memandang latar belakang yang tak relevan dengan kriteria kompetensi.
Namun dalam masyarakat feodal budaya ini tidaklah biasa. Dalam masyarakat ini, regenerasi pemimpin bersifat patron-client relationship dimana calon pemimpin (client) harus mendapatkan “blessing” dari orang-orang yang punya pengaruh (patron) barulah ia dapat memperoleh kesempatan menjadi pemimpin. Walhasil pemimpin yang dihasilkan tidaklah memiliki kualifikasi memadai bahkan cenderung bertipe (maaf) “penjilat”. Lemahnya budaya meritokrasi dalam masyarakat Indonesia tercermin misalnya dalam proses pemilihan ketua kelas saat kita sekolah dulu. Biasanya saat ditanya siapa yang ingin menjadi ketua kelas tak ada yang menyahut bahkan posisi ketua kelas itu cenderung diserahkn pada orang yang bisa dijadikan “tumbal”. Dalam organisasi-organisasi, pemimpin dipilih seringkali berdasarkan senioritas akibat budaya tidak enakan pada orang tua tanpa menguji terlebih dahulu kapasitas orang tersebut serta meihat kemungkinan piluhan-pilihan alternatif.
Dalam masyarakat kita mereka yang menawarkan diri menjadi pemimpin cenderung dipersepsi negatif, padahal mereka lebih berpeluang untuk menunjukan siapa dirinya, semampu apa mereka sebab mereka siap diuji kapasitasnya sebelum memimpin. Lain halnya dengan pemimpin yang mengandalkan patron-client relationship, mereka seolah menunjukan keengganan menjadi pemimpin namun sibuk mencari cara untuk mendapat blessing dari yang dituakan agar bisa menjadi pemimpin. Pemimpin meritokratis akan menyiapkan dirinya dengan kapasitas yang memadai sebelum menawarkan dirinya. Mereka juga lebih bertanggungjawab sebab keinginan menjadi pemimpin muncul berasal dari penggilan dari dalam dirinya. Setelah memperoleh posisi pemimpin, pemimpin tipe ini akan bertanggung jawab pada mereka yang dipimpinnya. Lain halnya dengan pemimpin yang andalkan patron-client relationship, mereka bertanggung jawab menyenangkan patron-nya sebab mandat berasal dari sana, bukan menjadikan yang dipimpin sebagai stakeholder utama.
Regenerasi pemimpin publik tentunya memerlukan pendekatan yang meritokratis. Kita layak bersyukur karena negara kita menganut sistem demokrasi presidensial dimana presiden dan anggota DPR dan DPD dipilih langsung oleh rakyat. Dalam sistem ini siapapun idealnya berhak mencalonkan dirinya sebagai calon pemimpin bangsa. Kekuasaan mereka pun dibatasi lima tahun sekali. Keberhasilan mereka akan diapresiasi dengan dipilih kembali, kegagalan mereka akan diganjar hukuman dengan tak dipilih kembali. Semua calon pun diberi kesempatan untuk diuji oleh publik.
Namun proses regenerasi pemimpin meritokratis ini seakan masih belum optimal akibat adanya semacam belenggu yang memetahkan proses regenerasi pemimpin secara meritokratis ini. Adanya parliamentary treshold sebesar 20% bagi partai politik yang hendak mencalonkan calon presiden menghambat munculnya capres-capres alternatif ke permukaan. Kita bersyukur pileg dan pilpres serentak akan dilaksanakan pada 2019. Kita pun berharap keputusan itu nanti tidak lagi dianulir sehingga tahun 2019 bisa menjadi momen yang revolusioner dalam regenerasi kepemimpinan di Indonesia.
Tidak hanya aturan yang menjadi belenggu namun juga sistem pendanaan partai politik yang sangat bergantung pada elit kaya. Sistem ini menjadikan partai cenderung sebagai kendaraan para elit kaya (tycoons) mencari kekuasaan. Buruknya sistem pendanaan partai politik di Indonesia ini tercermin dari maraknya korupsi politik yang menggerogoti institusi-institusi demokrasi. Di Indonesia tidak ada aturan yang mapan mengenai subsidi negara untuk partai politik. Pun mengenai donasi terhadap partai politik. Walhasil biaya demokrasi langsung di pusat dan daerah yang luar biasa mahal menyesuaikan diri dengan pilihan rasional untuk menggantungkan sumber pendanaan pada calon-calon pemimpin yang memiliki banyak uang tanpa melihat kompetensinya. Anggota DPR yang “membeli” dukungan dari partai dengan membayar mahar tertentu saat sebelum dipilih kemudian mengkompensasi pengeluarannya melalui berbagai aktifitas perburuan rente menjadi fenomena biasa. Demokrasi yang sangat money oriented akhirnya menghambat calon-calon pemimpin potensial untuk mancalonkan diri menjadi pemimpin publik. Tidak adanya aturan mengenai pendanaan partai politik ini baik subsidi negara maupun aturan mengenai donasi malah melanggengkan korupsi dan pengaruh elit-elit kaya terhadap partai politik. Pembenahan aturan mengenai sistem pendanaan partai politik berkorelasi dengan pembangunan regenerasi kepemimpinan yang meritokratis di sektor publik.
Membangun regennerasi kepemimpinan meritokratis akhirnya membutuhkan peralihan mindset (mindset shifting) besar-besaran serta pembuatan aturan dan platform yang kondusif untuk mendorong hal tersebut. Dengan budaya meritokratis diharapkan permata-permata berkilau dari 240 juta rakyat dapat muncul ke permukaan.
oleh: Muhammad Fakhryrozi, peneliti IDEAS