Terima Kasih Pak Be-Ye, Andalah yang Telah Memulai Ekspor Rupiah

Author : Dhita A | Saturday, May 03, 2014 09:36 WIB

Dalam akhir masa jabatan presiden SBY 2014 ini, penulis masih mengapresiasi beberapa “langkah berani” beliau untuk mau berpikir realistis dan membelakangi Amerika. Seperti langkah-langkah bagus BI dalam melakukan  Bilateral Currency Swap Agreement dengan China, Korea, dll beberapa waktu ini.

Indonesia sudah melakukan perjanjian swap dengan korea selatan di tanggal 7 Maret 2014 kemarin, dengan nilai 10,7 won Korea atau Rp 115 triliun (berkisar antara 10 miliar dolar AS). Perjanjian berlaku efektif selama tiga tahun dan dapat diperpanjang atas kesepakatan kedua belah pihak. (Investor Dailly)

Sebelumnya di bulan Oktober 2013, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo dan Gubernur People’s Bank of China (PBOJ) Zhou Xiaochuan sudah menandatangani perjanjian Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) yang berlaku berlaku selama tiga tahun juga, dan merupakan perpanjangan perjanjian sebelumnya di tahun 2009 (pertama kali swap dengan china) senilai 100 miliar yuan atau Rp 175 triliun. Perjanjian itu bertujuan untuk meningkatkan perdagangan dan investasi langsung antara Indonesia dan China serta membantu penyediaan likuiditas jangka pendek bagi stabilisasi pasar keuangan. (Investor Dailly).

Apa sih Bilateral Currency Swap Agreement itu dan apa keuntungan bagi Indonesia ?

Perjanjian currency swap adalah sebuah kesepakatan antar negara untuk melakukan pertukaran mata uang dengan menetapkan bunga dan jumlah uang, yang akan dipertukarkan selama jangka waktu berlakunya perjanjian tersebut. Nah dengan kesepakatan tersebut, Indonesia dan China tidak “tergantung” lagi dengan penggunaan mata uang US Dollar dalam perdaganganya (ekspor-impor), sehingga stabilitas nilai mata uang kedua negara tersebut akan lebih terjaga di tengah gejolak ekonomi dunia yang masih tidak pasti seperti ini, terlebih Amerika juga belum bangkit dari keterpurukan ekonominya.

Analogi mudahnya seperti ini, Kalau Indonesia masih tetap tergantung dengan US Dollar, maka rupiah akan mudah sekali terdepresiasi nilainya, pada saat pemerintah atau pengusaha akan melakukan transaksi Internasional, maka mereka pun akan membuat demand akan USD semakin tinggi, sehingga nilai rupiah pun akan menurun, Nah dengan adanya pengalaman masa lalu, hal ini akan sangat rawan terhadap adanya “spekulan” yang bernmain untuk memanfaatkan peluang, bisa saja mereka membanjiri Indonesia dengan milliaran USD yang mereka punya, selanjutnya beramai-ramai melepas rupiah atau menarik USD, yang akan membuat nilai rupiah semakin hancur. Dan keadaan itu akan menjadi guncangan bagi perekonomian Indonesia, karena akan memberatkan jumlah hutang luar negri (perbedaan kurs), dan akan menambah beban impor Indonesia yang masih dalam jumlah besar.

Jika melihat perkembangan nilai perdagangan Indonesia-China yang semakin besar di tiap tahunya, perjanjian ini akan sangatlah menguntungkan bagi masa depan Indonesia sendiri, berdasarkan data BPS, semanjak pertama kali Indonesia melakukan swap dengan China di 2009, nilai perdagangan Indonesia sudah mencapai 25,59 milliar US Dollar, di tahun 2010 nilai tersebut naik 50% di angka 33,8 milliar US Dollar, sedangkan proyeksi di tahun 2014 ini akan mencapai angka 50 milliar US Dollar.

Apresiasi terhadap keberanian pemerintah patut diberikan, semenjak Indonesia pertama kali “berani” melakukan perjanjian swap dengan China. Keadaan ini sebenarnya berawal dari pertikaian antara China dengan Amerika di pertemuan G20 tahun 2009, dimana saat itu Zhou Xiochuan Gubenur Bank People of China (PBOJ) mengusulkan adanya reformasi moneter dimana di dalamnya termasuk adanya poin penggeseran US Dollar sebagai mata uang Internasional, Intinya saat itu China menganggap US Dollar sudah tidak memiliki lagi “jaminan” aset riil-nya, dan China khawatir terhadap keadaan USD sendiri, sehingga harus diganti dengan currency baru yang ditopang oleh beberapa komoditas (basket commodities) seperti jumlah Minyak, tembaga, perak, emas, dll. Saat itu China mengusulkan untuk langkah awalnya dalam reformasi tersebut agar menggunakan Special Drawing Rights (SDR) mata uang IMF untuk digunakan sebagai mata uang yang riil.

Tentu saja Amerika menolak saat itu karena keadaan ekonomi mereka memang belum siap untuk menghadapi itu, Nah disinilah sebenarnya perang moneter dua negara tersebut dimulai antara The Fed dengan PBOJ, semenjak itulah China gencar sekali memperkenalkan mata uang Yuan Renmimbi-nya di pasar Internasional, termasuk dengan menggalakan perjanjian Swap tadi dengan beberapa negara, China pun “bersekongkol” dengan Jepang di awalnya untuk mengurangi penggunaan mata uang US Dollar. “Gerilya” China pun mulai diperluas ke Hongkong, makau, negara-negara Asean, hingga Belarusia , Rusia, dan ke negara-negara Amerika Latin.

Amerika pun sangat terusik dengan langkah-langkah China tersebut, terlebih Amerika masih menyadari bahwa pemegang Obligasi (surat hutang) terbanyak mereka adalah China dan Jepang, atau sebesar 27,07% dari total jumlah US Dollar yang ada di muka bumi ini. Disamping itu China juga pemegang devisa USD terbesar di seluruh dunia, yaitu mencapai 2,21 trillliun US Dollar. Bayangkan saja jika tiba-tiba “China” melepas US Dollar-nya dalam jumlah banyak di pasar global, tentu saja ini akan menjadi pukulan telak bagi Amerika, terutama Amerika masih melakukan strategi “defisit spending” dimana obligasi (hutang) lah yang membiayai perekonomian-nya dalam keadaan lesu seperti ini.

Dengan hal tersebut, bisa dikatakan negara-negara pemegang surat hutang Amerika lah yang “membiayai” perekonomian Amerika. Padahal keadaan defisit neraca pembayaran Amerika ini sudah terjadi puluhan tahun, sehingga terjadilah pola gali lubang tutup lubang, jadi kalau kelak hutang-hutang Amerika tersebut sudah jatuh tempo, dan Amerika belum bisa menutupinya, maka dengan mudah Amerika akan mengeluarkan lagi surat hutang tersebut dan ini akan terjadi secara terus menerus. Keadaan seperti inilah yang dikhawatirkan china, dan yang membuat mereka mengusulkan untuk adanya reformasi Currency Internasional. Tentu saja Amerika tidak akan tinggal diam, jika sampai US Dollar penggunaanya di geser oleh mata uang lain. this “game over” akan hancur perekonomian Amerika, tetapi sayang dewasa ini China ada di posisi yang memiliki daya tawar lebih bagus, sehingga tidak ada pilihan lain bagi Amerika selain “bertahan” sekuat tenaga.

Fenomena ini dibaca juga oleh Indonesia, sebuah perkataan yang “manis” keluar dari mulut Bapak Boediono yang menandakan Indonesia mau berfikir “realistis”, sewaktu menandatangani perjanjian Swap dengan China di tahun 2009, yang terang-terangan mengatakan bahwa ketergantungan dunia terhadap US Dollar sangatlah beresiko, meskipun beliau mengakui bahwa sulit juga untuk dikurangi dalam waktu dekat.

Meskipun baru satu langkah, tetapi “keberanian” itu harus di apresiasi, memnag semuanya butuh waktu, Indonesia tinggal memperbanyak lagi perjanjian Swap tersebut dengan negara-negara yang berkaitan secara ekonomi. Dengan begitu, Indonesia sudah mulai “mempromosikan” rupiah di dunia Internasional.

Indonesia harus peka terhadap perkembangan ekonomi saat ini, “sudah waktu” nya rupiah mulai “di ekspor” ke berbagai negara. Jika ini terwujud, Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia, dan tidak hanya menjadi penonton saja dari dua “penghisap darah” yang sedang bertarung, yaitu US Dollar dan Yuan Renmimbi.

Oleh karena itu Indonesia perlu memiliki platform fiskal maupun moneter yang dibuat berdasarkan kepentingan bangsa ini, Itu yang seharusnya mulai difikirkan dan dilakukan, yups mulai berani berfikir “di luar kotak” dan berani menanmkan “akar ekonomi rill” di kebijakan selanjutnya, jika tidak maka dapat dipastikan selamanya kita hanya akan ikut arus yang tidak pasti, yang pada kenyataanya akan hanya “mensubsidi” investor yang sedang “bangkrut”.

من المقطوع: http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2014/05/03/terima-kasih-pak-be-ye-andalah-yang-telah-memulai-ekspor-rupiah-653308.html
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: