Sejak awal tahun 2000 an sejumlah fakultas di universitas cukup getol menyelenggarakan pendidikan kewirausahaan bahkan kemudian direktorat jenderal pendidikan tinggi menganggap matakuliah kewirausahaan perlu masuk dalam kurkikulum perguruan tinggi. Lalu sejak tahun 2004 sebagian fakultas mulai memasukkan matakuliah kewirausahaan sebagai matakuliah dasar umum yang wajib diikuti mahasiswa. Kebijakan mengadakan matakuliah kewirausahaan tidak dapat dipungkiri disebabkan semakin banyaknya lulusan S1 di Indonesia yang menjadi pengangguran karena tidak mampu diserap oleh lapangan pekerjaan untuk menjadi pegawai atau karyawan. Daya tampung dunia usaha dan industri yang menerima lulusan perguruan tinggi ibarat deret tambah, terbatas, sementara itu jumlah lulusan dan pencari kerja kian membludak bak deret ukur. Alhasil, istilah pengangguran terdidik kerap disematkan masyarakat bagi mereka yang menganggur alias tidak memiliki pekerjaan.
Sepengetahuan penulis pihak pengelola pendidikan di perguruan tinggi cukup dibuat sibuk dengan keberadaan matakuliah kewirausahaan khususnya dalam mencari tenaga pengajar yang mau dan mampu mengajar matakuliah ini. Amat disayangkan sepanjang pengalaman penulis matakuliah ini masih dianggap sebagaimana matakuliah lainnya, sehingga perlakuan terhadap matakuliah baru ini tidak jauh beda dengan matakuliah yang sudah ada sebelumnya. Mulai dari tenaga pengajar, susunan materi bahan ajar, hingga metode evaluasi dan penilaian mirip dengan yang diperlakukan bagi matakuliah-matakuliah di pergururuan tinggi pada umumnya. Prosedur baku yang ketat, tata cara menyampaikan materi serta paradigma yang digunakan pihak terkait tidak terlepas dari karakter matakuliah-matakuliah yang lain.
Padahal karakter matakuliah kewirausahaan berbeda, proses yang perlu dilakukan di awal adalah pengondisian sikap mental mahasiswa dalam menerima materi pembalajaran, kemudian dilanjutkan dengan persiapan melakukan latihan/simulasi bisnis, praktek langsung di lapangan untuk kemudian sang pengajar yang berperan juga sebagai mentor di lapangan tetapi membimbingnya walau masa matakuliah satu semester telah usai. Kontinyuitas pengarahan dan pendampingan justru makin diperlukan tatkala berakhirnya perkuliahaan satu semester sebagai bagian dari prosedur baku akademik. Disnilah semestinya pengajar matakuliah kewiarausahaan masih aktif berperan untuk tetap dekat dengan mahasiswa asuhannya agar usaha yang telah dirintis saat kuliah terus eksis bahkan berkembang dengan jurus-jurus yang telah didalami di perkuliahan.
Tiga Cara Meningkatkan Mutu
Dalam kenteks inilah maka sang pengajar kewirausahaan seharusnya memiliki pengalaman kerja di dunia usaha dan industri agar secara signifikan bisa membantu mahasiswa yang berwirausaha, bahkan jika pengajar itu juga pelaku bisnis atau pernah menglola bisnisnya sendiri jauh lebih baik ketimbang dosen "teori" yang disulap menjadi dosen "praktis" untuk mengampu matakuliah kewirausahaan. Walaupun demikian tidak semua pelaku bisnis atau praktisi profesional di dunia usaha dan industri mampu mengajar dengan baik di perguruan tinggi, karena disamping "ilmu"mengajar dibutuhkan sang pengajar pun mesti sosok yang senang membimbing dan menolong orang lain. Namun apabila sang pengajar sudah memiliki pengalaman nyata dunia usaha dan bisnis, maka meningkatkan ilmu mengajar dan aspek kemauan/motivasinya itu dapat ditumbuh-kembangkan melalui pelatihan-pelatihan. Menanam-suburkan hal-hal tersebut suatu keniscayaan karena kualitas kecakapan yang akan dikembangkan merupakan bagian dari soft skills dan berdasarkan hasil riset dapat ditingkatkan mutunya kearah yang lebih baik (Sternberg, Salovey and Meyer, 2005, Goleman 1995, dll). Jadi, membentuk pengajar kewirausahaan andal di kampus dari kalangan praktisi/pelaku bisnis sangat memungkinkan.
Jikalau menemukan pengajar kewirausahaan dari kalangan praktisi/pelaku bisnis cukup sulit, maka pihak kampus bisa saja bekerjasama dengan berbagai perusahaan untuk memagangkan para dosen dan mahasiswa untuk bekerja di perusahaan itu dalam masa periode tertentu. Menurut penulis kerjasama ini bukanlah hal mustahil untuk bisa dilakukan. Tentu saja pendekatan bersifat simbiosis mutualistis penting diberlakukan mengingat sebagai bidang usaha yang berorientasi profit perusahaan selalu melihatnya dari kacamata keuntungan walau untung yang dimaksud dalam hal ini tidak selalu terlihat (tangible) seperti uang tetapi juga bisa yang bersifat intangible seperti kemudahan pihak perusahaan mendapatkan mahasiswa yang berkualitas untuk siap kerja.
Sisi lain yang mesti diperhatikan oleh pengelola pendidikan di kampus adalah membuka ruang dialog dengan pengajar kewirausahaan yang berasal dari praktisis/pelaku bisnis. Kampus semestinya banyak mendengar atau menerima masukan tentang prosedur dan kondisi apa yang perlu dibenahi agar matakuliah kewirausahaan dapat berjalan dengtan baik. Bukannya membuat aturan satu pihak yang malah dapat menyusahkan pengajar kewirausahaan menjalankan tugas. Contoh, saat penulis membimbing mahasiswa melakukan latihan/simulasi bisnis sebagai bagian dari perkulaiahan kewirausahaan di lingkungan kampus, pada awalnya, cukup sulit mendapat ruang/akses bersimulasi di kampus karena terkendala izin yang serba prosedural ala ambtenaar (padahal wirausaha bersifat ‘nyeleneh' tapi kreatif). Dalam situasi ini sang mahasiswa butuh dimotivasi agar tetap bertahan dan mengatasi hambatan secara kreatif. Alhasil, sang mahasiswa kini bak juragan telah meluaskan jaringan bisnis ‘bakso pedhet'nya di berbagai tempat.
Simulasi bisnis amat diperlukan di kampus sebagai bagian membentuk jiwa entrepreneurship mahasiswa. Bisnis tidak ujug-ujug besar, segalanya harus dimulai dari bawah. Karakter bisnis yang sukses termasuk karakter entrepreneurship itu menyuburkan pola-pola pikir kreatif/inovatif, menciptakan produk/gagasan, dan menjadikannya memiliki nilai tambah ekonomis. Maka, pola kerja entrepreneurship berbeda dengan komersialisasi yang lebih kearah ‘mumpungisme' sehingga terkesan ‘menghalalkan segala cara' dengan memanfaatkan wewenang yang dimiliki. Komersialisasi di dunia pendidikan misalnya menjadikan obyek terdidik (siswa/mahasiswa) sebagai sumber penghasilan dengan memperoleh pemasukan dari uang gedung, biaya buku baru yang ditentukan, biaya parkir, uang SPP yang mahal serta banyak varian lainnya. Fenomena semacam ini jauh dari jiwa entrepreneurship sejati dan bukan pembelajaran atau contoh kewirausahaan yang cocok buat mahasiswa.
Lingkungan berkarakter entrepreneurial perlu ditanamsuburkan dan dicontohkan mulai dari pengelola pendidikan. Mendorong kampus mampu menghasilkan wirausahawan andal memang membutuhkan dukungan pimpinan selain simulasi/latihan bisnis yang intensif dan pengajar yang tepat. Jikalau ketiga hal tersebut telah terkondisikan di kampus maka tidak akan terlalu lama para wirausahawan tangguh akan muncul dari kampus. Pada gilirannya, pengangguran terdidik yang merupakan bagian dari sekitar 6,8% pengangguran di Indonesia dapat mulai teratasi, sehingga upaya pemerintah menambah-kembangkan UKM dapat terwujud dan memiliki signifikansi cukup tinggi bagi pemerataan ekonomi Indonesia.