Tipe Rakyat Menentukan Pilihannya

Author : Ukhtyan Muhibbah Firdaus | Friday, April 11, 2014 09:53 WIB

Semaraknya masa-masa kampanye telah berlalu, namun dengung janji-janji masih hangat terngiang di telinga. Rakyat pun mulai sibuk merespon, ada yang cenderung dengan satu partai namun ada pula yang bimbang karena begitu banyak pilihan dan minimnya informasi. Secara tidak langsung kebiasaan seperti ini telah dibentuk oleh budaya pesta demokrasi secara turun temurun. Mekanisme kampanye yang dilakukan ‘mirip’ cara sebelumnya.

Niscaya anggaran dana untuk berkampanye tentu tidaklah sedikit, uang yang digunakan untuk satu caleg dalam partai butuh di back up dari orang-orang bermodal yang berada dibelakangnya. Modal yang digunakan pun mencapai  miliaran untuk biaya baliho, iklan, brosur, kaos, gambar, dan lain sebagainya. Melihat realita yang demikian, respon rakyat negeri ini kian beraneka ragam.

 
Rakyat ‘Pembebek’
 
Tidak dapat dipungkiri sebagian rakyat memilih untuk ikut-ikutan alias membebek. Fenomena membebek ini sejatinya sudah terjadi pula di tahun politik sebelumnya dan di tahun ini kembali berulang. Misalkan saja, rakyat menjadi simpatisan pada satu partai namun di saat partai politik yang lain berkampanye, mereka hadir pula pada partai lain tersebut dan menjadi simpatisannya. Budaya ini tentu tidak sehat, karena masyarakat akan dididik menjadi rakyat bermental oportunis. Rakyat yang susah semakin susah, karena merasa terbantu ketika ada partai politik yang memberikan sembako, biaya kesehatan gratis dan memberikan kebutuhan-kebutuhan pokok.
 
Sejatinya partai politik pun sangat berpotensi menjadikan asas kemanfaatan untuk meraup suara terbanyak dengan menghalalkan segala cara. Tidak bisa dipungkiri selalu ada istilah money politik sebagai pelicin untuk mewujudkannya tujuan. Jika hal ini terus menerus dibudayakan, maka bisa dipastikan rakyat negeri ini sebenarnya telah dididik menjadi bermental pembebek mengikuti asas kemanfaatan. Keadaan ini justru membuat mental rakyat semakin mudah untuk diombang-ambingkan dalam kesemuan.
 
 
Rakyat ‘Kritis’
 
Kalangan lain dari wacana rakyat pembebek ada masyarakat yang terpandangan kritis. Kekritisan yang dimaksud adalah kritis dalam memahami realitas karena sudah menjadi rahasia umum. Keburukan yang terindera dari rangkaian pesta demokrasi tersebut sering tersirat istilah “politik saat ini adalah kotor”. Biasanya kalangan intelektual dan orang-orang yang menyadari akan ketidakidealan sistem inilah mereka yang kritis. Orang yang demikian bisa menilai, bahwa kinerja orang-orang yang berkuasa tidak akan memberikan perubahan yang signifikan karena cara yang digunakan tidak bersih. Analisa tentang masalah kemiskinan, janji mensejahterakan, menjaga kestabilan harga bahan pokok,  kenyataannya kenaikan harga bahan bakar justru membuat harga-harga selalu meroket naik. Terlebih pergantian tahun pajak cenderung semakin membebani rakyat. Dipastikan orang-orang yang masuk dalam tipe ini adalah memilih untuk tidak memilih.
 
Opini bahwa golput adalah jalan yang putus asa dan pecundang pun sering terdengar. Namun jika kita perhatikan lebih jeli, jangan pula salahkan orang-orang yang kritis, bisa jadi karena mereka telah mendalami fenomena ‘pesta demokrasi’ hingga berkesimpulan untuk menggunakan suaranya untuk tidak memilih. Jika hal ini terjadi, semestinya orang-orang yang mencalonkan diri bercermin apakah cara mereka benar dan sehat sehingga menciptakan budaya yang benar.
 
 
 
Rakyat ‘Ideologis’
 
Jika kita analisa kembali, ada sebagian rakyat yang ketika pun tidak memilih bukan berarti tidak berbuat apa-apa. Ada tipe rakyat yang ingin melakukan perubahan secara fundamental dan mendasar. Pemilu hanyalah mekanisme teknis sedangkan keterpurukan yang timbul buah dari diterapkannya sistem demokrasi yang mengakar kuat. Beberapa pergerakan juga mengindera, bahwa masalah negeri saat ini bukanlah sekedar masalah dibutuhkannya pemimpin yang amanah tetapi juga butuh sistem yang amanah.
 
Di Dunia ini ada macam-macam negara yang sistem kenegaraannya mengerucut pada tiga jenis yaitu sistem demokrasi, sistem teokrasi, sistem khilafah. Sistem demokrasi pada hakekatanya meletakkan hak membuat hukum ditangan manusia, artinya hukum dibuat oleh perwakilan rakyat (parlemen). Sedang dalam sistem teokrasi hukum dibuat oleh manusia dengan dalih mengatasnamakan tuhan namun esensinya hukum tetap dibuat oleh akal manusia. Berbeda dengan sistem Khilafah yang bukan demokrasi dan juga bukan teokrasi, karena Khilafah merupakan sistem Islam yang meletakkan hak pembuat hukum adalah Allah SWT, manusia hanya sebagai pelaksana hukum Allah bukan sebagai pembuat hukum.
 
Sistem demokrasi sejak awal telah dipaksa dan diadopsi oleh negeri ini. Dengan pandangan yang mendalam dan teliti realitas berupa kerusuhan, keterpurukan, penipuan, penjajahan dan kejahatan sosial bermuara pada kedaulatan ditangan rakyat (demorkasi). Tahun politik ini harusnya negeri perlu berani mengadakan langkah besar untuk membuka lembaran baru dalam pergantian sistem yang benar.
 
Sistem Khilafah bukanlah sistem buatan manusia melainkan sistem shahih buatan Allah. Sistem Islam bukan khayalan karena pernah diterapkan dan terbukti mampu mengentaskan kemiskinan dan memberikan kesejahteraan, menutup rapat-rapat pintu penjajahan, melindungi dan menjamin hak-hak warga negera baik muslim dan non muslim. Selayaknya manusia kembali berpikir untuk hidup pada taat kepada Sang Pencipta secara totalitas dengan menerapkan hukum Allah SWT.
 
Pemilu telah di depan mata, termasuk tipe rakyat yang seperti apakah anda? Yang jelas Allah menciptakan manusia di dunia ini bukan tanpa tujuan melain bertujuan untuk beribadah kepada Allah SWT. Pemilihan umum adalah hak artinya boleh diambil dan boleh juga tidak, dan setiap pilihan akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah SWT.
من المقطوع: http://politik.kompasiana.com/2014/04/11/tipe-rakyat-menentukan-pilihannya-646709.html
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: