[Wanted] Partai Politik yang Mau Berkoalisi dengan Rakyat

Author : Anwar Santoso | Wednesday, April 23, 2014 10:46 WIB

OK, pemilu legislatif telah rampung. Tenda telah digulung. Kursi sudah diusung. Dan suara telah dihitung. Apa hasilnya? Partai mana yang jadi juara? Partai mana yang merajai Indonesia? Dan hasilnya adalah tak ada satu pun parpol yang memperoleh suara signifikan. Tak ada yang punya cukup suara untuk mengusung capres mereka. Ini adalah hasil dari penghitungan suara pemilu legislatif 2014. Dengan kenyataan tersebut, tak ada parpol yang mencapai presidential threshold (PT) atau syarat minimal untuk mengajukan capres.

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”

Pasal 9 UU No 42 tahun 2008

Sesuai Pasal 9 UU No 42 tahun 2008 tentang Pilpres, capres harus diusung parpol atau gabungan parpol yang memperoleh paling tidak 25 persen suara sah nasional atau 20 persen dari jumlah kursi DPR. Mari kita lihat keadaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). PDIP memenangkan pileg dengan mengantongi suara sekitar 19 persen. Dan ini belumlah cukup. Keadaan ini bisa berubah jika PDIP menggandeng partai lain untuk mengusung capres. Dan partai itu adalah NasDem.

Perkembangan paling aktual, Partai NasDem makin mantap bergabung dengan PDIP untuk mengusung capres Jokowi. Hampir dipastikan, kalaupun PDIP hanya menggandeng NasDem, posisinya tetap aman untuk mengajukan capres karena gabungan perolehan suara dua parpol tersebut sangat signifikan, melebihi 25 persen. Mereka tinggal mematangkan siapa yang bakal menempati cawapres.

Langkah lain diambil oleh Gerindra. Setelah usaha keras yang mereka lakukan saat kampanye. Partai Gerindra menempati posisi ketiga perolehan suara pileg. Gerindra yang perolehan suaranya hampir 12 persen, tak cukup bila hanya menggandeng satu partai. Kurang. Butuh lebih dari satu partai untuk memperkuat posisi Gerindra. Partai mana sajakah yang kemungkinan akan berkoalisi dengan Gerindra?

Bagaimana jika PPP berkoalisi dengan Gerindra?. Kalaupun PPP bergabung dengan Gerindra dan mendukung pencapresan Prabowo Subianto—meski masih ditentang internal PPP—suaranya tetap belum signifikan, sehingga harus menggandeng partai lain, seperti Partai Demokrat. Dan ini akan menjadi PR yang sulit bagi Gerindra. Menyatukan visi 3 buah partai adalah hal yang sulit. Karena setiap partai memiliki agenda sendiri. Dan Golkar yang menyabet juara dua, harus pula menggalang koalisi untuk mengajukan capres/cawapres.

Ada hal menarik yang terjadi saat kita fokus terhadap hal kecil. Hitung-hitung di atas kertas, parpol berbasis massa Islam seperti PKB, PPP, PAN, PKS dan PBB, bila bergabung akan menghasilkan suara lebih dari 30 persen. Ini menarik karena ada kesempatan muncul pemain kuat di pilpres mendatang.

Hanya saja, persoalannya tak sekedar gabung-menggabung. Persoalan yang terjadi adalah kebingungan. Siapa yang akan kita ajukan sebagai capres jagoan kita? Persoalan yang terkait dengan figur yang hendak diusung akan menghantui koalisi mereka. Egoisme parpol nampaknya masih sangat kental dalam rangka mengusung capres. Sulit untuk untuk mengajukan figur yang berasal dari parpol koalisi. Sehinga harus mengambil figur dari luar parpol koalisi namun diterima semua pihak. Ini bukanlah soal gampang dan tampaknya sulit terealisasi.

Ada satu lagi koalisi yang mungkin tidak terpikirkan oleh para elit parpol. Yaitu adalah koalisi dengan rakyat. Ketika elite parpol sibuk membahas “OK, kita harus koalisi dengan partai mana nih”. Apakah rakyat pernah menjadi sebuah opsi? Harus diakui, tahap pertama “ritual politik” untuk menggaet suara rakyat telah usai (pileg). Ketika suara rakyat telah dikumpul dan dihitung. Untuk sementara rakyat ditinggalkan, bahkan tidak diajak berembug soal koalisi. Koalisi pun hanya menjadi isu elitis.

Para parpol saling berkoalisi dan berembug. Kemudian menyusun paket capres/cawapres yang kemudian ditawarkan kepada rakyat. Ibaratnya, rakyat tinggal memilih bahan jadi, dan mereka tidak dilibatkan dalam proses peracikannya. Setelah paket ditetapkan, barulah suara rakyat dibutuhkan lagi.

Pemilihan presiden (pilpres) dilaksanakan secara langsung. Dan itu adalah suatu hal yang sangat bagus. Namun prosesnya (mulai dari proses pemilihan calon)tidak dilaksanakan langsung. Parpol memilih capres dan cawapres yang mereka sukai. Kemudian membuatnya menjadi satu buah paket. Dan menyodorkannya kepada rakyat. Ada kekurangan dalam metode ini. Yaitu, bila paket capres/cawapres tak sesuai keinginan rakyat, akan mempengaruhi partisipasi dalam pemberian suaranya nanti.

Dalam pemikiran saya, kondisi paling ideal adalah koalisi dengan rakyat. Dan hal ini sulit dicapai. Karena mekanisme pencapresan sudah diatur secara rigid melalui UU Pilpres, maka koalisi rakyat hanya terbatas saat pemungutan suara, bukan pada proses pencalonan. Dan satu hal lagi, koalisi dengan rakyat akan memakan banyak waktu, tenaga, dan biaya. Hal itu akan menimbulkan permasalah lain. Apa tidak ada yang bisa kita lakukan lagi? Manusia berusaha dan Allah berkehendak. Yang harus kita lakukan sekarang adalah berdoa. Memohon dengan tulus kepada Allah agar kita diberi pemimpin yang baik. Saya yakin dengan usaha maksimal dan doa yang tulus hal itu dapat dicapai.

من المقطوع: http://politik.kompasiana.com
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: