Jakarta - Tema besar dalam pameran seni rupa Manifesto keempat yang diselenggarakan di Galeri Nasional, Jakarta, 20 Mei hingga 7 Juni 2014 ini mengangkat tentang keseharian. Dalam pemaparan salah satu kurator, Asikin Hasan, disebutkan bahwa tema ini berkaitan dengan syarat pameran bagi para peserta yang berusia di bawah 35 tahun.
Generasi 35 tahun ke bawah, atau mereka yang mewakili generasi muda tengah berada di bawah bayang-bayang dunia maya, dunia serba cepat dan instan. Artinya pameran ini juga mengajak para pameris untuk melihat kembali konteks zaman dan hidup mereka untuk kemudian membuahkan karya seni.
"Masa kini adalah dimana sebuah generasi diliputi oleh dunia maya selebar layar komputer atau selebar layar ponsel di genggaman tangan," kata Asikin Hasan, (20/05/2014) di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat.
Ia memaparkan bahwa masyarakat sekarang adalah masyarakat post-industri, masa ketika dunia ditentukan oleh jejaring informasi. Pertanyaannya, bila semua berjalan dalam laju yang cepat, apa kita sebagai manusia masih sempat membekukan waktu sesaat demi melihat kembali jejak hidup beserta sistem yang melaluinya?
"Perenungan atas nilai-nilai besar, terkabut oleh peradaban serba cepat masa kini. Dari budaya masa kini kita segera melihat kesementaraan dan banalitas," ujar Asikin. Dari situ para kurator mengajak seniman peserta pameran dan masyarakat penikmatnya untuk mencandra. "Mencandra adalah sebuah kata yang kami sepakati untuk menandai keseharian sebagai tema besar dalam pameran ini," jelasnya.
Mencandra dari kamus Bahasa Indonesia artinya ini adakah pekerjaan mengurai, memetakan dan memahami. Asikin beserta tim kurator yakni, Rizki A. Zaelani, Jim Supangkat dan A. Rikrik Kusmara memaknai ini sebagai upaya mengenal dan menerima keadaan sekaligus memahami posisi diri dalam situasi tertentu.
Dalam keseharian, rutinitas bukanlah suatu yang asing. Paradoks datang dan pergi juga bisa dibilang hampir pasti untuk kerap dilalui. "Agar terhindar dari kekacauan sedimentasi yang rutin semacam itu, seseorang musti keluar dan berjarak dari hal itu. Meraih pengalaman untuk bisa menyegaran kembali eksistensi diri," tutur Asikin.
Asikin melanjutkan bahwa mencandra keseharian dalam praktek seni rupa bisa menunjukan perubahan tema-tema yang dihadapi, tetapi juga menunjukan perubahan idiom dan medium ekspresi baru yang muncul sebagai altenatif pilihan dalam berekspresi.
"Semangat mencandra keseharian dalam pameran ini tidak sama dengan usaha untuk melaporkan kejadian keseharian yang dialami tiap seniman. Tapi mengemas ulang pengalaman dan kejadian sehari-sehari dengan kesadaran untuk menilai dan menunjukan kaitannya pada keadaan diri masing-masing," tambahnya.
Dalam tiap sejarah pemikiran, apa yang diajarkan adalah untuk merespons, melihat dengan kacamata kritis tanpa harus menjadi hakim. Mungkin ini pula gagasan yang coba ditularkan kepada para pameris, kepada para perespon karya dan dunia seni Indonesia.