Benjamin Tan Boon Chuan dan Sadikin Pard melukis tanpa tangan
LENSAINDONESIA.COM: Cacat fisik bukan menjadi penghalang bagi pelukis tuna daksa asal Singapura Benjamin Tan Boon Chuan dan Sadikin Pard, asal Malang untuk terus menghasilkan karya-karya seni rupa.
Dua pelukis tuna daksa itu mampu menghasilkan karya lukis nan apik. Meski harus melukis dengan kaki dan mulut, hasil goresan cat minyak diatas kanvas mereka tidak kalah dengan pelukis pada umumnya.
Bakat melukis Benjamin Tan Boon Chuan dan Sadikin itu pun menjadi pusat perhatian pengunjung Pasar Seni Lukis Indonesia (PSLI) ke-6 di JX International, Surabaya, kemarin.
Di salah satu stan PSLI, Benjamin dan Sadikin berkolaborasi melukis “Masjid Agung yang dibangun di tengah birunya air laut”. Benjamin Tan Boon Chuan melukis menggunakan kaki dan mulut, sedangkan Sadikin, yang terlahir tanpa kedua tangan ini memanfaatkan jari kakinya untuk menggoreskan kuas.
Pria asal Malang, Jawa Timur berusia 47 tahun ini terlihat sangat terampil menggerakan kaki kanannya lalu menggoreskan akrilik pada kanvas. Kubah masjid dalam tema lukisannya itupun begitu cepat diselesaikan. Duduk berjajar, Benjamin juga menyelesaikan lukisan di bagian sampingnya. Meski memiliki kaki, pria asal Singapura ini justru memanfaatkan mulutnya untuk mengapit kuas.
Untuk memudahkan gerakan kuas, Ia pun membuat sebuah alat yang berfungsi sebagai gagang kuas. “Ini buat sendiri. Dibuat panjang supaya lebih enak dan cepat dalam bergerak,” kata Sadikin.
Sadikin yang aktif melukis sejak TK ini begitu memahami kekurangan dan kelebihan Benjamin, sebagai patnernya. “Meski sedikit memiliki gangguan mental, kemampuan beliau (Benjamin) dalam imajinasi dan motoriknya sangatlah luar biasa,” tuturnya. Bahkan, imajinasi bangunan masjid di tengah laut inipun tertuang dari imajinasi Benjamin. Bagi mereka, tidak butuh waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan lukisan meski menggunakan mulut dan kaki.
“Sebenarnya sama saja. Melukis dengan tangan itukan karena dibiasakan sejak kecil. Nah, karena saya tak punya tangan, jadinya ya biasa melukis dengan kaki,” kata Sadikin.
Beruntung mereka tidak berperan sendiri dalam mempromosikan karyanya. Karena sudah ada komunitas yang mengurusnya. Mereka adalah bagian dari Association of Mouth and Foot Painting Artist (Amfpa). “Jadi hasil karya kita langsung masuk galeri Amfpa. Dari situlah kami dapat salary,” tuturnya.
Dalam ajang PSLI 2013, Sadikin menargetkan bisa menjajakan karya hingga 25 lukisan. “Tahun lalu, saya sudah pernah ikutan ajang ini. Tapi sendiri, dan laku 20 lukisan,” urainya.
Selain kolaborasi Sadikin dan Benjamin. Sedikitnya ada 150 stan yang memenuhi JX International yang siap menampilkan goresan hingga 12 Mei. Berbeda dengan PSLI sebelumnya, PSLI 2013 memiliki gaya berbeda. Yakni menggabungkan olahraga dan kesenian.
“Dengan menggandeng Kemenpora, kami juga menghelat acara lomba lukis catur,” kata Ketua Panitia PSLI M. Anis.
Pada 2012, penyelenggaraan PSLI mampu mengumpulkan perolehan hingga Rp1,9 miliar. “Tahun ini, kami menargetkan perolehan hingga Rp9 miliar,” ujarnya.
Melihat geliat seniman serta karya lukis yang ada, Wakil Gunernur Jawa Timur Saifullah Yusuf (Gus Ipul) yang yang membuka PSLI 2013 mengaku takjub. “Ini merupakan kegiatan yang positif. Karena ternyata bukan hanya di Bali atau Yogyakarta saja yang menjadi denyut para seniman,” tuturnya.
@dhimasprasaja
sumber : lensaindonesia