Pada Mulanya Kata, Pada Akhirnya Sketsa

Author : Administrator | Monday, November 14, 2016 | Koran Tempo -

Apa yang ada di kepala seorang penulis tidak semuanya bisa diwakili oleh esai atau puisi. Meski Goenawan Mohamad adalah penulis yang lengkap—dia menulis berita, esai, dan juga banyak puisi—ada hal-hal yang tidak bisa dia ungkapkan melalui kata. Karena itu, Goenawan mencoba untuk menuangkan sebagian imaji dalam kepalanya pada sketsa.

Sudah beberapa tahun terakhir Goenawan menggambar sketsa. Tapi sebagian sketsa itu ia simpan sendiri. Sebagian lagi dia tampilkan dalam buku-buku puisinya. Jumat lalu, di Pelataran Djoko Pekik, Yogyakarta, Goenawan memberanikan diri memamerkan 80 sketsanya. Terlepas dari karya tulisnya.

Dia tak menampik bahwa keberaniannya ini dipicu juga oleh sejumlah penulis yang mulai memamerkan karya seni rupanya, seperti Nirwan Dewanto. "Saya mulai berpikir untuk membuat pameran saat Nirwan memamerkan karyanya di Kemang," kata Goenawan, yang malam itu memakai baju hitam yang dijahit sendiri oleh Pekik. 

Pada Agustus lalu, Nirwan memamerkan coretannya—dari tulisan tangan puisinya hingga sketsanya—di Galeri dia-lo-gue, Kemang, Jakarta Selatan, bersamaan dengan peluncuran bukunya, Satu Setengah Mata-mata.

Meski dalam pameran ini sketsa tampil sebagai sebuah karya seni rupa, bukan bagian dari karya kepenyairan Goenawan, orang tak bisa melupakan keterkaitan kata dan Goenawan. "Saya datang lebih pagi untuk mencari sketsa yang ada kutipan puisinya, tapi semua tampaknya sudah diberi stiker merah," kata kolektor lukisan, Oei Hong Djien, yang malam itu membuka pameran Goenawan bertajuk "Petikan" tersebut. Stiker merah pada sebuah pameran seni rupa adalah tanda bahwa karya tersebut sudah terjual.

Sejumlah sketsa Goenawan memang belum bisa lepas dari dunia kata-kata. Goenawan menggambar sejumlah penyair, seperti Charles Baudelaire, Anna Akhmatova, Frederico Garcia Lorca, dan Chairil Anwar. Yang terakhir adalah penyair yang puisinya paling banyak dikutip oleh Goenawan dalam sketsa-sketsanya.

Sejumlah sketsa adalah imaji langsung dari puisi-puisi itu, seperti gambar seekor angsa di atas kutipan bait kelima puisi Baudelaire untuk Victor Hugo berjudul Le Cygne (Angsa). Tapi, lebih banyak sketsa-sketsa itu berupa kesan yang tumbuh di kepala Goenawan pada puisi atau potongan puisi. 

Kita mungkin bertanya-tanya mengapa "Tjintaku djauh di pulau" dari Chairil digambarkan dengan seorang wanita cantik yang memakai satu sepatu stiletto jingga, terkurung dalam penjara (atau setidaknya tampak demikian karena hanya ada jendela kecil berterali di dindingnya). Padahal puisi itu sama sekali tidak bicara tentang penjara. Memang, ada perasaan keterasingan di sana, dan mungkin hal itulah yang muncul di pikiran Goenawan.

Hal semacam ini tidak hanya muncul pada sketsa yang muncul dari puisi, tapi juga sketsa lainnya. Misalnya, saat menggambar ayam (Ayam I, II, dan III), Goenawan selalu menggambar senjata api di dekatnya. Hanya penggambarnya yang tahu keterkaitan antara ayam dan senjata api. 

Hal yang sama terjadi saat dia menggambar kota-kota. "Jangan membayangkan sketsa tentang kota dari perjalanan GM adalah gambaran tentang kota itu. Itu sebenarnya adalah imaji yang muncul dari memori tentang sebuah kota yang mengendap dalam kepala GM," kata Sitok Srengenge, kurator pameran tersebut. Sitok, yang penyair, kini juga mulai merambah dunia seni rupa. Tahun depan dia berencana memamerkan lukisannya.

Sitok ingin mengatakan bahwa dalam sketsa kota-kota di Eropa, Goenawan tidak sedang menggambar kota, melainkan mengekspresikan kenangannya—yang mungkin bercampur dengan banyak hal lain di kepalanya—tentang suatu kota. Ketika menggambar obyek-obyek di sekitarnya—seperti sepeda motor—yang muncul adalah kenangannya tentang obyek tersebut. Goenawan tidak sedang meniru realitas sehingga sketsa-sketsanya terasa orisinal.

Sketsa Goenawan bukanlah karya yang lengkap. Kadang hanya potongan-potongan tertentu dari sebuah obyek. "Sketsa, seperti juga puisi dan esai, bukan sarana untuk menyatakan kebenaran atau memberikan jawaban," kata Sitok. Karena itu, sketsa Goenawan bukanlah karya yang rampung. Dan mungkin karena itu pulalah pameran ini bertajuk "Petikan".

من المقطوع: http://koran.tempo.co/konten/2016/11/14/408175/Pada-Mulanya-Kata-Pada-Akhirnya-Sketsa
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: