Ratapan dalam bahasa Sentani, Papua, diistilahkan sebagai rimeahili atau remahili. Tema inilah yang diangkat dua perupa muda Papua (Albertho Wanma dan Ignasius Dicky Takndare) dalam pameran seni rupa di Bentara Budaya Yogyakarta, 15-23 Oktober 2016.
Ratapan yang diusung dua perupa ini barangkali merupakan representasi atas segala macam kejadian tidak mengenakkan yang sering terjadi di Papua. Baik itu kekerasan, pelanggaran HAM, eksploitasi kekayaan alam, dan lain-lain. Ratapan yang diusung dalam karya rupa ini barangkali pula merupakan contoh kecil dari sebuah gunung es persoalan yang terjadi di Papua.
Di daerah asalnya remahili didendangkan ketika terjadi musibah atau jika orang Sentani sedang berduka mendalam karena kehilangan salah satu anggota keluarganya. Dalam kondisi demikian mereka akan bersenandung dengan kata-kata yang keluar begitu saja, seperti setengah berbicara sekaligus setengah bernyanyi dengan nada-nada yang cenderung monoton. Kadang disertai juga dengan tangisan sejadi-jadinya saat meratap. Kadang ada pula yang meratap sambil menari dan terus melantunkan dukanya dengan menjerit histeris.
Sekalipun ada rasa yang amat sedih, namun di dalamnya tampak pula spiritualitas kepada Sang Maha Pencipta serta harapan akan masa depan yang lebih cerah. Seperti diketahui bahwa masyarakat Melanesia dalam kehidupannya diliputi oleh rasa spiritualitas yang tinggi. Hal itu dapat dilihat dalam dua bagian, yakni spiritualitas rohaniah dan jasmaniah. Spiritualitas jasmaniah ini dapat dilihat dari kesenian dan kebudayaan di setiap suku dengan memiliki semangat berdansa (menari) yang kental di wilayah Melanesia. Pada sisi ini berdansa sambil bernyanyi merupakan ungkapan/ekspresi perasaan yang terpendam dalam lubuk hati mereka.
Papua merupakan wilayah yang amat luas, pulau terbesar di Indonesia dan terbesar kedua di dunia setelah Greenland. Pulau ini juga memiliki kandungan kekayaan alam yang sangat besar. Semua orang yang mengasihi pulau yang luar biasa ini tentu tidak ingin melihat wilayah ini larut dalam segala polemiknya. Bertho dan Dicky sebagai perupa tergerak untuk menawarkan gagasan atau pemikiran melalui karya-karya seni mereka sebagai salah satu upaya untuk memahami dan bukan antipati atau apatis terhadapnya. Hal ini menjadi daya tawar yang sehat untuk memahami remahili Papua melalui karya-karya mereka.
Albertho dan Dicky sadar untuk mengambil bagian persoalan kemanusiaan. Jika kita masih merasa sebagai manusia, yang benar-benar manusia, maka empati dan kesadaran akan kemanusiaan senantiasa memantik diri untuk memiliki rasa yang merasakan dan rasa yang dirasakan. Demikian salah satu ulasan Andre Tanama dalam kuratorialnya atas pameran ini.