BANDA ACEH (netralitas.com) - M Yasir akan mewakili Provinsi Aceh pada Pameran Seni Rupa Nusantara 2017 yang diselenggarakan Galeri Nasional Indonesia di Jakarta, 7-27 Maret mendatang.
Kegiatan dua tahunan ini (biennale) mengusung tema “REST AREA-Perupa Membaca Indonesia” dan akan berlansung di Galeri Nasional Nusantara, Jl Merdeka Timur, Jakarta Pusat.
Yasir dinyatakan lolos seleksi oleh panitia 25 Februari lalu setelah mengirimkan karyanya berjudul “Semesta Takdir”. Yasir mengatakan dirinya sangat senang karena dinyatakan lolos oleh panitia penyelenggara. Pasalnya event ini merupakan ajang yang ditunggu-tunggu oleh seniman di Indonesia. Pameran ini diikuti oleh 100 orang perupa seluruh Indonesia.
“Saya merasa bangga sekaligus terkejut. Karena dahulu saya hanya bisa melihat senior-senior (di kampus) nama mereka dinyatakan lolos dan terpampang di mading. Alhamdulillah saya mencoba hanya sekali dan dinyatakan lolos. Bangga bisa mewakili Aceh,” kata Yasir kepada netralitas.com di Banda Aceh, Jumat (3/3).
Yasir menuturkan, alasannya memilih judul “Semesta Takdir” pada karya tersebut karena melihat dan menilai saat ini sering munculnya sentimen-sentimen perpencahan yang terus meluas di Indonesia. Menurutnya, segela perbedaan-perbedaan yang ada merupakan takdir yang sudah diberikan yang maha kuasa dan harus disyukuri.
Baca juga: Yasir dan Keniscayaan
“Banyaknya hal-hal yang kita temui sekarang tentang isu perpecahan melalui perbedaan. Contohnya mengihina orang yang tidak sama dengan kita. Seperti menghina suku, warna kulit bahkan akhir-akhir ini sempat menghina kepercayaan (agama) orang lain,” terangnya.
Menurutnya, perbedaan itu sudah digariskan dan sudah ditakdirkan oleh sang pencipta. Oleh sebab itu, sudah seharusnya setiap orang saling menghormati satu sama lain. Namun nilai-nilai toleransi antara sesama mulai tergerus dan luntur.
“Akhir-akhir ini itulah yang sering terjadi. Makanya saya menganggakat judul semesta takdir. Artinya semesta ini sudah ditakdirkan bagi kita untuk tercipta berbeda,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, kendala yang dihadapi dalam pembuatan karya ini ada pada bahan-bahan melukis, terutama cat yang susah didapat dan waktu yang sedikit di tengah aktivitasnya yang padat. Bahkan, untuk mencari cat uang sesuai dirinya harus miminta temannya di laur Aceh untuk mengirmkannya. Meskipun karyanya dinyatakan lolos, namun ia menganggap hasil belum memuaskan dan maksimal.
Baca juga: Perupa Muda Berkarya untuk Korban Gempa
“Tempat saya tinggal (Aceh Singkil) tidak ada yang menjual cat dan kanvas. Bahkan di Banda Aceh pun sulit menemukan bahan yang sesuai. Pengerjaanya tidak lebih dari satu bulan setengah. Penggarapan karya itu tidak maksimal kalau hanya dengan waktu sebulan setengah,” jelasnya.
Ia menambahkan, meskipun sudah beberapa kali mengikuti pameran tingkat provinsi dan nasional, menurutnya hal itu tidak perlu dan terlalu dibangga-banggakan, serta membuatnya jumawa dan besar kepala. Setiap dinyatakan lolos, bersyukur adalah hal yang paling utama ia lakukan.
“Saya terus berupaya memperbaharui informasi tentang seni rupa ini. Karena itu bukan untuk dibangga-banggakan. Apalagi Aceh termasuk daerah yang tertinggal di bidang seni rupa, khususnya lukis,” pungkasnya.
Dia menilai saat ini perkembangan sini rupa di Aceh masih tergolong rendah, ini telihat dengan partisipasi seniman asal Aceh yang sangat minim untuk mengikuti even pameran seni rupa tingkat nasional.
“Makanya saya bingung, apakah peserta dari Aceh banyak yang tidak ikut pameran di nasional atau tidak mendapatkan informasi? Untuk pameran nasional nusatara kali ini, setahu saya, saya cuma yang lolos,” sebutnya.
Sejauh melihat perkembangan seni rupa di Aceh, sambungnya, salah satu faktor yang membuat minimnya generasi muda untuk berkecimpung di dunia seni rupa kerena kurangnya informasi tentang jurusan seni bagi siswa untuk melanjutkan kuliah. Ketika ada siswa yang berbakat di bidang seni, rata-rata mereka memilih jurusan tidak sesuai dengan bakatnya.
“Saya perhatikan ketika kuliah, hampir tidak ada mahasiswa Aceh yang mengambil jurusan seni rupa. Waktu saya mengikuti pemeran seni rupa se-Aceh, pesertanya rata-rata belajar otodidak. Mereka tidak memiliki latar belakang seni. Pada intinya penyebaran informasi tentang seni rupa di Aceh memang sangat kurang,” tambahnya.
Ia mengungkapkan, dukungan yang diberikan pemerintah untuk perkembangan seni rupa saat inimasih minim. Akan tetapi sudah kabupaten/kota yang mulai memberikan perhatian serius terhadapa perkembangan dunia seni rupa.
“Khusus tempat saya tinggal, Aceh Singkil, bisa dikatakan nol. Karena beberapa kali mengajukan proposal dan silaturahmi ke dinas terkait, respon dan tanggapannya tidak memuaskan. Bahkan Kepala Bidang Seni Rupa tidak tahu apa itu seni rupa,” imbuhnya.
Ia meyakini, meskipun Aceh saat ini tertinggal dengan provinsi-provinsi lain di bidang seni rupa, lambat laun akan bisa mengejarnya. Karena menurutnya potensi-potensi generasi muda yang ada Aceh sangat banyak yang memiliki bakat bahkan hingga di pelosok-pelosok daerah.
Penulis : Murti Ali Lingga
Editor : Henri Loedji (henriloedji@netralitas.com)