Surabaya (ANTARA News) - Kulit pisang kerap dibuang begitu saja di sembarang tempat. Jika dibuang sembarangan, maka kulit pisang bisa membuat orang tergelincir.
Namun, tiga mahasiswa biologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya setelah melakukan serangkaian penelitian menemukan hasil bahwa kulit pisang tidak bisa dianggap remeh.
"Kulit pisang yang sering dianggap barang tak berharga itu, ternyata memiliki kandungan vitamin C, B, kalsium, protein, dan juga lemak yang cukup," kata Sulfahri, salah seorang dari tiga peneliti itu.
Melihat kandungan zat bermanfaat yang cukup tinggi itu, maka ia bersama dua rekan pun mencoba membuat penganan dari bahan kulit pisang itu.
"Semula, kami hanya memproduksi keripik kulit pisang, namun lama-kelamaan timbul ide untuk membuat tepung dari kulit pisang," katanya.
Mahasiswa angkatan 2007 itu mengatakan tepung pisang itu akhirnya digunakan sebagai bahan baku kue bolu. Meski berkali-kali gagal, namun akhirnya mereka menemukan formula yang pas untuk membuat bolu dari kulit pisang.
"Kalau dihitung lebih dari 50 kali, namun kami sekarang sudah puas dengan resep bolu yang kami miliki," katanya.
Kulit pisang yang cocok dibuat tepung adalah jenis pisang raja, karena kulit pisang raja lebih tebal dibandingkan jenis pisang lainnya.
Karya Sulfahri dan dua rekannya itu merupakan salah satu karya inovatif yang terpilih dalam penyaringan untuk "Biological Opus Fair" yang digelar di Plaza dr Angka ITS Surabaya pada 17 dan 18 April 2008.
Delapan produk inovatif yang dipamerkan adalah karya bertajuk "Pemanfaatan Kulit Buah Pisang Raja (musa paradisiaca sapientum) sebagai Bahan Dasar Pembuatan Kue Bolu" (karya Sulfahri dari Jurusan Biologi ITS Surabaya), dan "Water Electric Light Trap (WEL-T) sebagai Pengganti Pestisida dalam Upaya Peningatan Produksi Pangan yang Ramah Lingkungan" (karya Resti Afiandinie dari Jurusan Teknik Kimia ITS).
Karya lain adalah "Pendayagunaan Talok (Muntingia calabura Linn) sebagai Salah Satu Sumber Alternatif Baru dalam Dunia Pangan" (Fitri Linda Sari dari Universitas Muhammadiyah Malang), kemudian "Potensi Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.) sebagai Alternatif Bahan Pangan (Upaya Menggali Potensi Pangan Lokal)" (Riana Dyah Suryaningrum dari Universitas Muhammadiyah Malang).
Disamping itu terdapat karya lain, seperti "Konversi Limbah Padat Menjadi Produk Ramah Lingkungan" (Sulistiono Ningsih dari Jurusan Biologi di Universitas Jember), "Pemanfaatan Mikroalga (Fitoplankton) sebagai Subtitusi Sumber Bahan Bakar Premium" (Abdul Azis Jaziri dari Jurusan Perikanan di Universitas Brawijaya Malang), "Diversifikasi Dioscorea Flour sebagai Sumber Alternatif Pangan" (Zainal Arifin dari Jurusan Biologi ITS Surabaya), kemudian "Pemanfaatan buah dan daun cersen/talok sebagai keripik dan dodol" (Ria Hayati dari Jurusan Biologi ITS Surabaya).
Tidak berbeda dengan Sulfahri, Zaenal Arifin juga mencoba membuat diversifikasi pangan dari bahan umbi uwi.
"Umbi yang bernama latin dioscorea alata itu ternyata dapat menjadi bahan pangan yang aman bagi penderita diabetes. Kadar gula uwi itu rendah, tapi karbohidratnya tinggi," kata mahasiswa jurusan Biologi ITS itu.
Pengolahan uwi menjadi tepung itu pun tidak memerlukan proses yang rumit, bahkan cukup menggunakan metode tradisional.
"Saya buat dari dua macam uwi, uwi putih dan juga uwi ungu yang sama-sama berkadar gula rendah. Uwi diparut kasar, kemudian direndam dengan air kapur untuk memisahkan parutan dengan getahnya. Air getah uwi itu bisa untuk pestisida yang ramah lingkungan," ucapnya.
Parutan yang sudah dikeringkan, katanya, dapat langsung diolah menjadi tepung. "Tepung dari uwi ini dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai macam penganan, seperti kue dan mie. Rasa tepungnya sendiri tawar, jadi gampang divariasikan," katanya.
Tidak hanya produk pangan, duo mahasiswa Teknik Kimia ITS Surabaya juga mengusung karya yang diberi nama WEL-T (Water Electric Light-Trap).
Jebakan untuk serangga di sawah itu hanya memerlukan waktu penggarapan satu minggu saja. "Ide awalnya dari raket nyamuk," papar Achmad Ferdiansyah, didampingi rekannya, Resti Afiandinie.
Metode raket nyamuk itu digabungkan dengan alat tradisional untuk penangkap laron. Masyarakat sering menggunakan lampu minyak dan baskom air untuk menangkap serangga.
"Metode itu membahayakan dan juga kurang praktis, karena itu kami menggunakan lampu bersinar ungu sebagai pemikat serangganya. Pancaran panjang gelombang lampu ungu paling pendek, sehingga memikat mata serangga. Begitu terpikat cahaya, serangga akan terkena sengat dari kawat-kawat listrik itu dan akhirnya jatuh ke dalam bak air," katanya.
Menurut dia, WEL-T itu efektif untuk hama sundep. Di kalangan petani, hama sundep sangat merugikan karena proses reproduksinya sangat cepat dan menyerang tanaman padi.
"Pancaran sinar ungu itu beradius 800 meter, sehingga untuk lahan sawah seluas satu hektar membutuhkan 12 buah WEL-T, tapi jika dibanding dengan pestisida masih lebih hemat Rp300 ribu-a, karena biaya pembuatan hanya Rp190 ribu, apalagi WEL-T lebih ramah lingkungan," katanya.
Bukan hanya menarik dan murah, pameran produk inovatif mahasiswa se-Jatim itu juga akan mengangkat citra Indonesia, karena sebagian dari delapan karya inovatif yang terpilih akan mewakili Indonesia dalam entrepenuership di Jepang. (*)
Editor: Priyambodo RH