MALANG, Berifakta.com – Polarisasi di kalangan umat Islam di Indonesia semakin tajam, terutama disebabkan oleh tiga isu utama: politik dan hukum, kebebasan beragama, serta isu gender. Demikian pengantar yang disampaikan oleh Dr. Salahudin, MPA dalam kelas Multikulturalisme di Asia yang bertajuk “Polarization of Islam: Challenges of Democracy and Multiculturalism in Indonesia”. Kelas ini merupakan hasil kolaborasi antara Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan Eurasia Foundation dalam rangkaian Eurasia Lecture Series.
Polarisasi ini mencerminkan tantangan besar dalam mempertahankan kerukunan dan stabilitas nasional. “Perbedaan pandangan di kalangan umat Islam ini menunjukkan pentingnya penguatan kesadaran pluralisme di Indonesia, baik dalam beragama, berpolitik, berbangsa, maupun bernegara,” jelasnya.
Isu politik dan hukum menjadi pemicu utama dalam polarisasi tersebut. Di satu sisi, mayoritas umat Islam mengecam keras tindakan terorisme, menganggapnya sebagai kejahatan yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Namun, keputusan Prabowo Subianto untuk bergabung dalam Kabinet Jokowi menimbulkan reaksi negatif dari sebagian umat Islam yang memandang langkah ini sebagai bentuk pragmatisme politik yang mengkhianati pendukungnya. Selain itu, adanya kebijakan yang melarang jilbab di beberapa sekolah negeri turut menimbulkan gelombang penolakan di kalangan umat Islam, yang menganggap aturan ini sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak beragama.
Selain itu, kebebasan beragama menjadi isu sensitif lainnya. Kelompok Ahmadiyah dan Syiah, misalnya, masih dipandang negatif oleh mayoritas umat Islam. Dr. Salahudin menyampaikan bahwa sikap terhadap kedua kelompok ini menggambarkan adanya ketidaksepakatan dalam memahami keberagaman keagamaan. “Kita perlu lebih banyak ruang untuk dialog yang membangun kesadaran bahwa keberagaman adalah realitas yang harus diterima,” tegasnya.
Isu gender juga memainkan peran penting dalam mempengaruhi polarisasi. Meskipun dukungan terhadap kepemimpinan perempuan relatif tinggi, yang menunjukkan adanya perubahan dalam penerimaan kesetaraan gender, pandangan terkait RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) justru terpecah.
Sebagian umat Islam mendukung RUU ini sebagai upaya melindungi hak-hak korban, sementara yang lain merasa khawatir terhadap dampak RUU tersebut pada nilai-nilai agama. Polarisasi yang mencuat dari berbagai isu ini menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia masih membutuhkan penguatan pada aspek kelembagaan dan budaya demokrasi yang lebih inklusif. Dr. Salahudin menegaskan, “Jika tidak ditangani dengan baik, polarisasi ini dapat menimbulkan ancaman serius bagi stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi di masa depan.”