Diskusi MA RI bersama UMM soal hukum era digital (Foto: Humas UMM)
Malang (beritajatim.com) – Perbedaan penafsiran dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) semakin menjadi sorotan tajam.
Dalam upaya menyelesaikan masalah yang tak kunjung reda ini, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) bersama Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia memutuskan untuk mengambil langkah tegas: menyusun pedoman implementasi UU ITE dalam sebuah buku.
Diskusi ini bahkan melibatkan aparat kepolisian, kejaksaan, dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi. Ini bukan sekadar pertemuan biasa ini adalah langkah revolusioner.
Bambang Hery Mulyono, Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, tak segan mengakui bahwa pasal-pasal dalam UU ITE mulai dari versi 2008, 2016, hingga revisi terbaru 2024 kerap menjadi arena perdebatan sengit.
Bambang menegaskan bahwa pedoman implementasi sangat mendesak untuk menyelamatkan hukum Indonesia dari kerancuan yang berlarut.
“Penerapan pasal-pasal UU ITE masih sering multitafsir. Jika dibiarkan, ini akan terus menjadi bom waktu yang merugikan masyarakat. Pedoman adalah kunci untuk menghindari perbedaan penafsiran yang membingungkan,” ujar Bambang dengan penuh keyakinan.
Ketua Pengadilan Tinggi Bengkulu, Lilik Mulyadi, menyoroti tujuan besar dari pedoman ini menciptakan kesatuan dan konsistensi dalam penerapan hukum. Menurutnya, hakim butuh pegangan jelas untuk menentukan berat ringannya pidana.
“Keunikan tindak pidana UU ITE terletak pada penggunaan sarana informasi dan sistem elektronik. Ini jelas berbeda dengan kejahatan konvensional. Pedoman ini bukan hanya penting, tapi mendesak untuk mengatasi problematika penerapan hukum dari berbagai perspektif,” ungkap Lilik.
Seiring pesatnya transformasi digital, kejahatan berbasis teknologi menjadi ancaman nyata. Lilik menegaskan bahwa UU ITE adalah tameng utama dalam melawan ancaman ini. Namun, tanpa aturan yang jelas, tameng ini bisa menjadi pedang bermata dua.
“Kami di Mahkamah Agung tengah bekerja keras menyusun pedoman ini. Harapan kami, masukan dari aparat hukum lain dapat memperkaya dan menyempurnakan aturan yang ada. Tanpa itu, keadilan di dunia digital akan terus dipertanyakan,” kata Lilik tegas, pada diskusi yang berlangsung Rabu 26 November 2024 di UMM
Wakil Rektor I UMM, Prof. Akhsanul In’am, memberikan pesan mendalam yang menggugah. Ia menekankan bahwa hakim bukan hanya pelaksana hukum, tetapi juga penjaga moralitas.
“Hakim yang hanya mengejar jabatan adalah penyakit mematikan. Ingat, hakim adalah wakil Tuhan di bumi. Keputusan yang diambil haruslah mencerminkan keadilan sejati, bukan kepentingan pribadi atau kekuasaan,” tegas Prof. Akhsanul dengan nada penuh peringatan.
Kolaborasi strategis antara UMM dan Mahkamah Agung ini bukan sekadar upaya akademis, melainkan gerakan besar untuk memperbaiki wajah hukum Indonesia. Dengan pedoman yang jelas, multitafsir UU ITE dapat diatasi, dan keadilan di era digital bisa lebih terjamin. (dan/ted)