Dramatugi Pejabat Publik.

Author : Humas | Kamis, 23 Maret 2023 09:11 WIB | Bhirawa - Bhirawa

Oman Sukmana
Guru Besar Sosiologi, Ketua Prodi S2 dan S3 Sosilogi dan Dosen Prodi Kesejahteraan Sosial, FISIP-Universitas Muhammadiyah Malang

Di depan berwajah manis di belakang berwajah busuk, kira-kira seperti itulah gambaran perilaku pejabat publik di Indonesia. Sorotan atas perilaku pejabat publik kembali mencuat dan ramai dipergunjingkan masyarakat setelah terkuaknya jumlah harta kekayaan salah satu pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu yang bernama Rafael Alun Trisambodo (RAT) yang disinyalir tidak wajar. Selain soal jumlah harta kekayaan yang sangat fantastik, sorotan publik juga menguak soal gaya hidup hedonis di kalangan para pejabatn DJP.

Fenonema gaya hidup hedonis dan soal irasionalitas jumlah harta kekayaan pejabat publik dan keluarganya di Indonesia, khususnya pejabat di lingkungan DJP Kemenkeu sebenarnya merupakan persoalan klasik yang sudah diketahui dan sudah menjadi rahasia umum. Tatkala kasus jumlah harta kekayaan Rafael Alun Trisambodo (RAT) yang dinilai tidak wajar ini mencuat, maka muncul pula pernyataan dari ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana, yang menyebutkan bahwa sejak tahun 2012 pihak PPATK sebenarnya sudah melaporkan kecurigaan ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun selama ini disinyalir hingga kasus ini mencuat kembali, nampaknya masih belum ada penjelasan terkait tindakan atau respons nyata yang sudah dilakukan oleh pihak KPK. Baru setelah kasus RAT mencuat, KPK lantas mengambil langkah gerak cepat melakukan penyelidikan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani pun nampaknya juga seperti terkejut dan kemudian terlejut untuk melakukan tindakan gerak cepat pula dengan memberikan perintah untuk mengusut asal-usul harta kekayaan anak buahnya, serta meminta agar anak buahnya, para pejabat di DPJ dan keluarganya tidak berperilaku hedonis bergaya hidup mewah. Menleu juga memerintahkan agar klub Moge (Motor Gede) para pejabat DJP dibubarkan. Tercuat pula bahwa sekitar 40 persen lebih pegawai di lingkungan Kemenkeu termasuk di dalamnya pegawai DJP ternyata belum menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), lantas Menkeu Sri Mulyani pun memerintahkan dan memberikan deadline agar para pegawai di lingkungan DJP segera membuat LHKPN. Tercuat pula disinyalir terdapat sekitar Rp 300 Triliun transaksi keuangan yang dianggap tidak wajar.

Sikap dan tindakan yang dilakukan Menkeu sepertinya ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat terkejut atas perilaku hedonis anak buahnya. Namun sikap dan tindakan Menkeu tersebut justru menimbulkan tanda tanya dan keraguan di masyarakat apakah memang benar selama ini Menkeu tidak mengetahui persoalan seperti ini. Atau jangan-jangan ibaratnya Menkeu itu “Kura-Kura dalam perahu”, pura-pura tidak tahu, padahal sebenarnya sudah tahu sejak dahulu. Apabila memang Menkeu benar tidak mengetahui perilaku hedonis dan perilaku koruptif anak buahnya di DJP maka perlu pula dipertanyakan kinerja Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkeu RI dalam melakukan pengawasan. Padahal Itjen Kemenkeu memiliki tugas menyelenggarakan pengawasan internal atas pelaksanaan tugas para pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan, termasuk pegawai dan pejabat di lingkungan DJP.

Pun demikian dengan KPK, begitu kasus Rafael Alun Trisambodo (RAT) ini menggema di ranah publik maka pihak KPK pun mulai kebakaran jenggot. KPK mulai melakukan pengkajian dan penyelidikan atas harta kekayaan Rafael Alun Trisambodo (RAT) tersebut. Soal ketidakwajaran harta kekayaan para pejabat pajak di lingkungan DJP, nampaknya ada indikasi pihak KPK lesu untuk menyentuhnya.

Mempertontonkan Dramaturgi
Nampaknya para pejabat kita senang sekali berdramaturgi. Dramaturgi merupakan sebuah teori yang dikemukakan oleh Erving Goffman seorang sosiolog interaksi-simbolik yang cukup terkenal dalam kajian teori sosiologi (Ritzer, 2014).

Sebagaimana dijelaskan oleh Ritzer (2014) bahwa Erving Goffman menggambarkan kehidupan sosial dalam masyarakat ibarat sebuah panggung tempat menampilkan pentas drama atau seni teater. Perspektif teori dramaturgi menjelaskan tentang kondisi ketidakstabilan identitas manusia yang merupakan bagian dari kemandirian kejiwaan psikologi. Identitas manusia dapat berganti-ganti secara drastis tergantung situasi panggung dan lawan interaksinya. Disinilah letak inti dari teori ini, yakni bagaimana manusia dapat mengendalikan interaksi yang terjadi sesuai dengan konteks latar panggungnya. Pada pertunjukan drama biasanya terdapat aktor-aktor yang memainkan berbagai peran sesuai setting latar kejadian, alur dan jalan cerita yang akan dimainkan. Maka dalam kehidupan nyata pun demikian, manusia adalah aktor yang memainkan berbagai peran tergantung panggung, jalan cerita dan settingnya dihadapan audiens (public penonton).

Pendekatan dramaturgi Goffman mengikuti analogi teatrikal, dimana di dalamnya meliputi Panggung Depan (Front Stage) dan Panggung Belakang (Back Stage). Panggung Depan (Front Stage) merupakan bagian dari sebuah pertunjukan yang menggambarkan situasi yang sedang disaksikan oleh audiens (public). Sedangkan Panggung Belakang (Back Stage) merupakan bagian belakang layar dimana aktor melakukan berbagai persiapan, latihan, beristirahat, dan kegiatan lain yang biasa dilakukan oleh aktor untuk mendukung peran yang dimainkan diatas panggung. Dalam konteka panggung belakang (back stage) inilah para aktor drama melakukan sebuah kompromi dan negoasiasi terkait apa yang harus mereka tampilkan di panggung depan (front stage).

Selanjutnya Erving Goffman melalui teori Dramaturginya memberikan gambaran bahwa setiap individu manusia itu adalah merupakan actor dalam panggung kehidupan social. Perilaku actor baik perilaku terbuka (overt behavior) maupun perilaku tertutup (covert behavior) ditandai oleh adanya adanya ketidakstabilan identitas, artinya bahwa perilaku actor yang ditampikan di wilayah Panggung Depan (Front Stage) dan Panggung Belakang (Back Stage) bersifat kontradiktif. Intinya bahwa adalah bahwa perilaku yang ditampilkan di wilayah panggung depan (front stage) adalah perilaku pencintraan (kepalsuan) dan sedangkan perilaku yang ditampilkan di wilayah panggung belakang (back stage) adalah perilaku kenyataan.

Kita berharap dalam konteks kasus Rafael Alun Trisambodo (RAT) ini, Menkeu Sri Mulyani, KPK, dan para pejabat publik yang terkait tidak sedang memainkan sebuah dramaturgi, di hadapan public seolah garang tetapi di belakang public nampak curang. Oleh karena itu Menkeu Sri Mulyani, KPK, dan para pejabat public yang terkait harus konsisten dalam mengawal kasus ini. Sikap dan tindakan di ruang publik yang ingin membersihkan praktik-praktik culas para oknum pejabat di lingkungan DJP dan Menkeu harus sesuai dengan sikap dan tindakan di dilakukan di dalam institusi, agar kepercayaan sosial masyarakat khususnya dalam membayar pajak tidak menurun drastis.

Sumber: harianbhirawa.co.id/dramatugi-pejabat-publik/
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler