Memeringati Hari Sungai Nasional, 27 Juli 2022
oleh:
Rachmad K Dwi Susilo
Dosen Sosiologi Lingkungan, Sumber Daya Alam dan Kebencanaan pada FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Alumni Public Policy and Social Governance, Hosei University, Tokyo, Jepang.
Setiap 27 Juli bangsa Indonesia memeringati Hari Sungai Nasional, peringatan ini menjadi momen penting untuk mengingatkan kekayaan sumber daya alam di Indonesia tersebut. Kita melihat keberadaan sungai yang tersebar di kepulauan nusantara, seperti Sungai Kapuas, Pulau Kalimantan (Provinsi Kalimantan Barat), Sungai Mahakam, Pulau Kalimantan (Provinsi Kalimantan Timur), Sungai Barito, Pulau Kalimantan (Provinsi Kalimantan Tengah) dan Provinsi Kalimantan Selatan), Sungai Batanghari, Pulau Sumatera (Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Jambi), Sungai Musi, Pulau Sumatera (Provinsi Sumatera Selatan), Sungai Mamberamo, Pulau Papua (Provinsi Papua), Sungai Begawan Solo, Pulau Jawa (Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur), Sungai Digul (Pulau Papua), Sungai Indragiri, Pulau Sumatera (Provinsi Riau), Sungai Seruyan , Pulau Kalimantan (Kalimantan Tengah), Sungai Brantas di Pulau Jawa (Jawa Timur) dan sungai-sungai lain.
Selain itu, peringatan ini berkontribusi pada penyelamatan sungai sebagai sistem ekologi yang tidak kalah penting dibanding ekosistem yang lain. Ekosistem sungai terintegrasi dengan hutan, ladang, persawahan, biota air dan pemukiman manusia.
Setidak-tidaknya tiga fungsi penting yang dimainkan sungai yaitu fungsi ekologis, ekonomi dan sosial. Sungai menyuplai air baik untuk saluran air, sumber air dan anakan sungai. Pasokan air tersebut menyebabkan tanah-tanah subur yang akhirnya berimbas pada kehidupan manusia, flora dan fauna.
Dalam pemenuhan kebutuhan manusia, sungai menopang pertanian, perikanan, pembangkit listrik dan pariwisata. Katalog Sungai di Indonesia menjelaskan dari DAS Kali Brantas dibangunlah tujuh bendungan besar (Sutami, Selorejo, Bening, Lahar, Wlingi dan Sengguruh, Wonorejo), 3 bendung gerak (Lodoyo, Mrican, dan Lengkong Baru) serta beberapa bendung irigasi. Di antara bendungan-bendungan tersebut bendungan Sutami merupakan bendungan yang terbesar dan memiliki fungsi untuk keperluan irigasi, pengendalian banjir, dan PLTA.
Selain itu, dalam Masyarakat Jawa, sungai digunakan sebagai olah ritual. Di Semarang, Jawa Tengah, orang melakukan kungkum (berendam) di sungai Kali Garang supaya dirinya suci dan mendapat kekuatan batin untuk menjalani kehidupan di masa depan (Ninuk Kleden-Probonegoro, 2008).
Penandanaan wilayah tertentu di Jawa juga mengambil nama sungai. Di Yogyakarta, Sungai Progo menjadi penamaan daerah, seperti: Kulon Progo. Juga bagi Warga Jawa Timur, Brantas bukan “sekedar” sungai. Ia membekan masyarakat menyebut Lor dan Kidul Brantas. Kemudian, istilah Brantas akhirnya meluas dalam banyak artefak. Dari mulai nama lokasi tertentu, nama gedung olah raga, nama organisasi masyarakat, bahkan nama kereta api. Tidak heran, bagi masyarakat sungai tidak lagi sekedar nama lingkungan fisik yang terdiri dari air, biota dan bebatuan, tetapi ia juga simbol dan identitas sosial.
Akhir-akhir ini kita juga melihat sungai sebagai instrumen untuk pariwisata. ia dieksploitasi demi mendatangkan pundi-pundi uang. Kita melihat itu pada wisata lingkungan atau ekowisata akhir-akhir ini. Sebab bagaimanapun lukisan indah Tuhan ini akan apik jika dipadukan wisata buatan manusia.
Konservasi Sungai
Manusia dan sungai merupakan kesatuan ekosistem yang tidak bisa dipisahkan, tanpa keduanya kehidupan sosial tidak akan berjalan seimbang. Maka, konservasi dan restorasi sungai sudah saatnya memeroleh perhatian lebih.
Hemat penulis, langkah tersebut tidak sulit. Kita bisa belajar dari jejak sejarah di nusantara. Kebesaran kerajaan Sriwijaya ditopang sungai Musi.Kemajuan dan kebesaran Kerajaan Majapahit ditopang dari keberadaan Sungai Brantas. Sementara itu, Taman Sari di Kerajaan Mataram yang terkenal elok karena keberhasilan Sri Sultan Hamengku Buwono I memasukan air sungai.
Selain itu, kosmologi tentang sungai masih terlembaga yang dijelaskan dalam tiga hal. Pertama, sungai adalah transmisi pemujaan kesuburan dari dewa gunung. Kedua, sungai menjadi manifestasi sih langgeng (cinta abadi), anugerah sing nguripi (yang menghidupi), dan ketiga, sungai diyakini sebagai wujud tirta pawitra sari; air kehidupan (Hidajat, 2015).
Sekalipun kita memiliki banyak warisan dan legitimasi kultural tentang sungai, tetapi kini kita melihat kondisi sungai yang bertolak belakang dengan keluhuran pesan-pesan tersebut. Yang kita lihat hari ini rata-rata sungai tercemari. Sampah-sampah yang sulit terurai mencemari sungai, akibatnya dari sisi ekologis, ekosistem biota air rusak. Daerah sempadan sungai digerus pemukiman dengan rata-rata warga belum memiliki kesadaran atas eksistensi ekologis sungai. Sungai tidak lagi mempercantik wajah kota.
Persoalan tersebut muncul karena sungai diperlakukan dalam perspektif “kepentingan” manusia. Manusia memperlakukan alam dan lingkungan sesuai dengan kepentingan pragmatis manusia, maka sungai dianggap wilayah belakang rumah yang tidak terlalu “penting”. Tidak heran, jika masyarakat melihatnya sebagai tong sampah untuk membuang barang-barang tidak terpakai dan harus dijauhkan dari tempat tinggal.
Kesalahan hari ini juga melihat sungai hanya sebatas drainase, padahal pakar geografi, Agus Martono (2016) menyatakan perspektif sungai meliputi perspektif morfologi yang diperkuat denhgan perspektif kultural.
Untuk itu, konservasi sungai menjadi agenda yang mendesak hari ini karena manusia semakin jauh dengan alam. Dalam Eros dan Civilization, sosiolog Herbert Marcuse (1955) menjelaskan masyarakat modern yang ditandai dengan dominasi teknologi, akibatnya manusia semakin jauh dari lingkungan sungai. Belajar dari masyarakat kita yang “memuliakan ” sungai, maka kita harus mengembangkan pendekatan kultural dan pendekatan kelembagaan sebagai bentuk penghormatan pada sungai itu.
Pendekatan kultural akan melahirkan kepemilikan, kebanggaan dan identitas sosial pada sungai. Komunitas-komunitas di sekitar sungai akan menjadikan sungai sebagai bagian hidup yang perlu dirawat dan dipercantik. Perasaan kebersamaan ini akan mendorong masyarakat melakukan gerakan-gerakan penyelamatan dan konservasi sungai. Dari situlah berkembang edukasi yang tidak sekedar memandang sungai sebagai drainase kota, tetapi juga melihatnya sebagai ekosistem yang terhubung dengan sistem-sistem yang lain.
Pendekatan kultural tidak boleh berjalan sendiri, maka ia harus diperkuat dengan pendekatan kelembagaan. Pendekatan ini menggabungkan nilai-nilai sosial yang terlembaga masyarakat dengan kebijakan pemerintah. Melalui pendekataan kelembagaan, kebijakan akan benar-benar merubah masyarakat dengan bobot akuntabilitas dan sustainabilitas.