Strategi Menghadapi Tantangan Deglobalisasi Ekonomi**

Author : Humas | Senin, 07 November 2022 09:51 WIB | Bhirawa - Bhirawa

Oleh :
Leny Suviya Tantri
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang

Setelah pandemi Covid-19 dunia memasuki fase baru dalam sejarah. Dunia mengalami krisis global, ekonomi, kesehatan, kemanusiaan, politik dan lain sebagainya.

Pandemi telah mempercepat perubahan struktural yang telah digariskan baik dalam masyarakat, ekonomi, politik maupun tata kelola global. Selain itu, pandemi juga berakibat pada surutnya globalisasi ekonomi. Pada bulan Mei tahun 2020, perdagangan global turun 17,6% dari baseline 2019. Kemudian menurut IMF tercatat PDB dunia mengalami kerugian sebesar USD 3,7 Trilliun. Instabilitas ini kemudian diperkeruh dengan adanya pergolakan geopolitik di Eropa Timur yang ditandai dengan meletusnya Perang Rusia-Ukraina. Kondisi ini berakibat pada peningkatan inflasi dan suku bunga acuan serta menurunnya permintaan global. Selain itu, pada bulan Februari 2022 tercatat PDB dunia dirugikan 2,8 Trilliun.

Singkatnya, negara-negara di dunia dihadapkan oleh ancaman resesi global karena stagflasi dan inflasi yang menyebabkan deglobalisasi ekonomi. Negara-negara didunia secara serentak berusaha untuk melakukan akselerasi pemulihan ekonomi pasca kontraksi yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Hal ini disebabkan oleh sektor ekonomi yang menghadapi tantangan mendasar, terutama tantangan kebutuhan untuk meningkatkan standar hidup dan pendapatan penduduk. Untuk memulihkan perekonomian negaranya, China menerapkan strategi dengan mengandalkan kemandirian ilmu pengetahuan, teknologi, perdagangan, dan ekonomi.

Prioritas produksi dalam negeri dan konsumsi dalam negeri digunakan China sebagai jaminan untuk ekonomi berkelanjutan dan pertumbuhan ke depan. Hasilnya, pandemi telah mengkonfirmasi bahwa China tetap menjadi lokomotif utama ekonomi global.

Perekonomian Cina merupakan satu-satunya PDB yang tidak hanya menghindari penurunan pada tahun 2020 tetapi tumbuh secara tahunan, dan pada tahun 2021 pertumbuhannya diproyeksikan lebih dari 8%. PDB China pada tahun 2020 tercatat telah melampaui Amerika Serikat dalam Purchasing power parity dan mengalahkan Rusia dalam PDB per kapita.

Sementara itu, Rusia yang mengalami lintasan pemulihan ekonomi pasca krisis yang berat mulai dari tantangan penurunan suku bunga bank yang hampir habis, rendahnya simpanan bank ke pasar saham hingga jatuhnya aset rubel ke mata uang asing, berhasil bertahan dan membatasi penurunan PDB dengan intervensi moneter yang jauh lebih rendah daripada negara lain.

Sayangnya hal ini tidak cukup untuk mengalahkan dominasi China dan India. India tercatat sebagai raksasa ekonomi terbesar ketiga di dunia dalam hal PDB setelah Cina dan Amerika Serikat. India mampu mengatasi permasalah ekonomi dengan relatif baik, melalui kombinasi kebijakan pengurangan pengeluaran (menurunkan defisit anggaran dengan mengurangi subsidi bahan bakar dan menaikkan suku bunga untuk mengurangi investasi) serta membuat kebijakan pengalihan pengeluaran yang memungkinkan nilai tukar rupiah mengikuti pasar. Guncangan yang dihadapi oleh Rusia karena adanya perang melawan Ukraina juga memperkeruh kondisi perekonomian Rusia. Sanksi yang dijatuhkan Uni Eropa telah menghambat pemulihan ekonomi Rusia.

Perubahan struktural pasca pandemi covid-19 yang kompleks pada akhirnya mempengaruhi pergolakan geopolitik dunia yang mengakibatkan adanya deglobalisasi ekonomi dan meningkatnya bipolaritas tatanan dunia modern. Hegemoni AS mulai meredup dengan kemunculan China yang memimpin perekonomian dunia. Selain itu Rusia tengah berusaha untuk menyaingi AS untuk mengulang kembali kejayaan Uni Soviet dengan memperluas proyek integrasi Eurasia.

Menurut World Economic Outlook (WEO) pada bulan Oktober tahun 2022, IMF memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi global melambat tajam, hingga 3,2 % dan pada tahun 2023 diprediksi akan menyentuh angka 2,7%. Jika prediksi ini terealisasi artinya pertumbuhan ekonomi dunia menyentuh level terendah sejak tahun 2001.

Lantas dimanakah posisi Indonesia pada realitas baru tatanan dunia pasca covid-19?. Pada tahun 2020 Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi sebesar 2,07% yang berarti lebih baik dari banyak negara di ASEAN dan dunia. Meskipun ekonomi Indonesia sempat terpukul keras pada Quartal kedua tahun 2020, pada Quartal kedua tahun 2021 ekonomi Indonesia sudah menunjukkan pertumbuhan yang positif.

Pertumbuhan positif ini sebagian besar berasal dari pengeluaran pemerintah untuk mengatasi penyebaran wabah dan pemberian bantuan kepada kelompok rentan. Indonesia juga mengambil strategi yang serupa seperti India. Namun Indonesia juga menghadapi kekhawatiran akan meningkatnya suku Bunga dari The Fed Amerika Serikat yang dapat berdampak pada menyusutnya likuiditas global, yang dapat memperlambat pemulihan ekonomi di kawasan Asia. Dalam bisnis misalnya, kredit yang lebih ketat dapat berakibat pada biaya pinjaman yang lebih tinggi, mengurangi profitabilitas, dan insentif investasi.

Selama dua Quartal berturut-turut di tahun 2022, Amerika Serikat telah mengalami penurunan perekonomian yang diprediksi akan mengakibatkan resesi. Jika Amerika yang merupakan raksasa perekonomian dunia mengalami resesi, maka negara lain yang bermitra dengan Amerika akan mengalami dampak tersebut termasuk Indonesia yang merupakan mitra dagang Amerika Serikat akan mengalami penurunan kinerja ekspor, capital outflow serta pelemahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Lantas apakah langkah yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menghadapi ancaman resesi ditengah meningkatnya bipolaritas tatanan dunia modern?

Strategi yang harus dilakukan pemerintah dalam menghadapi hal tersebut diantaranya adalah memaksimalkan pasar domestik agar produksi barang ekspor yang tidak diserap oleh pasar Amerika Serikat dapat secara optimal diserap oleh pasar dalam negeri, mendukung pengembangan industri dalam negeri untuk memproduksi produk yang dapat diproduksi dalam negeri seperti alas kaki dan tekstil agar dapat bersaing dengan pasar internasional, melakukan diversifikasi tujuan ekspor, mencegah masuknya produk impor illegal, memberdayakan UMKM, mengembangkan green energy dan terakhir adalah membuat kebijakan fiskal salah satunya dengan insentif fiskal untuk mendorong peningkatan iklim investasi. Selain pemerintah, Bank Indonesia juga perlu menerapkan kebijakan moneter seperti meningkatkan suku bunga dalam negeri dengan tetap memperhatikan kondisi APBN.

Sumber: https://www.harianbhirawa.co.id/strategi-menghadapi-tantangan-deglobalisasi-ekonomi/
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler