Foto: Getty Images/iStockphoto/Kostyazar
Malang - Jumlah dispensasi nikah di Kabupaten Malang tertinggi di Jawa Timur. Bahkan dua tahun berturut-turut Kabupaten Malang mencatat rekor tertinggi.
Sosiolog Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Luluk Dwi Kumalasari mengaku miris melihat realitas dengan meningkatnya angka pernikahan dini, baik itu di wilayah Kabupaten Malang maupun di berbagai daerah lainnya. Kendati begitu, dia meminta agar tidak memberikan pandangan negatif sebelum memahami faktor penyebab terjadinya pernikahan dini tersebut.
Menurut Luluk, faktor penyebab terjadinya pernikahan dini di satu wilayah dengan wilayah lain tentunya akan berbeda. Namun, ia mencoba untuk merinci sejumlah faktor yang mendorong sampai terjadi pernikahan dini di tengah masyarakat. Pertama cara pandang atau tradisi di masyarakat, berikutnya faktor ekonomi atau tingkat kemiskinan. Akses pendidikan dinilai minim, akan mempengaruhi orang tua dan anak untuk tidak melanjutkan sekolah. Setelah putus sekolah, menikah adalah pilihan.
"Seperti wilayah Madura, NTT, dan NTB melakukan sistem perjodohan. Jadi dianggap anak sekolah sampai SD sudah cukup dan menikah. Putus sekolah dan memilih bekerja karena kondisi ekonomi, dengan menikah mereka berpikir ada yang menolong atau membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari," terang Luluk berbincang dengan detikJatim, Selasa (24/1/2023).
Luluk juga melihat minimnya sosialisasi dan edukasi tentang pendidikan kesehatan reproduksi dapat menjadi faktor penyebab pernikahan dini. Padahal hal itu sangat penting, untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait resiko pernikahan belum cukup umur bagi kesehatan reproduksi.
"Seringkali kita tanya kepada berbagai sumber, kalau bicara soal pernikahan dini dan seksualitas itu hal tabu. Pernikahan dini terjadi menurut saya, karena masih kurang adanya edukasi atau sosialisasi pendidikan kesehatan reproduksi. Masyarakat seharusnya diberikan pengetahuan tentang layanan kesehatan reproduksi. Dengan begitu, mereka akan tahu. Kalau saya menikah dengan usia sekarang. Belum matang secara hormonal, maka akan ada resiko secara kesehatan tidak bagus, bagi diri atau anak generasi kita tidak bagus," jelas Kepala Prodi Sosiologi UMM ini.
Faktor berikutnya, menurut Luluk adalah faktor lingkungan atau faktor sosial dinilai juga memiliki peran terjadinya pernikahan dini. Anak-anak harus memahami bagaimana kondisi lingkungannya. Lebih banyak untuk bertanya mencari informasi, agar dapat berpikir rasional.
"Pernikahan dini banyak terjadi karena faktor sosial. Misal diiming-imingi kalau ada temannya. Misalnya ada temannya sudah melakukan hubungan seksual dan lain-lain. Itu kemudian dia melihat atau di kasih tahu akhirnya ngikut akhirnya penasaran juga. Sebenarnya rasa ketika melakukan itu seperti itu apa. seringkali tidak berpikir yang nanti resikonya anak orang bisa hamil," tuturnya.
Di luar itu, kata Luluk, ada diskriminasi gender. Perempuan yang belum menikah justru menjadi bahan gunjingan di masyarakat. Sehingga di wilayah tertentu memiliki anak perempuan belum juga nikah akan menciptakan rasa malu bagi keluarga.
"Kalau misalnya kamu perempuan gak nikah nikah berarti nggak laku. Dan di wilayah tertentu punya anak perempuan tidak nikah, nggak enak dan malu sama tetangga padahal itu menjadi bagian diskriminasi gender. Padahal inilah yang harusnya juga kita pahami. Bagaimana kita memberikan pandangan positif," harapnya.Luluk menambahkan, kemajuan teknologi ternyata membawa resiko cukup besar. Mau tidak mau para remaja banyak menghabiskan waktunya mengakses media sosial. Padahal, konten di media sosial sangat bebas, misalnya konten pornografi.
"Nah di beberapa penelitian disebutkan bahwa akses terhadap terhadap pornografi memang turut menjadi faktor yang memunculkan pernikahan dini. Banyak hamil duluan, hamil diluar nikah karena muncul hasrat setelah menonton video porno dari Hp-nya," imbuhnya.
Luluk berharap, ada perhatian serius terkait persoalan ini. Dengan memberikan kemudahan akses pendidikan dan layanan kesehatan kepada masyarakat, peningkatan taraf hidup melalui pemberdayaan ekonomi. Dan hal terpenting adalah memberikan pemahaman atau edukasi soal kesehatan reproduksi.
"Sehingga mereka tahu akan dampak dan resiko dari pernikahan dini seperti apa. Dan menurut saya sangat penting supaya kita bisa mengurangi adalah penegakkan hukum. Meskipun kita tahu ada revisi tentang undang-undang pernikahan. Tetapi tetap perlu penegakkan hukum terhadap realitas yang ada di masyarakat ini. Serta kebijakan perlindungan anak, bagaimana aset bangsa ini kita jaga dan desain dengan bagus. Supaya tidak menjadi generasi yang tidak bermanfaat tadi," pungkasnya.