Muncul Isu Ubah Sistem Pemilu, Pakar Hukum UMM Sebut MK Tak Berwenang

Author : Humas | Sabtu, 03 Juni 2023 16:29 WIB | Detik Jatim - Detik Jatim

Pakar hukum UMM Sidiq Sunaryo

Foto: Pakar hukum UMM Sidiq Sunaryo (Dok. Istimewa)

Malang - Muncul isu Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan untuk mengubah sistem pemilu 2023 menjadi proporsional tertutup bagi anggota legislatif. Sebelumnya, sistem pemilu Indonesia menganut sistem proprosional terbuka.

Adanya keputusan itu terkuak dari potongan video salah satu pakar hukum Denny Indrayana beredar beberapa waktu lalu.

Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr Sidik Sunaryo mengatakan, bahwa dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) sudah ditegaskan bahwa sistem pemilihan presiden dilakukan secara langsung.

Sementara pemilihan calon legislatif dan kepala daerah dilakukan secara demokratis. Sidik menilai diksi demokratis bisa diartikan langsung maupun tidak langsung, tergantung pembuat dari undang-undang.

Baca juga:MK Perpanjang Jabatan Pimpinan KPK, Mahfud Md: Tak Ada Politisasi

"Ketentuan pemilihan presiden sudah diatur secara tegas dan tidak bisa ditafsir. Sedangkan pemilihan legislatif belum diatur dengan jelas, sehingga menjadi wewenang pembentuk undang-undang untuk mengaturnya (open legal policy). Dalam hal ini dewan perwakilan rakyat (DPR), dewan perwakilan daerah (DPD), bersama dengan presiden," katanya kepada wartawan, Sabtu (3/6/2023).

Sidik menegaskan bahwa ranah sistem pemilu berada di wilayah legislatif. Sehingga jika ada gugatan judicial review terkait sistem pemilu. Dimana awalnya terbuka menjadi tertutup dan kemudian MK menerimanya.

Maka sebenarnya MK tidak punya kewenangan akan hal itu. Karena sesuai UUD 1945 kewenangan penentuan sistem pemilu berada di tangan legislatif. Sementara MK merupakan lembaga yudikatif.

"Jika MK benar-benar menguji materi dan mengubah sistem pemilu dan dimaknai untuk membuat norma baru dalam UU Kepemiluan, maka MK sebenarnya sudah mengambil alih kewenangan lembaga negara lain yakni legislatif. Kalaupun ingin menguji, seharusnya yang diuji adalah apakah sistem terbuka bertentangan dengan UUD 45 atau tidak? Logikanya harus begitu," ujar dosen Fakultas Hukum UMM ini.

Sementara terkait sistem proporsional terbuka atau tertutup, Wakil Rektor IV UMM itu menilai bahwa keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan.

Baca juga:Denny Sebut Pemilu Kembali Coblos Partai, Gerindra Jatim: Gimik Jelang 2024

Pada proporsional terbuka, calon legislatif tidak ditentukan secara urut. Siapapun boleh mendaftar menjadi caleg lewat partai apapun, sekalipun orang baru. Sementara pada proporsional tertutup, partai menentukan daftar caleg yang ada.

"Pada sistem proporsional tertutup, misalnya partai A sudah menyiapkan 100 nama caleg. Lalu ternyata suara yang diperoleh hanya cukup untuk 10 orang, maka caleg nomor urut 1-10 berhasil menjadi legislatif. Sementara sisanya tidak berhasil," sebutnya.

Menurut Sidik, dua sistem tersebut baik selama tidak ada dampak negatif seperti politik uang. Peraturan, dalam hal ini UU harus tegas untuk mencegahnya.

Selain dengan peningkatan pendidikan politik bagi masyarakat agar demokrasi bisa berjalan dengan baik.

Sidik mengatakan, sistem pemilu harus sesuai dengan nilai-nilai ideologi Pancasila. Terutama harus mengandung nilai ketuhanan karena pemilu sebagai salah satu sarana demokrasi untuk memilih pemimpin sebagai wujud ibadah kepada Tuhan.

Memasukkan nilai kemanusiaan dengan tidak saling mencela dan menista serta nilai kesatuan dengan menjaga keguyuban. Pun dengan nilai permusyarawatan dan juga keadilan sosial yang harus dipegang teguh.

"Moralitas demokrasi harus kembali pada nilai ideologi Pancasila dan sistem demokrasi harus pada nilai dasar konstitusi," pungkasnya.

Sumber: detik.com/jatim/berita/d-6753330/muncul-isu-ubah-sistem-pemilu-pakar-hukum-umm-sebut-mk-tak-berwenang/amp
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Arsip Berita

Berita Terpopuler