Penataran Hukum Pidana Nasional di Rayz Hotel UMM, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Selasa 29 Agustus 2023.
HALLO MALANG - Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP yang baru dinilai oleh sejumlah pihak menjadi "kado manis" bagi para koruptor. Pasalnya, ancaman hukuman korupsi dalam KUHP tersebut lebih rendah ketimbang yang tertera dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Masyarakat Hukum Pidana & Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) angkat bicara terkait permasalahan tersebut. Menurut mereka, hampir semua yang dirumuskan di dalam KUHP baru itu sesungguhnya adalah tindak pidana yang sifatnya utama, termasuk tindak pidana korupsi.
"Tindak pidana korupsi yang dianggap sebagai main crime, tindak pidana utama itu ditarik ke dalam KUHP. 6etapi berbagai jenis tindak pidana yang lain itu tetap ada di dalam Undang-Undang pidana khusus dalam hal ini adalah undang-undang tindak pidana korupsi," kata Ketua DPD MAHUPIKI Jawa Timur, Tongat, saat Penataran Hukum Pidana di Rayz Hotel UMM, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Selasa 29 Agustus 2023.
Tongat, menilai bahwa dengan diberlakukannya KUHP baru, tidak bisa serta merta dianggap dan diasumsikan itu akan memperlemah pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebab, kewenangan masing-masing institusi penegak hukum masih tetap ada dan utuh sebagaimana sebelum berlakunya KUHP baru itu.
"Kalau kita bicara Undang-Undang itu masih diatur di dalam Undang-Undang khusus, sepanjang Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 juncto Undang-Undang nomor 20 tahun 2021 tidak dicabut, maka status tindak pidana korupsi tetap extraordinary," jelasnya.
"Karena extraordinary itu kan penjelasan yang diberikan oleh Undang-Undang nomor 31 tahun 1999. Sehingga selama itu tidak dicabut, tindak pidana itu status dan kualifikasinya tetap extraordinary," ungkapnya.
Di sisi lain, Dekan Fakultas Hukum UMM itu juga angkat bicara terkait KUHP baru yang dinilai membawa sejumlah pasal-pasal kontroversial. Ia mengaku, bila dilihat secara faktual, semua pasal-pasal yang dianggap kontroversi itu bukan pasal-pasal baru.
"Bukan pasal yang tiba-tiba ketika kita membahas KUHP nasional itu muncul, tapi pasal-pasal yang kontroversi itu sesungguhnya adalah pasal-pasal yang sudah ada dan berlaku selama ini di KUHP warisan kolonial Belanda," ungkapnya.
Ia mencontohkan terkait pasal pasangan yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah alias kumpul kebo. Tongat menerangkan bahwa, kumpul kebo itu sebetulnya terkualifikasi sebagai delik atau sebagai perbuatan yang dilarang.
"Apalagi berlakunya KUHP itu kan kemudian dilengkapi misalnya dengan Undang-Undang nomor 1 tahun 1951 yang itu secara eksplisit secara tegas memberlakukan berlakunya living law sebagai salah satu sumber hukum positif. Sejak tahun 1951 itu kita sudah punya Undang-Undang yang memberlakukan terhadap living law," tegasnya.
"Nah memberlakukan living law itu termasuk di dalamnya adalah melarang perbuatan-perbuatan yang secara susila, secara tata nilai itu bertentangan dengan nilai-nilqi yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Salah satunya perbuatan yang oleh tata nilai kita dianggap melanggar, sebelum berlakunya KUHP nasional itu adalah misalnya kumpul keb. Jaadi bukan persoalan baru sebetulnya terkait dengan kumpul kebo itu. Jadi sudah lama diatur," tambahnya.
Sebagai informasi, Masyarakat Hukum Pidana & Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) Jawa Timur bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengadakan Penataran Hukum Pidana Nasional. Kegiatan ini diselenggarakan di Rayz Hotel UMM, Kabupaten Malang, Jawa Timur, mulai Senin hingga Rabu, 28-30 Agustus 2023.