Oleh :
Ahmad Fatoni
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang
Kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari perjuangan para perempuan, salah satunya adalah peran dari sosok Fatmawati Soekarno. Anak dari seorang tokoh Muhammadiyah sekaligus istri dari Soekarno ini memiliki peran yang sangat penting dalam pembebasan bangsa Indonesia dari kaum penjajah.
Fatmawati mulai berperan dalam membela tanah air sejak remaja. Fatmawati ikut berjuang dengan berperan di dalam organisasi Muhammadiyah, yaitu Nasyiatul Aisyiah, sebuah organisasi yang berada dibawah koordinasi persyarikatan Muhammadiyah di Bengkulu.
Dalam buku Catatan Kecil Bersama Soekarno dijelaskan bahwa Fatmawati dilahirkan pada 5 Februari 1923 di Bengkulu dengan bantuan seorang dukun. Ibunya bernama Siti Chadijah dan ayahnya bernama Hasan Din. Kedua orangtuanya sangat aktif dalam perjuangan membela tanah air melalui organisasi keagamaan, yakni Muhammadiyah.
Masa kecil Fatmawati nyaris kehilangan kebahagiaannya gegara pertengkaran yang terjadi dengan orang tuanya. Pertengkaran itu dipicu adanya seorang wanita bersuami yang menyukai ayahnya. Tetapi permasalahan tersebut dapat diatasi karena Hassan Din mampu meyakinkan Siti Chadijah bahwa ia tidak akan menikah lagi.
Pada suatu masa, Fatmawati sebagai perempuan remaja mampu memikat hati seorang Soekarno dan dinikahinya pada Juni 1943. Sebagai istri Soekarno, maka secara tidak langsung Fatmawati terlibat dan berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya adalah ketika ia menjahit bendera merah putih yang dijadikan sebagai bendera nasional Republik Indonesia.
Romantika Cinta
Sebelum pernikahan terjadi, pertemuan Fatmawati dengan Soekarno berawal ketika Soekarno diasingkan di Bengkulu. Pada saat diasingkan di Bengkulu, Soekarno mengajar di sekolah Muhammadiyah, dan Fatmawati menjadi salah satu murid di sekolah tersebut. Soekarno melihat Fatmawati adalah anak yang pintar dan memiliki wawasan filsafat Islam di atas rerata teman-teman sebayanya.
Dalam buku Memoir yang ditulis Muhammad Hatta dijelaskan bahwa terhitung dari Agustus 1938 Fatmawati tinggal bersama keluarga Soekarno di Bengkulu. Kedekatan Fatmawati dengan keluarga barunya semakin akrab terutama dengan Soekarno, yang dianggap Fatmawati layaknya seorang guru.
Seiring perjalanan waktu, istri Soekarno bernama Inggit Ganarsih mulai curiga dengan keakraban antara Fatmawati dengan Soekarno. Sikap Soekarno memperkuat kecurigaan Inggit bahwa ada cinta di antara hubungan guru dan murid. Inggit menyampaikan kekhawatirannya pada Soekarno tentang Fatmawati, tetapi Soekarno mempertegas hanya sebatas guru dan murid.
Hingga suatu saat, Fatmawati pernah dilamar seseorang, lalu meminta saran kepada Soekarno. Setelah mendengar penjelasan dan pertanyaan Fatmawati, Soekarno terdiam dan menunduk, lalu perlahan mengangkat kepalanya dan menatap Fatmawati. Kemudian Soekarno menyatakan cintanya yang selama ini terpendam. Sejak itulah perjalanan cinta Fatmawati dan Soekarno sarat romatika dan penuh ketegangan.
Anti Poligami
Soekarno menikahi Fatmawati dengan alasan 18 tahun pernikahannya bersama Inggit tidak kunjung memberikan keturunan sementara Ibunda Soekarno yang telah berusia senja di Blitar terus menanyakan kapan bisa memiliki cucu.
Mendengar lamaran Soekarno, Fatmawati menjawab bahwa sebagai perempuan Muhammadiyah, ia tidak mau dimadu. Atas alasan tersebut, bukan masalah bagi seorang Soekarno kendati harus bersabar selama tiga tahun untuk menceraikan Inggit secara baik-baik. Toh Inggit sendiri juga lebih memilih diceraikan daripada dipoligami.
Setelah urusan dengan Inggit selesai, pernikahan melalui wali pun dilaksanakan pada tahun 1943 antara Fatmawati yang berada di Bengkulu dengan Soekarno yang berada di Jakarta. Sejak menikah, Fatmawati berganti status peran menjadi seorang istri dan mendampingi hari-hari Soekarno.
Kehidupan Fatmawati sebagai istri Soekarno ketika Indonesia berada pada kondisi yang sedang mengalami pergolakan dan peperangan. Peran penting Fatmawati diawali karena ia terlibat langsung dalam perjuangan memperoleh kemerdekaan yang terjadi pada masa itu.
Sebagai seorang istri dari tokoh besar yang memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan, selama Bung Karno berada di Bengkulu, Fatmawati memberikan motivasi dan semangat perjuangan untuk suaminya. Dukungan dari seorang istri yang dicintainya adalah salah satu hal yang sangat berarti bagi seorang Soekarno.
Namun demikian, kehidupan Fatmawati tidak selamanya sebagai Ibu Negara. Perannya sebagai first lady berakhir saat ia memutuskan keluar dari istana karena pada pertengahan 1954 Soekarno menikah lagi dengan perempuan lain bernama Hartini. Tentu saja hati Fatmawati terluka.
Sebagaimana diutarakan kepada Soekarno kala pertama menyatakan cinta, Fatmawati pantang dipoligami. Akan tetapi, demi anak-anaknya, Fatmawati dan Soekarno tak bercerai. Fatmawati yang teguh hati lebih memilih keluar dari Istana meski Soekarno melarangnya.
Fatmawati kemudian tinggal di sebuah rumah paviliun di Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan. Kendati begitu, publik masih menganggapnya sebagai Ibu Negara. Ia masih kerap tampil dalam acara-acara resmi meskipun tak ikut mendampingi Soekarno dalam kunjungan kenegaraan. Di rumah Sriwijaya itulah ia hanya ditemani Guntur Soekarnoputra, putra sulungnya, yang sedari kecil memang lebih dekat dengan ibunya.
“Sriwijaya jadi tempat ibu menyepi, menenangkan diri. Ibu tidur di Sriwijaya, tetapi setiap Sabtu dan Minggu (ketika Soekarno tidak ada di Istana) ibu ke Istana mendampingi kami, anak-anaknya. Ibu masih menjalankan fungsi sebagai Ibu Negara,” tutur Guruh Sukarnaputra, putra bungsu Fatmawati-Soekarno.
Simbol Kemandirian
Sekeluar dari Istana, Fatmawati hidup mandiri dan sederhana. Melalui usahanya sendiri, Fatmawati membeli hak milik rumah Sriwijaya itu. Setelah Guntur menikah, ia sempat pula tinggal bersama si sulung di bilangan Cempaka Putih. Puti Pramathana Puspa Seruni Paundrianagari, putri Guntur, mengenang kesederhanaan neneknya.
Fatmawati adalah simbol wanita yang sangat dihormati rakyat Bengkulu. Seorang Ibu Negara Indonesia pertama yang berjasa menjahit bendera pusaka merah putih. Selain itu beliau sangat lekat dengan sosok kharismatik, cerdas, dan pekerja keras.
Hingga pada Rabu 5 Februari 2020 Presiden RI Joko Widodo bersama Pemerintah Kota Bengkulu meresmikan Monumen Patung Ibu Fatmawati bertepatan dengan hari kelahirannya. Monumen setinggi tujuh meter karya pematung asal Bali bernama I Nyoman Nuarta, itu berupa patung Fatmawati sedang menjahit bendera ini memiliki tinggi tujuh meter. Monumen tersebut sarat dengan nilai historis dan merupakan patung ibu negara pertama di dunia.