Gerakan Pangan Murah

Author : Humas | Minggu, 02 Juli 2023 08:35 WIB | Harian Bhirawa - Harian Bhirawa

Oleh :
Prof Dr Sutawi
Guru Besar Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia paling utama dan merupakan bagian hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945. Salah satu masalah pangan di Indonesia adalah ketahanan pangan.

Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau.

Ketahanan pangan nasional masih menjadi isu yang penting bagi Indonesia mengingat kecukupan produksi, distribusi, dan konsumsi pangan memiliki dimensi yang terkait dengan dimensi sosial, ekonomi, dan politik.

Menurut Global Food Security Index (GFSI) indeks ketahanan pangan Indonesia pada 2022 berada di level 60,2. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, ketahanan pangan Indonesia masuk peringkat ke-4, setelah Singapura (73,1), Malaysia ( 69,9), dan Vietnam (67,9). Di tingkat dunia, Indonesia berada pada peringkat 63 dari 113 negara. GFSI 2022 mengukur ketahanan pangan berdasarkan empat indikator, yakni keterjangkauan (affordability), ketersediaan (availability), kualitas dan keamanan (quality and safety), serta keberlanjutan dan adaptasi (sustainability and adaptation). Pada keempat indikator tersebut, Indonesia memperoleh skor masing-masing keterjangkauan 81,4, ketersediaan 50,9, kualitas dan keamanan 56,2, serta keberlanjutan dan adaptasi 46,3.

Harga komoditas pangan merupakan representasi ketahanan pangan suatu negara atau wilayah. Harga komoditas pangan mampu mencerminkan kondisi nyata ketersediaan pasokan pangan, permintaan pangan, kelancaran disribusi pangan, kondisi perdagangan internasional, implementasi kebijakan pemerintah, kondisi daya beli masyarakat, dan juga kesejahteraan penduduk.

Fluktuasi harga pangan merupakan salah satu masalah terkait dengan ketahanan pangan di Indonesia yang berakibat ketidakpastian harga pangan baik di tingkat produsen maupun konsumen. Fluktuasi harga pangan antara lain disebabkan oleh rantai distribusi pangan pokok yang tidak efisien; ketidakcukupan pasokan pangan di suatu wilayah; waktu panen bervariasi; dan prasarana dan sarana transportasi yang kurang mendukung dalam kelancaran distribusi pangan. Komoditas pangan yang fluktuasi harganya sering menjadi sorotan publik adalah beras, jagung, kedelai, tepung terigu, gula pasir, minyak goreng, bawang merah, cabai, telur, daging, dan susu.

Pemerintah memastikan ketersediaan dan stabilisasi harga pangan strategis terus ditingkatkan dengan memasifkan pelaksanaan Gerakan Pangan Murah (GPM) atau operasi pasar kebutuhan pangan pokok di sejumlah daerah. GPM dilakukan pada waktu di mana harga pangan biasa mengalami kenaikan, seperti selama Ramadhan dan menjelang Idul Fitri, Idul Adha, Natal dan Tahun Baru, serta bulan hajatan dan perayaan. Pada Senin, 26 Juni 2023, Badan Pangan Nasional (Bapanas) meluncurkan program GPM serentak di 342 titik di 301 kabupaten/kota seluruh Indonesia. GPM bertujuan untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan pokok di tingkat produsen dan konsumen serta memberikan kemudahan aksesbilitas pangan bagi masyarakat.

Ada beberapa hal yang mendasari pentingnya GPM. Pertama, proporsi pengeluaran penduduk untuk pangan masih besar. BPS (2022) mencatat pengeluaran penduduk Indonesia sebesar Rp1.264.590 per kapita per bulan, di mana sebanyak Rp622.845 (49,25%) digunakan untuk pengeluaran makanan dan Rp641.744 (50,75%) untuk pengeluaran bukan makanan. Pengeluaran konsumsi makanan merupakan indikator kesejahteraan masyarakat. Hukum Engel menyatakan bahwa semakin kecil pendapatan rumah tangga, semakin besar bagian pendapatan yang digunakan untuk pengeluaran konsumsi makanan. Hukum Engel dapat digunakan untuk melihat standar hidup suatu negara, di mana semakin miskin suatu negara, semakin besar proporsi pengeluaran untuk makanan.

Kedua, kenaikan harga pangan menyebabkan konsumsi pangan menurun karena menurunnya daya beli. Elastisitas harga sendiri pada kelompok komoditas ikan/daging/telur/susu dan kacang-kacangan/minyak bersifat elastis, masing-masing nilai 1,1023 dan 1,0943 (Mayasari dkk, 2018). Artinya, kenaikan harga sebesar 1%, menyebabkan rumahtangga menurunkan permintaan lebih dari 1%. Pada kelompok komoditas padi/umbi-umbian, sayur/buah-buahan, dan pangan lainnya bersifat inelastis (kurang dari 1), yang berarti kenaikan harga sebesar 1% menyebabkan rumahtangga menurunkan permintaan kurang dari 1%. Penurunan konsumsi pangan berdampak lebih lanjut terhadap masalah kesehatan penduduk, misalnya stunting. Jumlah prevalensi stunting di Indonesia tahun 2021 sebanyak 5,33 juta balita (24,4 persen). Persentase stunting Indonesia lebih tinggi dibanding sejumlah negara Asia Tenggara seperti Vietnam (23), Filipina (20), Malaysia (17), dan Thailand (16).

Ketiga, harga pangan berpengaruh negatif terhadap kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat. Hasil kajian Faharudin (2020) menyebutkan kenaikan harga 5 persen lima kelompok pangan menyebabkan peningkatan persentase penduduk miskin berturut-turut sebesar 0,124 poin (beras), 0,111 poin (ikan segar), 0,050 poin (sayuran), 0,042 poin (buah-buahan), dan 0,289 poin (pangan lainnya). Pengaruh ini semakin besar dengan tingginya kenaikan harga meskipun pertambahannya tidak linier. Kenaikan harga 15 persen masing-masing kelompok komoditas makanan menyebabkan meningkatnya persentase penduduk miskin masing-masing sebesar 0,581 poin (beras), 0,386 poin (ikan segar), 0,124 poin (sayuran), 0,124 (buah-buahan), dan 2,095 poin (pangan lainnya). Hasil penelitian Yuliana dkk. (2019) menyebutkan kenaikan harga pangan menurunkan tingkat kesejahteraan rumah tangga sebesar 6,53% atau setara Rp227.908 per bulan. Hal ini berarti bahwa untuk mencapai tingkat kesejahteraan semula, maka rumah tangga harus mendapatkan kompensasi sebesar Rp227.908 per bulan.

Keempat, kenaikan harga pangan menjadi salah satu pendorong utama laju inflasi di Indonesia. Pada Juli 2022, inflasi pada kelompok harga pangan bergejolak (volatile food) mencapai 11,47%, dan berhasil dikendalikan menjadi 7,62% pada bulan Februari 2023 dan 5,83% pada Maret 2023. Menurut Bank Indonesia, inflasi kelompok harga pangan bergejolak sebenarnya tidak boleh lebih dari 5% atau paling tinggi 6%. Inflasi pangan adalah 20% dari komposisi pengeluaran masyarakat secara total, sedangkan bagi masyarakat menengah ke bawah bisa mencapai 40% atau 50%. Inflasi pangan adalah permasalahan perut dan rakyat, serta berimplikasi langsung pada kesejahteraan, sehingga hal tersebut bukanlah masalah ekonomi saja, melainkan juga masalah sosial dan politik. Pengendalian laju inflasi menjadi pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil dapat memberikan dampak terhadap perekonomian masyarakat. Inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat menurun sehingga mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakat. Selanjutnya, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian bagi pelaku ekonomi dalam pengambilan keputusan.

Sumber: harianbhirawa.co.id/gerakan-pangan-murah/
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler